Fungsi trotoar adalah sebagai tempat untuk berjalan kaki. Namun, tidak demikian dengan trotoar di Jakarta yang dialihfungsikan sebagai tempat untuk berjualan.

Pemandangan trotoar yang tidak sesuai fungsinya, salah satunya bisa dilihat di Jalan Palmerah Barat. Pada pagi hari trotoar dipenuhi oleh para pedagang pasar tumpah. Di Palmerah Barat ada Pasar Palmerah yang berisi toko-toko yang menjual beragam perlengkapan. Pada pagi hari halaman pasar tersebut berfungsi sebagai pasar tradisional. Para pedagang yang tidak kebagian tempat di halaman lantas berjualan di trotoar.

Pedagang-pedagang tersebut memenuhi trotoar dengan barang dagangan mereka. Kebanyakan ialah sayur dan bumbu dapur. Tidak ada ruang bagi pengguna jalan untuk berjalan di trotoar. Setiap pagi, barisan karyawan yang hendak menuju kantor terpaksa berjalan di jalan raya. Hal ini tentu saja tidak nyaman dan berbahaya sebab jalanan dipenuhi sepeda motor, mobil, dan mikrolet. Belum lagi mikrolet-mikrolet yang ngetem menunggu penumpang, membuat jalan semakin sempit.

Tidak cukup berjualan di trotoar, para pedagang juga meninggalkan cukup banyak sampah. Trotoar kian tidak nyaman digunakan untuk berjalan. Menjelang siang, di saat pasar tradisional sudah rampung, di saat sampah mulai dibersihkan oleh petugas oranye, barulah trotoar bisa digunakan untuk berjalan.

Namun, sebenarnya tidak seluruh bagian trotoar bisa digunakan untuk berjalan sebab masih ada pedagang permanen yang menempatkan lapaknya di situ, misalnya pedagang mie ayam, pedagang buah, dan pedagang es kelapa. Para pedagang tersebut sudah berjualan sejak pagi sekitar pukul 8.00. Bisa dibayangkan, kan betapa penuhnya trotoar di Palmerah Barat pada pagi hari? Sudah ada pedagang permanen, eh masih ditambah pedagang pasar tumpah.

Trotoar, antara permasalahan dan dilema

Pada malam hari, trotoar kembali dipenuhi oleh para pedagang. Kali ini oleh pedagang makanan yang mendirikan lapaknya di trotoar. Banyak sekali pedagang nasi penyet berjajar di sepanjang trotoar. Trotoar tak ubahnya area bazar makanan. Seperti halnya di pagi hari, orang-orang terpaksa menggunakan jalan raya dengan risiko diklakson oleh pengendara motor ataupun mikrolet. Apalagi, jalanan lebih macet di malam hari sebab para karyawan berbondong-bondong pulang kerja.

Penuhnya trotoar oleh pedagang semakin diperparah dengan kondisi trotoar yang buruk, misalnya berlubang, paving yang lepas, dan paving yang tidak terpasang kokoh. Belum ada perbaikan hingga kini. Kondisi trotoar yang buruk masih terus dibiarkan.

Dilema

Pembenahan trotoar dengan menertibkan pedagang sebenarnya adalah sebuah dilema. Pertama, memang kehadiran para pedagang membuat pejalan kaki tidak bisa menggunakan trotoar sebagaimana mestinya. Namun, pejalan kaki sebenarnya diuntungkan juga dengan kehadiran para pedagang sebab mereka menjadi konsumen dari pedagang-pedagang itu, khususnya pedagang makanan. Kalau para pedagang itu ditertibkan, orang-orang, khususnya pekerja atau penghuni rumah indekos akan susah saat harus mencari makan yang dekat dengan lokasi mereka.

Kedua, jika para pedagang ditertibkan, pemasukan mereka akan berkurang sebab di tempat dagang yang baru belum tentu mereka akan mendapatkan konsumen sebanyak ketika mereka berdagang di trotoar. Saat berdagang di trotoar, mereka sudah punya konsumen tetap dan jumlahnya cukup banyak. Ketika berdagang di tempat baru, mereka seperti memulai dari nol lagi.

Mengutip pemberitaan Kompas, Rabu (3/1/2018), pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di trotoar kawasan wisata Kota Tua sebenarnya sudah dibuatkan lokasi khusus untuk berjualan alias lokasi binaan (lokbin). Namun, banyak PKL yang pada akhirnya memilih untuk meninggalkan lokbin dan kembali berjualan di trotoar.

Trotoar, antara permasalahan dan dilema

Para PKL mengaku penghasilan mereka menurun kala berjualan di lokbin. Menurut mereka, lokbin yang terletak di Jalan Cengkeh itu cukup jauh jaraknya dari kawasan wisata sehingga jarang ada wisatawan yang mampir. Kendati demikian, masih ada beberapa PKL yang memilih bertahan di lokbin. Alasannya, berjualan di lokbin sah alias sesuai aturan. Mereka juga tidak perlu kucing-kucingan dengan satuan polisi pamong praja (satpol PP).

Permasalahan trotoar seakan menjadi permasalahan abadi. Belum ada titik temunya hingga kini. Jika pedagang dibiarkan berjualan di trotoar, maka pejalan kaki yang kehilangan haknya. Di lain sisi, jika pedagang ditertibkan, pedagang merasa hak mereka untuk mencari nafkah terenggut. Benar-benar dilema tiada akhir. Semoga suatu saat ada pemimpin yang berhasil menyelesaikannya.