Setiap individu pada dasarnya memiliki berbagai mimpi dan impian yang ingin dicapai dalam hidupnya. Mimpi dan impian pada setiap orang dapat berbeda-beda, mulai dari impian akan rumah tangga, pekerjaan atau pendidikan, hingga jurusan apa yang ingin ditekuni. Namun, dalam menggapai mimpi yang diinginkan, seseorang akan menghadapi berbagai rintangan, baik faktor internal maupun faktor eksternal.

Terlepas dari berbagai faktor tersebut, terkadang stereotip akan gender tertentu di masyarakat dapat memengaruhi keberhasilan individu dalam meraih mimpi. Salah satu bentuk stereotip gender tersebut adalah adanya beberapa fakultas atau jurusan perkuliahan tertentu yang identik dengan salah satu gender.

Gender diartikan sebagai persepsi sosial mengenai peran, sikap, dan tingkah laku yang berkaitan dengan identitas jenis kelamin seseorang (Nareza, 2020). Jika jenis kelamin ditentukan secara biologis melalui bentuk fisiologisnya, gender terbentuk dari faktor-faktor psikologis dan juga sosial (Mulyadi, 2019). Gender terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu feminin dan maskulin. Gender feminin merupakan gender yang pada umumnya disematkan pada perempuan. Persepsi terhadap gender feminin adalah lemah-lembut, pemberi kenyaman, setia dan emosional. Sedangkan gender maskulin merupakan gender yang pada umumnya disematkan pada laki-laki dan dipersepsikan sebagai gender yang adalah kuat, gagah, berani dan berpikir rasional (Mulyadi, 2019).

Setiap orang memiliki kedua sifat gender ini pada dirinya, namun karena muncul stereotip di masyarakat mengenai bagaimana individu harus bersikap "normal" sesuai gendernya, membuat banyak individu mengikuti peran gender sesuai dengan identitas kelaminnya (Mulyadi, 2019). Stereotip gender terhadap perbedaan perempuan dan laki-laki dibentuk oleh lingkungan, budaya, dan adat istiadat. Tak hanya jenis kelamin, stereotip gender juga meliputi perilaku, tanggung jawab, peran, dan pembagian tugas antara perempuan dan laki-laki.

Stereotip akan gender saat ini dapat ditemui hampir di banyakaspek kehidupan. Mulai dari bagaimana mainan yang perlu dimainkan oleh masing-masing gender, penggunaan warna-warna pada masing-masing gender, pekerjaan-pekerjaan sesuai gender hingga pendidikan dan jurusan yang sesuai dengan stereotip setiap gender (Roll, 2017). Streotip memungkinkan dapat menjadi faktor penghambat seseorang dalam memilih dan mengejar keinginannya. Hal ini dikarenakan, stereotip yang melekat dan tertanam lama dapat menimbulkan diskriminasi bagi setiap tindakan yang dianggap menyalahi peran gender tersebut.

Sebagai contoh, Aida (2012) dalam liputannya melihat bahwa perempuan yang masuk ke dalam jurusan fisika dan teknik akan sulit untuk mendapatkan dukungan dan sering terdiskriminasi karena bias yang dimiliki oleh para dosen. Hal ini disebabkan jurusan fisika dan teknik dianggap menjadi jurusan yang membutuhkan tenaga kuat, pemikiran rasional dan juga orang-orang yang pemberani, sehingga jurusan ini dianggap maskulin dan diperuntukan untuk laki-laki. Hal ini juga terjadi di jurusan dalam ranah STEM (Science, Technology, Engineering & Mathematic), di mana perempuan merasa terdiskriminasikan karena stereotip jurusan yang lekat akan sifat-sifat maskulinitas (Roll, 2017). Halitu diperburuk ketika para perempuan dalam jurusan tersebut mulai menunjukkan sifat maskulin, sehingga mendapatkan respon negatif dari lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, saat perempuan dalam jurusan ini menunjukkan maskulinitasnya, mereka mendapatkan pandangan buruk sedangkan jika mereka tidak menunjukkan sifat maskulinitas, maka mereka tidak dianggap kompeten (Aida, 2012).

Laki-laki sebagai identitas yang identik dengan sifat maskulin juga mendapatkan stereotip mengenai jurusan perkuliahan. Laki-laki yang mengambil jurusan dengan jumlah mahasiswi yang lebih banyak seperti keperawatan terkadang dianggap lemah oleh lingkungan sekitarnya (Vedder, 2018). Prospek gaji yang didapat dari peluang kerja jurusan tersebut juga menjadi faktor penyebab diskriminasi pada laki-laki. Saat laki-laki masuk ke dalam ranah STEM (Science, Technology, Engineering & Mathematic), prospek gaji dari pekerjaan lulusan tersebut juga besar maka laki-laki tersebut lebih dipandang baik dibandingkan dengan jurusan lainnya (Vedder, 2018).

Halangan dari stereotip gender ini akan terus dihadapi bahkan hingga dunia kerja. Aida (2012) menyatakan bahwa laki-laki yang berasal dari jurusan STEM (Science, Technology, Engineering & Mathematic) akan lebih mudah mendapat pekerjaan dan dukungan dibandingkan dengan perempuan yang sama-sama masuk ke dalam jurusan STEM (Science, Technology, Engineering & Mathematic). Hal ini belum termasuk isu-isu seperti adanya gap perihal gaji perempuan dan laki-laki dalam jurusan STEM (Science, Technology, Engineering & Mathematic) dan isu diskriminasi di tempat kerja. Hal yang sama juga dialami oleh laki-laki yang mengambil jurusan dengan jumlah yang sama. Peluang kerja laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki dari jurusan keperawatan lebih sulit mendapatkan pekerjaan dikarenakan rendahnya jaringan pekerjaan yang mereka miliki. Selain itu, dengan adanya stereotip di masyarakat mengenai konsep perawatan lebih baik dilakukan oleh perempuan, membuat perawat laki-laki dianggap kurang kompeten (Vedder, 2018).

Hal-hal tersebut merupakan dampak buruk dari bagaimana stereotip gender dapat menghalangi impian dan mimpi seseorang. Perlu diketahui bahwa stereotip dan dampak buruknya ini benar-benar nyata dan bukan hanya opini belaka. Oleh karena itu, edukasi mengenai sifat kedua gender yang ada pada setiap diri individu serta mulai meluruskan kesalahan akan persepsi gender yang kaku sangat perlu untuk dilakukan. Jika stereotip ini tetap dibiarkan dan dipelihara tanpa adanya perubahan, tanpa disadari bisa saja kita dapat "membunuh" mimpi dan impian orang lain.