Secara etimologis, istilah ganja diambil dari bahasa sansekerta dengan arti yang sama dengan Bahasa Indonesia. Sedangkan secara ilmiah ganja memiliki nama Cannabis sativa yang diberikan oleh Carolous Linnaeus pada tahun 1753. Ganja memiliki banyak nama di berbagai bangsa, bahkan perjalanan waktu telah menjadikan ganja sebagai tanaman dengan sebutan yang paling banyak macamnya di dunia, dan fakta sejarah mengungkapkan kalau cannabis atau ganja adalah salah satu kata dengan akar bahasa yang tertua di dunia.

Tanaman ini termasuk dalam tumbuhan berbunga yang merupakan anggota keluarga Cannabaceae. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa cannabis ini memiliki tiga spesies yang berbeda, yaitu cannabis sativa, cannabis indica, dan cannabis ruderalis. Ganja berkembang biak dari biji, namun setiap bijinya bisa memunculkan dua jenis tanaman yang berbeda, yaitu tanaman jantan dan betina, di mana keduanya terpisah dan tidak pernah berada dalam satu tanaman. Kedua jenis kelamin ini akan sama-sama menghasilkan bunga, namun hanya tanaman betina yang bisa menghasilkan biji dari bunganya, itupun jika serbuk sari tanaman jantan sampai ke bunga tanaman betina.

Akar ganja berbentuk serabut dan menghujam ke tanah sampai sepanjang sepersepuluh batangnya. Karena panjangnya akar serabut ganja, tanaman ganja dikenal bermanfaat untuk menggemburkan tanah. Batang ganja memiliki panjang yang sangat bervariasi, mulai dari 1 sampai 9 meter tergantung beberapa faktor seperti sinar matahari, iklim, dan varietasnya. Bagian dalam batangnya tersusun dari serat selulosa keras yang pendek-pendek seperti pohon kayu. Dan kulit batang ganja terdiri dari serat yang lebih kuat dan lebih panjang namun lebih tipis dari serat batangnya.

Eksistensi tanaman ganja.

Referensi paling tua mengenai ganja datang dari Cina sekitar tahun 2900 SM. Saat itu Kaisar Fu Hsi menyatakan ganja sebagai tanaman obat yang mengagumkan, sebab ganja mengandung unsur Yin dan Yang. Tanaman ganja sangat berguna bagi masyarakat Cina pada saat itu. Pada abad ke-2, Hua To, seorang ahli bedah, mulai menggunakan ganja sebagai anestesi (penghilang rasa sakit). Ia tercatat sebagai ahli bedah pertama di dunia yang dapat melakukan operasi bedah tanpa rasa sakit, ia menggunakan ramuan dari campuran resin ganja dan minuman anggur yang dinamakan Ma-Yo.

Ganja dan agama-agama di India memiliki ikatan sejarah yang sangat panjang. Arthaveda, salah satu kitab di agama Hindu menyebut ganja sebagai satu dari lima tanaman sakral dan dipercaya dinaungi oleh dewa penjaga di setiap daunnya. Veda juga menyebutkan ganja sebagai sumber kebahagiaan, pemberi kesenangan dan kebebasan, serta dipercaya memberi pencerahan pada manusia dan dapat menaklukkan rasa sakit.

Di Jepang, kemunculan ganja tercatat ketika periode Jomon, sekitar 1000 hingga 200 SM. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya berbagai artefak pra-sejarah yang berbahan baku ganja. Orang Jepang percaya bahwa ganja adalah salah satu tanaman terpenting pada zaman pra-sejarah mereka.

Di Korea, ganja menjadi komoditas yang sangat penting. Beberapa catatan perdagangan merekam bahwa perdagangan ganja antara Korea, Jepang ,dan Cina berlangsung selama berabad-abad. Para arkeolog mendapati ganja sudah ini di daerah ini sejak 5000 SM. Fakta menarik lainnya mengenai ganja dan Korea adalah adanya kepercayaan mengenai dewi ganja yang menjaga hasil panen yang disebut dengan Dewi Magu. Sang Dewi biasa digunakan untuk mempresentasikan relasi antara tanaman-tanaman dengan budaya agraris Korea.

Eksistensi ganja di Amerika tidak memiliki akar religiusitas seperti daerah-daerah lainnya di dunia. Budidaya ganja di negara ini cenderung bersifat kolonialis dan industrialis daripada spiritualis. Kewajiban menanam ganja di Amerika menjadi hukum yang tak bisa dihindari antara tahun 1631 hingga awal 1800. Bahkan komoditas ini juga digunakan sebagai alat pembayaran pajak. Sampai pada tahun 1850, terdapat 8.000 lahan ganja di Amerika dengan luas lahan terkecil mencapai 2.000 hektar. Dan pada abad ke-17 hingga abad ke-18, tidak menanam ganja di beberapa daerah adalah sesuatu yang ilegal.

Di Indonesia, menurut beberapa tulisan berbahasa Belanda, selain banyak tumbuh di bagian utara Sumatra, ganja juga tumbuh di wilayah lain seperti Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), dan juga Ambon. Di wilayah Aceh, salah satu kitab rujukan mengenai ganja adalah Mujarabat dan Tajul Muluk yang memberikan landasan agama untuk memanfaatkan ganja untuk tujuan medis. Selain itu ganja juga dimanfaatkan untuk kebutuhan kuliner, seperti dicampur dengan kopi, dimasak bersama makanan lain dan dijadikan dodol. Pada akhir abad ke-19, iklan ganja terkadang muncul di koran-koran berbahasa Belanda. Iklan tersebut mempromosikan ganja sebagai obat, sebagaimana pada saat itu penggunaan ganja di bidang medis oleh masyarakat Eropa sedang mencapai popularitasnya.

Lalu, adakah manfaat tanaman ganja? Bagaimana cara memanfaatkannya? Negara-negara mana saja yang melegalkan tanaman ganja? Bagaimana dengan Indonesia, bisakah kita melegalkan tanaman ganja?

Manfaat tanaman ganja.

Ganja sempat menjadi salah satu bahan bakar biomassa bersama dengan biji-bijian lainnya. Fermentasi dari ganja dapat menghasilkan ethanol maupun methanol yang dapat menjalankan mesin diesel. Teknokrat yang sempat menggunakan minyak ganja ialah Henry Ford. Pada tahun 1913 ia menciptakan mobil yang dijalankan oleh methanol yang didapatkan dari berbagai macam tumbuhan salah satunya adalah ganja.

Selama berabad-abad lamanya, ganja dimanfaatkan sebagai tali-temali. Seratnya yang kuat adalah salah satu alasan manusia memanfaatkannya menjadi tali. Bangsa Nordik dan Jepang yang merupakan bangsa pelaut adalah contoh bangsa yang paling sering menggunakan ganja sebagai bahan dasar tali.

Pemanfaatan ganja sebagai kertas sudah ada sejak zaman Dinasti Han, sekitar abad ke-8 SM. Dari sudut pandang industri, penggunaan kertas dari ganja lebih menguntungkan daripada memakai bahan kayu. Satu hektar lahan ganja dapat menghasilkan bubur kertas yang setara dengan empat hektar lahan pohon. Ketahanan kertas ganja pun jauh diatas kertas kayu yang melapuk dalam waktu kurang dari 50 tahun, rata-rata kertas ganja dapat bertahan hingga 400 tahun. Menariknya, salah satu salinan alkitab pertama dibuat dari kertas ganja.

Sejumlah studi menyatakan bahwa CBD (cannabidiol) yang merupakan senyawa kimia alami yang terkandung di dalam ganja mengandung khasiat anti penuaan, ia juga mampu mencegah kulit kering. Minyak ganja juga memiliki banyak kandungan yang dapat menyembuhkan berbagai permasalahan kulit. Saat ini sudah banyak perusahaan kosmetik besar dunia yang memasarkan produk kecantikan yang mengandung hemp oil (minyak ganja), di antaranya adalah Revlon, Body Shop, Materna, Sun Dog, dan masih banyak lagi.

Salah satu manfaat ganja yang mulai menjadi perhatian dunia adalah untuk kebutuhan medis. Pada tahun 2013 sebuah riset mendapati bahwa senyawa dalam ganja dapat mencegah serangan epilepsi. Riset yang dilakukan oleh peneliti dari Virginia Commonwealth University itu menyebutkan bahwa cannabinoid yang mengikat sel otak juga bertanggung jawab atas rangsangan dan rasa tenang pada manusia. Ganja juga dapat digunakan untuk meringankan efek obat yang dipakai dalam terapi Hepatitis C seperti lelah, mual, otot pegal, dan depresi. Studi dari European Journal of Gastroenterology and Hepatology mengungkapkan bahwa lebih dari 86% pasien dapat menuntaskan terapi setelah mengonsumsi ganja. Beberapa studi yang dipublikasikan oleh cancer.org mengatakan bahwa Cannabinoid sangat efektif untuk mengobati kanker usus, kanker payudara, dan kanker hati. Dan masih banyak lagi manfaat ganja lainnya di bidang medis.

Saat ini total sudah ada kurang lebih 30 negara di dunia yang melegalkan ganja untuk kepentingan medis. Di Asia Tenggara ada Thailand yang sudah melegalkan ganja untuk kebutuhan medis. Malaysia sebagai negara tetangga Indonesia sudah mulai bersiap melegalisasi ganja untuk keperluan medis. Bagaimana dengan Indonesia?

Di saat bangsa-bangsa lain di dunia sibuk melakukan penelitian dan mulai berancang-ancang melegalisasi ganja untuk keperluan medis, bangsa Indonesia masih memandang tanaman ganja sebagai sesuatu yang hina. Alih-alih membuka peluang untuk melakukan riset dan penelitian tentang tanaman ganja, pemerintah melalui Badan Narkotika Negara dan Kepolisian sibuk memusnahkan berhektar-hektar lahan tanaman ganja. Ganja masih dikategorikan sebagai jenis narkotika golongan satu bersama dengan heroin, sabu, kokain dan sebagainya.

Pada 2017 lalu, Fidelis Ari Sudewarto ditangkap karena kedapatan menanam 39 ganja di rumahnya. Bukan tanpa alasan, Fidelis menanam ganja bertujuan untuk menyembuhkan istrinya dari penyakit syringomyelia. Ekstrak ganja yang diberikan Fidelis berhasil meredakan penyakit istrinya, semua berubah ketika negara menangkap dan memenjarakan Fidelis. 32 hari setelah Fidelis ditangkap, istrinya sudah tak diobati dan akhirnya meninggal dunia.

Baru-baru ini, tiga ibu yang bernama Dwi, Santi, dan Novia didampingi lembaga advokasi Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Masyarakat, Judicial Research Society (IJRS), Yayasan Kesehatan Bali (YAKEBA), dan East Java Action (EJA) menggugat UU 35/2009 tentang narkotika ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mengaku membutuhkan akses ke narkotika golongan I (ganja) demi mengobati penyakit anak mereka. Dwi ingin menggunakan ekstrak ganja agar anaknya yang sakit bisa menjalani terapi minyak cannabidiol (CBD). Dwi mengaku kesehatan anaknya sempat membaik setelah menjalani terapi tersebut di Australia pada 2016 dan ingin melakukannya lagi di Indonesia. Namun niatan tersebut terbentur larangan penggunaan ganja untuk apapun yang tertera di UU 35/2009.

Dengan sejarah panjang eksistensi dan manfaat tanaman ganja di dunia sudah saatnya Indonesia membuka riset dan penelitian tentang manfaat tanaman ganja seperti yang sudah dilakukan oleh negara-negara lain di dunia dan mengkaji lagi UU 35/2009 yang mengategorikan tanaman ganja sebagai jenis narkotika golongan I agar kejadian seperti Fidelis tidak terulang lagi di Indonesia. Sudah sepantasnya pemerintah dan masyarakat untuk tidak hanya berfokus menentang penyalahgunaan ganja, tetapi juga mendorong "pembenargunaan" ganja.

Oleh: Muhammad Fikri (Mahasiswa Prodi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)