Isu pembebasan napi sedang menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat kita saat ini. Bagaimana tidak, sebanyak 35.000 lebih narapidana di Indonesia telah mendapatkan pembebasan melalui cara asimilasi dan integrasi yang sudah diatur dan disetujui oleh pemerintah. Asimilasi adalah pembinaan narapidana dewasa dan anak di luar wilayah lembaga pemasyarakatan dengan memberikan kesempatan mereka untuk hidup berbaur bersama-sama di lingkungan masyarakat. Sedangkan integrasi adalah pembebasan narapidana yang telah memenuhi syarat untuk bebas bersyarat, cuti bersyarat, atau cuti menjelang pembebasan. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Kebijakan ini dilaksanakan per Selasa, 8 April 2020.

Mengutip dari kompas.id (06/04/2020),teknis kebijakan tersebut mengacu pada PP No 99/2012 mengenai Perubahan Kedua atas PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Isinya adalah, tidak semua narapidana akan menerima pembebasan. Mereka yang tergolong sebagai narapidana berusia lanjut, dan yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman-lah yang akan menerima pembebasan bersyarat. Sementara untuk napi terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya harus memenuhi syarat tertentu.

Kata pemerintah, selain berpotensi untuk mengurangi risiko penyebaran Covid19 di penjara, kebijakan ini juga punya potensi permasalahan sosial dan keamanan. Pasalnya, bukan cuma opini jika residivis punya kecenderungan untuk kambuh dan mengulangi aksi kriminalnya lagi selepas bebas dari penjara. Lalu, stigmatisasi yang diberikan oleh masyarakat kepada bekas napi sering kali juga buruk. Mereka dianggap sebagai manusia yang 'tidak lagi suci' dan berpotensi untuk mengulangi kembali kejahatan mereka, persis seperti sesaat sebelum mereka berada di penjara. Sehingga, apabila 35.000 napi ini sudah berada dalam lingkungan masyarakat, maka masyarakat akan bersikap waspada dan akan mengalami culture shock. Kondisi ini akan memaksa masyarakat melakukan penyesuaian sosial guna mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan dialami oleh masyarakat.

Apalagi di tengah musim pandemi dan menurunnya kegiatan ekonomi saat ini, masyarakat menilai bahwa kondisi sosial menjadi sangat rawan terhadap aksi kejahatan. Bekas Napi Berulah Lagi menjadi tajuk yang saat ini banyak dimuat pada headline media cetak, televisi, ataupun online. Sebagai contoh, mengutip dari laman malangtimes.com, dilaporkan telah terjadi kasus pencurian sepeda motor di kawasan Arjosari, Kota Malang dengan pelakunya adalah seorang residivis kasus pencurian kendaraan bermotor yang baru saja bebas setelah mengikuti program asimilasi dari Lapas Pemuda Madiun pada 9 April 2020 lalu.

Portal berita cnnindonesia.com juga memberitakan bahwa terdapat 12 napi yang dipenjarakan lagi akibat mereka melakukan tindakan kriminal, sesaat setelah mereka mendapatkan program asimilasi dari pemerintah. Tidak disebutkan berada pada kota mana 12 kasus ini terjadi. Namun kemungkinan besar tindakan kriminal ini dilakukan di kota-kota besar di Indonesia karena jenis kejahatan yang dilakukan adalah pencurian kendaraan bermotor, penjualan narkoba, dan penjambretan. Berita seperti ini juga banyak sekali beredar di media sosial macam instagram, facebook, atau twitter yang melaporkan tindakan pencurian, pembegalan, atau perampokan.

Menilai keseriusan pemerintah.

Mengutip dari katadata.co.id (9/42020), seorang komisioner PBB bidang HAM, Michelle Bachelet telah mendesak ke pemerintah di berbagai negara untuk membebaskan narapidana berisiko rendah. Olehnya, penjara dinilai sebagai sebuah tempat yang tidak mungkin dapat dilakukan upaya social distancing. Kelebihan kapasitas narapidana di dalam penjara (daya tampung) membuat para tahanan dan staf menjadi rentan terhadap penyebaran dan infeksi virus Corona. Apalagi, para tahanan kerap ditempatkan dalam kondisi lingkungan yang kotor dengan fasilitas kesehatan yang tidak memadai atau bahkan tidak ada.

Berbicara mengenai daya tampung penjara, World Prison Brief menyebut bahwa persentase overkapasitas narapidana yang ada di Indonesia adalah 104%. Hal itu berarti, terdapat lonjakan narapidana sebesar dua kali lipat lebih yang ditampung pada penjara-penjara di seluruh Indonesia. Mengutip data dari Ditjenpas, jumlah keseluruhan napi yang terdapat di seluruh penjara di Indonesia adalah 175.441. Sedangkan jumlah napi yang akan dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi adalah 35.000. Jumlah itu hanya sebesar 20% dari keseluruhan napi yang terdapat pada seluruh penjara di Indonesia. Apakah dengan jalan membebaskan 20% napi dapat mengurangi risiko penyebaran virus didalam penjara? Hmmm saya rasa tidak, karena jika kita mengacu pada peraturan Menteri Kesehatan, upaya physical distancing hanya bisa dilakukan dengan rentang jarak antar manusia sejauh dua meter.

Jika pemerintah benar-benar mengikuti anjuran Michelle Bachelet atau memang berniat mengurangi risiko penularan virus Corona dengan jalan pembebasan narapidana, maka seharusnya pembebasan itu tidak berjumlah 35.000, namun 87.720! Atau dapat dikatakan, jumlah ini adalah separuh dari keseluruhan narapidana yang terdapat di Indonesia. Jika sudah berkurang separuh, maka tiap lembaga pemasyarakatan memiliki kemungkinan untuk dapat menerapkan physical distancing.

Eiits jangan lupa, pembebasan separuh napi itu hanya bisa dilakukan dengan catatan tidak ada angka overkapasitas. Kalau terdapat overkapasitas, ya kurangi lagi lah separuh dari seberapa besar angka overkapasitas itu. Jumlah kelebihan narapidana juga perlu dicek di tiap-tiap wilayah, karena tidak semua penjara di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas narapidana. Hal ini penting dilakukan karena jumlah kelebihan kapasitas narapidana bersifat nasional.

Jika dilihat-lihat dan dihitung-hitung, memang kebijakan ini terkesan aneh dan membuat kening mengkerut. Apalagi baru-baru ini yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial dan berita, pernyataan Yasona Laolly sebagaiMenkumham malah berinisiatif untuk memasukkan lagi eks narapidana ke dalam penjara. Duh, bikin geleng-geleng kepala aja. Kebingungan Yasona berkaitan dengan kasus kriminal yang marak dilakukan oleh mantan napi program asimilasi dan integrasi.

Menterisaja bingung, lha gimana masyarakatnya?

Publik menilai bahwa kebijakan pembebasan narapidana dengan alasan menghindari risiko penularan virus didalam penjara bukanlah kebijakan yang tepat. Justru, penjara dapat difungsikan sebagai tempat untuk mengkarantina para napi secara in-situ yang dapat dilakukan dengan cara sterilisasi secara berkala atau melakukan upaya pencegahan sesuai prosedur kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Bukan malah melepaskan sebagian kecil narapidana ke lingkungan masyarakat, di mana perintah PSBB, lockdown, atau karantina wilayah tidak benar-benar tegas mengisolasi suatu kota/kabupaten dari migrasi antar penduduk.

Jika terdapat permasalahan lapas yang tidak layak atau penjara yang minim kapasitas, maka hal itu sudah menjadi tanggung jawab negara (pemerintah) untuk mengatasinya. Jumlah napi bukan sebagai indikator murni atas kejahatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Tapi kejahatan apa yang dilakukan sehingga jumlah napi menjadi banyak? Apa yang menyebabkan kemunculan kejahatan itu? Apakah moral, atau ketimpangan sosial-ekonomi yang tak berkesudahan?

Oleh: Muhammad Afif Nurwan /Pegiat kajian Sosiologis Komunitas Kalimetro