Manusia pada dasarnya memiliki naluri untuk hidup, baik mempertahankan hidupnya maupun mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Tuhan menciptakan manusia dengan segala potensi yang dimilikinya. Potensi yang dimaksud yakni potensi jasmani berupa kekuatan tubuh, fisik yang lengkap, dan kemampuan tubuh dalam bekerja. Ada pula potensi ruhiyah/ruhani berupa jiwa yang sehat, tidak sedang mengalami gangguan jiwa, dan hati yang damai. Dan yang terakhir adalah potensi akal/pikiran, apabila manusia memaksimalkan potensi akal yang dia miliki maka akan mudah segala urusan hidupnya.

Manusia adalah makhluk hidup yang membutuhkan makanan dan minuman. Layaknya hewan yang tidak bisa hidup tanpa makanan dan minuman, seperti itulah manusia. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon. Zoon berarti hewan dan politicon yang berarti bermasyarakat. Sehingga jika digabung menjadi satu kalimat memiliki makna bahwa manusia adalah hewan yang bermasyarakat. Bahkan ada suatu teori yang dicetuskan oleh Darwin yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hasil evolusi dari kera, bukankah kera merupakan hewan? Akan tetapi manusia lebih mulia dibandingkan dengan hewan. Manusia memiliki keistimewaan tersendiri yakni berupa jasmani, ruhani, dan akal.

Namun sangat disayangkan, Tuhan yang telah memberikan manusia segala potensi yang luar biasa ini tidak diberdayakan dengan sebaik-baiknya. Bahkan ada pula manusia yang belum melakukan apa-apa sudah pasrah padahal keadaan fisik dan non-fisiknya masih sehat. Bukankah hal itu menjadi suatu pelecehan atas ciptaan Yang Maha Kuasa. Nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan hanya sebagai hiasan dalam diri manusia. Ibarat pohon yang tumbuh, berkembang, menampakkan keindahannya, hingga akhirnya layu bersisakan batang-batangnya. Manusia tidaklah seperti pohon, manusia memiliki potensi jasmani, ruhani, dan akal. Manusia hendaknya memaksimalkan potensi yang dimilikinya.

Ketidakberdayaan dan kepasrahan.

Berbicara tentang manusia terlebih dalam konteks sosial. Yang pasti bahwa manusia tidak bisa hidup dengan seorang diri. Manusia pasti membutuhkan bantuan orang lain. Maka dijulukilah manusia sebagai makhluk sosial. Namun yang perlu menjadi sorotan adalah keadaan masing-masing manusia yang berbeda.

Contoh kecilnya adalah masyarakat pedesaan dan perkotaan. Tentu saja kehidupan mereka berbeda mulai dari budayanya, nilai-nilai, norma sosial yang berlaku dan lain sebagainya. Apabila dikaji secara lebih mendalam maka akan terlihat cukup kontras ketimpangan sosial yang terjadi dis ana.

Kita tentunya tidak asing dengan sebutan orang kaya dan orang miskin. Orang kaya adalah orang yang memiliki harta kekayaan yang berlimpah sedangkan orang miskin adalah orang yang susah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam ilmu ekonomi kita mengenal kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier. Orang miskin adalah orang yang kesulitan memenuhi kebutuhan primernya. Alih-alih menikmati kebutuhan sekunder, memenuhi kebutuhan primer saja nyawa mereka menjadi taruhannya. Sebaliknya orang kaya adalah mereka yang sudah mencapai taraf menikmati kebutuhan tersier. Meskipun orang yang berada pada tingkatan pemenuhan kebutuhan sekunder sudah dapat dikatakan sebagai orang kaya, tetapi yang jelas bahwa orang kaya adalah orang yang mempunyai harta melimpah dan barang mewah. Begitulah, materi menjadi ukuran keberhasilan seseorang.

Kita lupakan sejenak mengenai orang kaya, biarkan mereka sibuk dengan kekayaannya. Sekarang mari kita perhatikan dengan seksama mengenai orang-orang miskin dalam melawan kejamnya kehidupan. Jika kita perhatikan realita yang tengah terjadi, maka kita akan temukan orang-orang miskin yang sangat gigih bekerja keras demi mempertahankan hidupnya. Bahkan ada pula yang berakhir pada meminta-meminta dengan menanggalkan harga dirinya.

Penulis pernah melihat di tengah-tengah hiruk piruk perkotaan, ada seorang pedagang roti kecil yang menempuh jarak beberapa kilometer demi menjual dagangannya. Keinginannya untuk bekerja sangatlah tinggi meskipun kadang tidak jelas dagangannya banyak yang terjual ataupun tidak. Sungguh manusia yang hebat, dia memaksimalkan potensi yang diberikan Tuhan kepadanya, jasmani, ruhani, dan akalnya. Padahal orang yang bersangkutan sudah memasuki usia lansia yang seharusnya menikmati masa-masa tua tetapi dengan kekuatan yang masih dimiliki, dia masih senantiasa berjuang.

Di sudut kota lain, penulis melihat orang-orang yang berpangku tangan berharap belas kasihan dari orang yang memiliki harta. Bahkan ada pula orang yang masih berusia muda tapi sudah menjadi peminta-minta, sangat disayangkan kekuatan yang masih dimilikinya tidak dipergunakan untuk hal yang lain. Harga diri ditanggalkan, pasrah dengan keadaan. Sudah miskin harta ditambah miskin jiwa. Mungkin karena meminta-minta dapat menghasilkan uang yang banyak tanpa harus mengeluarkan kekuatan lebih. Tetapi cara seperti itu merupakan cara yang salah. Sama saja menghina Tuhan yang telah menciptakan manusia dengan fisik yang sempurna. Inilah hakikat orang miskin yang sebenarnya.

Memahami kehidupan.

Telah kita singgung bersama bahwa manusia berlomba-lomba mengejar materi untuk memuaskan hidupnya. Ukuran kesuksesan dan kebahagiaan berdasarkan materi yang didapatkan. Kita lupa bahwa materi bukanlah segalanya. Betapa banyak orang yang memiliki harta kekayaan melimpah tetapi hidupnya tidak tenang, rumah tangga hancur, ada juga yang mengalami sakit-sakitan. Di sisi lain, orang miskin bekerja keras untuk mengubah nasibnya dengan cara yang tidak baik seperti meminta-minta, mencuri, dan menipu.

Secara individu kita memiliki kewajiban untuk berusaha mengubah keadaan yang ada pada diri masing-masing. Bekerja supaya mendapatkan uang, kemudian uang tersebut digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti membeli makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Walaupun rezeki masing-masing tidak sama, yang perlu diperhatikan adalah cara yang digunakan adalah yang baik. Tidak menghalalkan segala cara demi mendapatkan harta. Memaksimalkan potensi yang telah diberkan Tuhan dengan bekerja keras, berusaha semaksimal mungkin hingga akhirnya mendapatkan hasil dari jerih payah kita. Kemudian bersyukur, jangan sampai kita menjual harga diri hanya demi harta. Sebab manusia lebih mulia daripada harta.

Secara sosial orang-orang yang memiliki kemudahan rezeki membantu kepada mereka yang membutuhkan. Jangan sombong dengan apa yang telah dimiliki. Bisa saja dengan seketika nikmat yang dimiliki dicabut oleh Tuhan. Menjadi manusia yang dermawan adalah pilihan. Jangan terus-menerus berorientasi pada materi. Berbagilah, karena dengan berbagi kita akan merasakan keadaan saudara kita. Dengan berbagi maka hidup akan menjadi lebih berarti. Hidup bukanlah tentang diri kita sendiri. Jadilah manusia berarti, yang kedatangannya dinanti-nanti dan kepergiannya ditangisi.