Brilio.net - Kamu pasti tahu dong kalau Bali menjadi salah satu spot ajang lomba surfing internasional. Ternyata Pulau Dewata ini punya sejarah panjang lho untuk menjadi tempat lomba surfing tingkat dunia. Memang sih dibanding Hawaii, Australia, dan California, Bali agak terlambat.

Maklum, ajang lomba surfing profesional sudah diadakan di tiga tempat tersebut sejak era 1930-an. Sementara di Bali baru diadakan pada 1960-an dan awal 1970-an. Itu pun setelah muncul film ‘Morning of the Earth’ dan ‘Tubular Swells’ yang menyajikan adegan surfer lokal sedang berlaga di Uluwatu. Sejak itulah Bali mulai jadi sorotan.

Bali Surfing © 2016 brilio.net

Gaya peselancara Bali. Jason Childs/Momentum Travel

Tapi, sebenarnya surfing sudah dikenal di Bali juga sejak era 1930-an. Nah ini nggak lepas dari upaya Bob Koke, fotografer asal California yang secara luas memperkenalkan surfing di Bali sejak ia pindah ke pulau itu pada 1936. Nggak lama dia pun menikah dengan Louise Garrett yang belakangan menjadi Louise Koke. Louise disebut-sebut sebagai peselancar ekspatriat pertama dari Bali.

Bali Surfing © 2016 brilio.net

Peselancar ternama Indonesia Rahtu Suagirta, garut Widiarta (penumpang depan), Marlon Gerber (kiri) dan Mega Semadhi (kanan) mengendarai Holden klasik hendak menuju Dreamland, Bukit Pensinsula, Bali. Jason Childs/Momentum Travel

Louise sebenarnya istri dari penulis skenario ternama Hollywood saat itu, Oliver HP Garrett yang menggarap film ‘A Farewell to Arms dan ‘Duel In The Sun’. Cuma karena Garrett dikenal sering mabuk-mabukan dan merayu banyak wanita, membuat Louise menjalin skandal dengan Koke, fotografer yang juga sekaligus pelatih tenisnya di Beverly Hills. Akhirnya kedua pasangan ini memilih pergi ke Bali dari Singapura. Pasangan ini pun membuka sebuah hotel kecil di Pantai Kuta sekaligus menawarkan pelajaran surfing. Mereka tinggal di Bali hingga tahun 1942.

Seperti dilansir brilio.net dari Momentum Travel, Selasa (16/8), Dave Prodan, wakil presiden komunikasi WSL berpikir bahwa Indonesia, dan Bali khususnya, baru dilirik dan menyentak kesadaran peselancar dunia setelah film ‘Tubular Swells’ yang diproduksi pada 1975 ditonton banyak lorang di dunia. Sejak itulah para peselancar dunia baru tahu kalau ada spot menarik selain Australia dan Hawaii.

 

Bali Surfing © 2016 brilio.net

Rob Machado, peselancar terkenal dunia asal California, Amerika Serikat, menggunakan papan selancar Alaia dari kayu Akasia hendak menuju pantai barat Bali menjajal "ombak rahasia". Jason Childs/Momentum Travel.

Meski sudah cukup dikenal, tapi Indonesia belum dipilih secara resmi menjadi tuan rumah ajang surfing internasional. The World Surf League (WSL) yang sebelumnya bernama Asosiasi Surfing Profesional, baru menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah resmi kompetisi surfing pro pada 1995 yang diselenggarakan Quiksilver Pro di Grajagan, Bali. Lomba ini dimenangkan 11-kali juara dunia WSL Kelly Slater. Sejak itulah, babak kualifikasi surfing pro selalu di gelar di Indonesia yakni di Pantai Keramas, Gianyar dan sisanya di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat.

Bali Surfing © 2016 brilio.net

Kelly Slater menjajal ombak di Indonesia. Jason Childs/Momentum Travel

“Air hangat, masyarakat yang ramah dan ombak kelas dunia membuat Bali menjadi salah satu lokasi berselancar yang paling diinginkan di planet ini,” kata Prodan seraya menyebutkan Mentawai dan Pantai Keramas sebagai spot favorit.

Ketenaran Bali sebagai salah satu spot terbaik di dunia membuat fotografer majalah Surfer asal Australia Jason Childs penasaran. Ia pun menghabiskan 23 tahun tinggal di Indonesia untuk merekam berbagai kehidupan terkait dunia selancar di Pulau Dewata. Untuk memunculkan kesan klasik Childs memotret dengan format hitam putih.