Senin (19/2/2018) tempo hari, Indonesia kehilangan seorang figur, yang terus terang, agak merepotkan bagi saya untuk menyebutnya sebagai apa. Seperti Cak Nun yang agak membingungkan musti menyebetnya sebagai apa. Masalahnya, mereka berdua tidak pernah mengklaim diri sebagai apa-apa, atau mengharuskan orang lain menyebutnya apa. Tidak pernah.

Untuk Cak Nun sendiri, saya lebih senang menyebutnya sebagai budayawan ketimbang pemuka agama. Karena dalam ilmu kebudayaan, agama masih masuk kedalam unsur budaya. Dan untuk yang satu lagi, Wa Brontok, saya tertarik untuk menyebutnya sebagi seorang komedian. Karena, banyak kegembiraan-kegembiraan yang pernah ada dalam hidup saya disebabkan oleh Wa Brontok.

Gaya komedi Wa Brontok yang banyak menggembirakan hidup saya, agaknya merupakan suatu konsep yang belum pernah ada sebelumnya. Absurditas kata yang keluar dari mulutnya sebetulnya pernah dilakukan oleh Vicky Prasetyo dalam sebuah pidato politik, yang saat menontonnya cukup berhasil untuk membuat saya tertawa. Namun bedanya, komedi Vicky didasari oleh ke-ingin-tampil-keren-an, karena pada saat itu ia sedang mengambil peran sebagai kandidat calon Kepala Desa Karang Asih, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi. Dan kini, absurditas tersebut telah menjadi keuntungan bagi karirnya. Makanya, komedi semacam itu sudah kurang renyah lagi bagi saya jika dibawakan oleh seorang Vicky Prasetyo karena terkesan sekali dibuat-buatnya.

Tapi Wa Brontok, tidak memiliki alasan untuk ingin dilihat keren dalam menampilkan komedinya itu. Semisal ketika berpidato dalam sebuah hajatan. Tidak mungkin ada keinginan apa-apa atas pidatonya itu selain ketertiban dari masyarakat supaya jangan keributan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, predikat Komedian Paling Jujur saya berikan kepada jenius komedi, almarhum Wa Brontok. Karena komedi yang disajikannya bukanlah komedi pura-pura, melainkan komedi yang bersumber dari kejujuran, bersumber dari perwatakan diri sendiri.

Jika komedian Sule, Parto, Bolot, dapat kita nikmati komedinya di atas panggung, komedi Wa Brontok bisa dinikmati di mana saja. Jika Benyamin Sueb, Trio Warkop Dki, Kadir-Doyok, komedinya dapat kita nikmati dalam film, komedi Wa Brontok bisa dinikmati di mana saja. Hal itu karena panggung Wa Brontok bukanlah televisi, acara dangdut, panggung kampanye, panggung stand up comedy, panggung tujuh belasan, Hammersonic, Java Jazz, Wa The Fest, JackCloth, Synchronize, DWP, atau apapun namanya, melainkan kehidupan yang sebenarnya.

Komedi, bagi Aristoteles, adalah tiruan dari tingkah laku manusia. Makanya, beberapa kali saya tertawa kagak pugu lagu ketika melihat Andre Taulani mengimpersonikasikan orang lain, semisal Mario Teguh, Indra Bekti, Dokter Boyke, sampai Kak Seto. Tapi Wa Brontok, tak perlu menjadi siapa-siapa untuk dapat membuat saya tertawa ngakak guling-guling dari Pringsewu sampai Polewali Mandar. Ia hanya perlu mengeluarkan karakteristik dirinya sendiri. Ia hanya perlu menjadi Wa Brontok, seorang hansip Desa Kedungdawa, Sukra Wetan, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu. Dan untuk melakukan hal itu, tidak diperlukan suatu latihan khusus yang sampai suntuk malam atau suatu usaha apapun. Atas itu pula, bagi saya, sekaligus Wa Brontok mematahkan teori komedi Aristoteles melalui gaya komedinya yang jujur tanpa dibuat-buat.

Duo Vincent-Desta selalu berhasil membuat saya tertawa ketika membawakan acara Tonight Show di Net TV, tetapi ketika dalam kehidupan sehari-harinya, semisal ketika diinterpiu mengenai hobi motornya, sisi humorisnya tidak keluar sama sekali. Itu karena mereka menempatkan komedi di suatu ruangan khusus yang terpisah dari keseluruhan hidupnya. Tetapi Wa Brontok, seperti saya sampaikan di atas, panggungnya adalah keseluruhan kehidupannya. Oelh sebab itu, humoristis akan selalu terpancar pada gerak-geriknya. Sungguh tak terbayangkan bagaiaman rasanya hidup bersama Wa Brontok ....

Tapi kini sosok pembaharu dunia komedi yang rasanya akan sangat sulit menemukan reinkarnasinya itu, telah benar-benar pergi meninggalkan panggung sejatinya. Entahlah, apakah kehidupan yang lain akan juga ia jadikan panggung komedi. Dan saya amat meragukan konsep komedi kejujuran menjadi diri sendirinya itu dapat digunakan oleh komedian lainnya. Sebab, konsep komedi Wa Brontok tidak menghendaki komedian menjadi komedian dalam berkomedi. Artinya, komedi harus menyatu dulu dengan keseluruhan dirinya. Dan pada akhirnya konsep komedi semacam itu hanya tinggal menjadi konsep yang nir-faedah, sebab tidak akan berguna bagi siapa saja selain empunya sendiri.

Akhir kata, saya mengajak para pembaca sekalian meski saya yakin, inisiatif semacam ini sudah pasti ada tanpa memerlukan ajakanuntuk sama-sama ikhlas mendoakan Wa Brontok, sebagaimana kekikhlasannya muncul sewaktu menggembirakan hidup kita ini. Semoga tawa kebahagiaan kehidupan kita ini menjadi kendaraan komedian Wa Brontok dalam menempuh perjalanannya menujun surga.

Beristirahatlah dengan tenang Wa Brontok ....