Bagi kamu penggemar dunia sastra terutama sastra Indonesia, pasti sudah tak asing dengan Putu Wijaya. Lahir pada tanggal 11 April 1944, sastrawan yang bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya ini dikenal sebagai seorang pelukis dan penulis drama, cerpen, esai, novel, skenario film, serta sinetron.

Sastrawan yang khas dengan topi pet putihnya ini telah menulis banyak karya dan juga meraih lebih dari 20 penghargaan, salah satunya adalah Piala Citra FFI tahun 1980, 1985, dan 1992 pada kategori skenario terbaik untuk film Perawan Desa, Kembang Kembangan, dan Ramadhan dan Ramona. Presiden RI Joko Widodo pun mengagumi Putu Wijaya dan pernah memberikan penghargaan secara langsung padanya.

Berulang tahun pada 11 April, ini 15 quotes sastrawan Putu Wijaya

Foto: twitter.com

"Sejak remaja hingga 74 tahun kini, Putu Wijaya telah menulis 30 novel, 40 naskah drama, 1.000 cerpen, esai, dan lain-lain. Penghargaan Kebudayaan kepada Putu Wijaya dan tiga tokoh lain, atas upaya menjaga kebudayaan Indonesia tetap mengakar dan tumbuh subur mewarnai budaya dunia." Tulis akun Twitter Jokowi pada tahun 2018.

Putu Wijaya memang dikenal sebagai budayawan yang serba bisa dan berprestasi. Karyanya pun bermakna dan memberikan inspirasi. Seperti apa ya kata-kata yang ditulis Putu Wijaya?

Berikut ini adalah beberapa quotes Putu Wijaya dari berbagai karyanya, yang dikutip dari berbagai sumber. Simak, yuk!

1. "Mulut kita adalah cermin rohani kita."

2. "Perdamaian yang palsu lebih ganas dari perang."

3. "Surga itu terletak di rumah kita, bukan di tempat orang lain."

4. "Ini buktinya. Kalau tidak adil memang begini. Semua orang bisa gila."

5. "Seperti rumah, yang menjadi semakin rumah ketika ditinggalkan, begitulah cinta, menjadi semakin cinta sesudah hilang."

6. "Hidup bukan untuk makan. Makan juga tidak untuk hidup, orang hidup harus makan, orang makan harus hidup."

7. "Dan kita mau saja dikuasai karena kita tergantung? Hidup enak ini telah membuat kita menjadi lemah dan lembek."

8. "Sebuah berita kecil lewat dan tidak ada orang yang peduli. Padahal dalam berita itu ada lorong untuk membaca kebenaran."

9. "Segala aturan dan beban itu memang disengaja. Itu sudah merupakan paket, agar tingkah laku jadi selalu laras dan terkendali. Tekanan adalah juga kendali."

10. "Kita jangan sampai kagum pada bayangan kita sendiri, kadang-kadang bayangan itu tinggi besar jika matahari condong, padahal tubuh kita sebenarnya tetap kecil."

11. "Kalau ini karena uang, memalukan. Kalau ini karena wanita, aib namanya, kalau ini karena kenakalan, bodoh. Kalau ini karena tidak ada kerjaan lain, lebih bodoh lagi."

12. "Dalam tersesat kamu diasah untuk mempertimbangkan apa yang sudah kamu putuskan, dan menambah apa yang selama ini tidak pernah kau pikirkan."

13. "Saya kira, karena rata-rata kita sudah apatis. Kita semua sudah dibuat tidak peka lagi oleh berbagai persoalan-persoalan sehari-hari yang tidak putus-putusnya menyerbu."

14. "Artiku tidak bergantung dari kehadiranku, tetapi pada cintaku dan cinta yang diberikan kepadaku yang tak akan pernah tak hadir. Karenanya, sekali aku menyalakan rumah ini, nyala itu akan tetap tak akan pernah padam."

15. "Pernahkah kau merasa sunyi, ya sunyi seperti yang aku rasakan, padahal kamu mempunyai anak-anak, suami, pekerjaan, penghasilan, rumah, keluarga, teman-teman, rencana, dan kedudukan yang terhormat? Sunyi semacam itu, yang kukira dimiliki oleh siapa saja, datang padaku sepuluh tahun terakhir ini. Tatkala aku berbaring dalam kamar sendiri, dalam terang lampu yang samar, dingin kasur dan masa depan yang suram. Sunyi ini, ingin kubagikan pada saat ini, tapi kau entah di mana."