Terlepas dari hiruk pikuk isu radikalisme yang dibangun oleh beberapa kelompok, ada secercah harapan tentang indahnya kerukunan umat beragama di Indonesia. Ya, harapan itu datang dari sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan bernama Toraja.

Selama ini, Toraja sudah banyak dikenal dunia luar mengenai budaya dan kehidupan masyarakatnya yang mayoritas Kristen. Siapa sangka, kota kecil ini seolah 'menampar' kita yang tak peduli dengan toleransi. Isu pengkotak-kotakkan kelompok menurut SARA yang akhir-akhir ini memanas di muka negeri Indonesia, seolah ditepis jauh oleh peristiwa di Toraja kala itu.

Pelaksanaan STQH 2019 tingkat Sulawesi Selatan telah benar-benar membuka paradigma kita kita tentang toleransi. Kegiatan orang Muslim ini dilaksanakan di tanah mayoritas Kristen. Semuanya berjalan dengan lancar sampai kepada closing ceremony dan pengumuman para juara.

Yang lebih mengharukan lagi, 70% panitia kegiatan ini adalah non-Muslim, bahkan lagu Mars STQH dilantunkan merdu oleh para non-Muslim. Tak hanya sampai di situ, Gereja yang sangat disakralkan oleh umat Kristen menjadi tempat pelaksanaan kegiatan, tempat melantunkan ayat suci Alquran, bahkan menjadi tempat shalat bagi para peserta yang datang dari 11 kabupaten kota di Sulawesi Selatan.

Air mata tak dapat tertahan lagi melihat kejadian mengharukan ini. Terlepas dari isu SARA yang berkembang, nampaknya itu sama sekali tak digubris oleh Masyarakat Toraja. Masyarakat Toraja lebih mementingkan persaudaraan dibandingkan hal yang lain.

Bagi orang Toraja, agama dan keyakinan boleh berbeda tapi itu tak jadi alasan untuk berhenti bersaudara, berhenti saling mengasihi.Alangkah indahnya Indonesia jika kejadian seperti ini tak hanya terjadi di Toraja saja. Alangkah lebar senyum ibu pertiwi jika seluruh Indonesia saling menghormati satu dengan yang lain.Mungkin tak salah jika dikatakan "Mari Berkiblat Toleransi ke Toraja".