Setiap manusia mengalami pertumbuhan, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Hal ini ditandai oleh meningkatnya kemampuan manusia dalam berbagai hal, baik dalam kehidupan sosial maupun pendidikan. Sebagianorangdapat memproses hal ini dengan baik, namun tidak semua anak mampu menguasainya, seperti halnya yang dialami oleh anak disleksia, di mana mereka mengalami kesulitan dalam belajar membaca.

Menurut Asosiasi Disleksia Indonesia, anak sekolah di dunia yang menderita disleksia ada sekitar 10% sampai 15%, di Indonesia terdapat 5 juta dari 50 juta anak yang menderita disleksia (Ulfa, 2018).

Bagi masyarakat yang tidak memahami mengenai anak penderita disleksia, mereka sering kali memberikan label kurang cerdas atau tidak pintar pada anak-anak dengan kesulitan membaca dan menulis. Kurangnya pengetahuan atau informasi yang didapatkan oleh masyarakat menyebabkan timbulnya anggapan bahwa anak disleksia itu bodoh karena tidak mencapai kemampuan yang baik dalam akademis. Psikolog menjelaskan bahwa orang tua yang memiliki anak dengan gangguan disleksia mengatakan jika anaknya memiliki kemampuan melukis di atas rata-rata apabila dibandingkan dengan anak seusianya, hal ini dapat terjadi karena anak disleksia dominan menggunakan otak kanan dalam penyelesaian konflik dan sering kali memiliki kemampuan imajinasi dan abstraksi yang baik (Prastiwi, 2021).

Disleksia merupakan spektrum kesulitan belajar tertentu di mana keterampilan menulis, membaca, dan kesadaran fonologis tidak berkembang secara baik atau dapat dikatakan sulit untuk berkembang, antara lain adalah kesulitan dalam membaca, menulis, dan berhitung. Kesulitan tersebut akan tetap terus berlanjut meskipun individu yang menderita disleksia memiliki kesempatan belajar yang efektif dan sesuai dengan individu normal lainnya. (Nicholson, 2012)

Tanda-tanda disleksia pada usia pra sekolah.

1. Suka mencampuradukkan kata-kata dan frasa.

2. Kesulitan mempelajari rima (pengulangan bunyi) dan ritme (irama).

3. Sulit mengingat nama atau sebuah objek.

4. Perkembangan kemampuan berbahasa yang terlambat.

5. Senang dibacakan buku, tapi tak tertarik pada huruf atau kata-kata.

6. Sulit untuk berpakaian (Tammasse & T, 2018).

Multilevel model dari disleksia memiliki dua tingkatan yang berkaitan dengan primary dan secondary causes serta primary symptoms dan secondary symptoms yang akan menentukan intervensi dan treatment apa yang baik untuk dilakukan.

Pada level primary causes, diasumsikan bahwa disleksia terjadi karena faktor biologis yang berinteraksi dengan stressor lingkungan. Pada level secondary causes, mengacu pada penurunan kinerja parsial di bidang persepsi visual dan pendengaran, pola motorik, dan memori jangka panjang.

Tips yang dapat dilakukan orang tua di rumah.

1. Usahakan agar benar-benar aktif dalam mendampingianak dari waktu ke waktu.

2. Memberikan dorongan sedemikian rupa untuk mengembalikan kepercayaan dirinya.

3. Buatlah semenarik mungkin ketika mengajarkan membaca.

4. Berikan model peran, seperti orang-orang sukses yang disleksia.

5. Bantu mereka dengan teknologi yang membantu. (Tammasse & T, 2018)

Disleksia bisa terjadi pada setiap orang dan berbagai tingkat intelegensi. Individu yang mengidap disleksia bisa memiliki kecerdasan dan keterampilan lebih dari individu pada umumnya. Mereka sering kali ditemukan berbakat di bidang seni, komputer fisika, dan sebagainya.

Perlu ditingkatkan kembali pentingnya memahami kondisi anak-anak penderita disleksia, dengan tidak memberikan label negatif dan membuka peluang yang sama. Setiap anak berhak mendapatkan perlakuan positif serta kesempatan untuk bisa berkembang dan diterima di masyarakat.