Rahasia eksis band Superiots, jangan kebanyakan nunggu

Sepede apa KawanHujan dalam berkarya? Malu-malu punya lagu padahal ingin didengar? Bangga dengan karya sendiri walau 99% orang tak menikmati? Atau bodo amat apa kata orang, yang penting terus berkarya?

Menjadi seorang kreator memang banyak tantangan dan godaan. Entah dari luar atau dari dalam diri sendiri. Beruntung sekarang kita hidup di era teknologi informasi yang super duper yummy, hingga kesempatan terbuka lebar bagi siapa saja, di mana saja.

Memang, pada akhirnya, kualitas karya yang menentukan. Pertanyaan seperti orang suka ga, ya?, ini bakal lagu ga, ya?, adalah momok yang senantiasa menghantui dan mampu membangkitkan rasa minder dalam diri. Tapi terlalu pede juga kurang pas. Jangan sampai KawanHujan kesurupan Giant dari serial Doraemon dan Nobita yang tak kunjung tua itu.

Yang sangat penting adalah konsistensi. Selama niat dan aksi tetap terjaga, suatu saat karya kita pasti bertemu dengan peminatnya. Begitu kurang lebih yang dikatakan Kidoy, drummer Superiots. Pernyataan yang juga diamini tiga rekannya: Bonet, Bime, dan Epang.

Mereka sih enak. Penggemarnya bertebaran dari Ujung Kulon sampai ujung wetan Pulau Jawa. Di luar Jawa juga banyak.

Eit nanti dulu. Perjalanan Superiots tidak semulus itu. Tidak sengebut dua band punk yang mereka jadikan referensi dalam berkarya, Greenday dan Rancid, yang karyanya sudah meledak di awal-awal karir mereka di industri musik.

Sejak berdiri tahun 2009, tahun ini Superiots merilis album keenam. Bagi saya itu adalah pencapaian yang dahsyat, mengingat sepertinya tak banyak band indie di Bogor yang mampu seproduktif itu. Kebanyakan band lain malah sering kali mogok karena berhadapan dengan masalah klise dalam bermusik, mulai persoalan personil, produktivitas, respons peminat (pasar), dan sebagainya.

Lalu bagaimana Superiots bisa berdamai dengan persoalan itu?

Beberapa tahun di awal-awal perjalanan, Superiots kerap kali berganti personel. Satu-satunya yang bertahan adalah Bonet, sang playmaker.

Tawaran manggung dari dulu udah banyak, tapi sering gue tolak karena ga ada player. Bilang ke mereka (penggagas acara, -red) sih personilnya pada sibuk kerja. Padahal mah emang ga ada, ujar Bonet lalu tertawa.

Sempat menyimpang dan memutuskan bekerja di sebuah bank swasta di Bogor, tapi semangat bermusik rupanya terlalu kuat. Bonet pun kembali pada gitarnya. Membuat lagu, masuk studio rekaman, dan meluncurkan album. Pria yang gigih sekali. Dan kegigihan itu pun membuahkan hasil.

Dulu kan gue belum ngerti medsos, taunya cuma facebook doang. Jadi pertama-tama upload video di situ. Kaget juga pas tau ada orang yang upload video Superiots di youtube, lanjut Bonet, mengenang bagaimana karya-karyanya bisa dikenal orang.

Singkat cerita, sekitar tahun 2015, akhirnya Superiots pun utuh sebagai sebuah band setelah Bonet bertemu dengan orang-orang yang memiliki passion yang sama. Bime atau Bimbim, yang namanya sudah lama sering saya dengar sebagai penggiat usaha recording, di Superiots bertengger sebagai lead guitar player. Lalu Epang, yang awalnya menghandle dokumentasi Superiots, beralih jadi tukang betot bass. Dan di belakang ada Doyo/Kidoy, pria yang sejak masa kuliah saya anggap sebagai drummer sejuta band, tetap setia duduk di belakang bass drum sebagai tukang gebuk Superiots.

Gas pun ditancap. Gresik menjadi kota pertama Superiots tampil dengan kekuatan penuh. Setelah itu nama Superiots sering terpampang di beragam gigs baik di dalam maupun di luar Bogor, termasuk dua event musik tanah air yang bertarap internasional, yaitu Fanatik Fest di Bali (2016) dan Hellprint di Bandung (2016).

Dari sekian panggung itu tentu saja banyak cerita unik dan berkesan. Misalnya di Probolinggo, ketika petugas setempat mematikan listrik di tengah penampilan Superiots, para penonton tak mau beranjak pulang dan tetap bernyanyi bersama walau tanpa sound. Menakjubkan.

Di gedung, gemuruh suara penonton bikin kita terharu. Keren. kata Bime.

Selain cerita saat manggung, ada juga cerita tentang KawanRiots. Misalnya bagi Kidoy, yang sangat terkesan ketika mendengar bahwa banyak lagu-lagu Superiots yang memberi pengaruh positif bagi KawanRiots.

Ada KawanRiots dari Jawa Timur yang cerita, waktu gue lagi skripsi, saat semangat gue down, gue dengerin lagu Superiots yang Harapan Tak Kan Mati Di sini. Gue jadi semangat lagi, tutur Kidoy.

Yap, siapa yang tak akan bangga memiliki penggemar di berbagai wilayah. Apalagi banyak dari mereka yang loyal dan selalu siap support saat Superiots mampir ke kotanya. Itu juga yang dirasakan Epang, Nambah temen, pasti nambah manfaat juga. Bangga lah, tanpa harus jadi besar kepala, tuturnya.

Nah.. itu hanya beberapa buah saja yang kini sedang dipetik dari proses panjang yang dilalui Superiots. Terlalu banyak jika disampaikan di sini.

Kembali ke wacana di awal. Jadi apa resepnya agar bisa bertahan dan tetap produktif? Dengan mantap Bonet menjawab, Harus yakin dulu. Kalo udah yakin mah enak, jalan juga jadi ada pegangan. Gue yakin karna gue punya karya. Gue bisa bikin lagu dan gue yakin pasti ada manfaatnya.

Harus ada niat juga. Kaya mau makan aja, kalo ga ada niat, mana bisa makan, dukung Bime.
Kalimat motivatif seperti itu memang mudah dikatakan, tapi sangat sulit untuk dilakukan. Dan bahwa Superiots bisa berhasil, itu sangat luar biasa.

Jadi percaya diri dan konsistens dalam berkarya itu memang penting, tapi itu saja tidak cukup. Harus banyak bergerak juga agar tidak kaku. Perlebar jaringan, perbanyak kawan. Dan bagi rekan-rekan musisi Bogor, Superiots titip pesan, Jangan kebanyakan nunggu (nunggu ada tawaran main, -red). Harus berani keluar. Harus pede dengan Bogor. Jangan takut ga ada yang ngedukung, ga ada yang suka.

Pesan yang kurang lebih sama seperti yang pernah diucapkan Soekarno dalam pidatonya tahun 1966, Kelemahan kita adalah, kita kurang percaya diri sebagai bangsa, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah rakyat gotong royong.