Pendekatan 4P terhadap kreativitas merupakan pendekatan yang termasuk populer dalam dunia pendidikan. Pendekatan tersebut memokuskan pembahasan akan empat dimensi yang terdapat dalam kreativitas. Munandar (2009: 20) mengutip pendapat Rhodes (1961; Isaksen, 1987) menyimpulkan bahwa pada umumnya kreativitas dirumuskan dalam kelompok dimensi pribadi, proses, dan produk. Dalam pendekatan 4P, dimensi tersebut terdiri dari produk yang diciptakan, performa pribadi, proses dalam berkreasi, dan pendorong dalam berkreasi. Namun, keempat komponen tersebut tidak berlaku secara baku dalam lingkup PAUD karena relevansinya dengan kondisi perkembangan anak dalam usia dini.

Pada tulisan Hannessey & Amabile (2010), kajian tentang dimensi produk kreatif bukanlah hal yang relevan dalam lingkup PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Dalam dimensi kreativitas pada produk, paradigma utamanya adalah produk sebagai solusi atas situasi yang ada. Pendapat lain dari Runco (2004; Hannessey & Amabile, 2010), produk yang dimaksud sebagai produk kreatif adalah beberapa hal yang berkaitan dengan hal besar yang memiliki dampak sosial terhadap kehidupan masyarakat.

Pengkajian tentang kreativitas dari segi pribadi biasanya sangat berkaitan dengan Paul Torrance dengan rumusan TTCT untuk menilai kreativitas dari segi pribadi. Dalam pandangan umum, penilaian terhadap kreativitas yang standar awalnya menggunakan teori divergent thinking dari Guilford sering kali kurang mendapat kejelasan pijakan tentang bagaimanakah kondisi originalitas yang dibuat oleh anak, begitu juga beberapa indikator divergent thinking lainnya. Sharp juga menambahkan dengan mengutip pendapat Runco (1990; Sharp, 2011), bahwa teknik penilaian berdasarkan teori Guilford yang telah dimodifikasi seperti TTCT, saat diterapkan pada lingkup PAUD hanya akan relevan sebagai cara untuk memprediksi kemampuan kreatif saja, bukan untuk membuat judgment. Hal yang sama juga disebutkan oleh John Baer (2011) yang malah mempertanyakan relevansi TTCT di abad 21 dan menganggap tes divergent thinking cenderung menyesatkan.

Di sisi lain, secara teori, Creative Cognitive menurut Rogaten dan Moneta menjelaskan bahwa kemampuan Creative Cognitive merupakan perilaku natural yang muncul sebagai dampak dari proses berpikir kreatif yang dilakukan oleh seseorang. "The creative cognition perspective conceptualizes creativity as a universal human characteristic and a multidimensional construct that is dependent on multiple cognitive processes." (Rogaten & Moneta, 2016; Finke, Ward, & Smith, 1992).

Ragam hal berkaitan dengan sebutan kognisi kreatif berdasarkan pendapat Ward (2006) merupakan kapasitas kognisi seseorang untuk bertindak kreatif dalam lingkup normatif manusia. Ward juga menyebutkan bahwa kognisi kreatif mencoba bergerak keluar dari pendekatan psikometrik tradisional dalam mengkaji kreativitas. Ruang lingkup baru tentang kajian kreativitas ini dianggap dapat mengatasi kekurangan utama dari standar divergent thinking yang sering dianggap terlalu luas untuk memetakan ragam proses yang mendasari kemunculan kreativitas seseorang. Dalam pendekatan khusus, creative cognition berkaitan dengan ragam gaya berpikir yang terjadi pada saat proses kreasi berlangsung. "The most researched creative ways of thinking are divergent and convergent thinking, metaphorical and analogical thinking, perspective taking, imagery, and incubation." (Rogaten & Moneta, 2016:hlm.6; Davis, 2004).

Persepektif lain yang menguatkan nilai penting kajian creative cognitive adalah apa yang disebutkan oleh Rogaten & Moneta (2016: hlm. 7), yang menyebutkan bahwa creative cognitive adalah keterampilan proses yang dilakukan oleh seseorang saat mereka berkreasi "The creative cognition perspective-indeed the creative process perspective as a whole..." Definisi tersebut berkaitan dengan nilai penting perspektif kreativitas yang harus ditekankan dalam lingkup PAUD seperti yang disebutkan oleh Carroline Sharp (2011) yang berpendapat bahwa proses kreasi lebih penting daripada hasil kreasi anak. Sharp juga mengutip pendapat Malaguzzi (Sharp, 2011; Malaguzzi, 1993) yang menyebutkan bahwa kreativitas pada anak akan menjadi terlihat jelas saat orang dewasa lebih memperhatikan proses kognitif daripada hasil yang dicapai oleh anak dalam berbagai kegiatan mereka.

Berdasarkan kondisi naturalnya, fungsi creative cognitive dalam diri seseorang saat belajar menurut Rogaten & Moneta (2016) berkaitan dengan dua variabel psikologis yang dapat menguatkan perkembangan seseorang. Motivasi intrinsik merupakan dorongan seseorang untuk terlibat di dalam tugas yang menurut mereka menarik. Sedangkan flow merupakan ketahanan seseorang dalam mengerjakan tugas. Hal tersebut dapat menguatkan efisiensi kognitif dan kesenangan yang mendalam yang dapat membuat seseorang menyatukan perasaannya dengan kegiatan yang mereka lakukan. Flow is a state of profound task-absorption, enhanced cognitive efficiency, and deep intrinsic enjoyment that makes a person feel one with the activity. (Rogaten & Moneta, 2016: hlm.10; Csikszentmihalyi, 1991, 2000).

Meskipun creative cognitive terlihat penting dan dapat membantu perkembangan anak secara keseluruhan, Rogaten & Moneta (2016: hlm.8; Moneta, in press; Moneta & Siu, 2002, 2004) menyebutkan keterkaitan antara kreativitas dan performa akademis bergantung pada faktor lingkungan seperti penugasan yang mengizinkan dan mendorong kemunculan kreativitas ataukah tidak. Dengan begitu, secara keseluruhan pengelolaan lingkungan untuk menunjang perkembangan anak tetaplah menjadi hal yang penting, baik dalam persepektif 4P ataupun creative cognitive.