Putu Wijaya, begitu nama yang lebih sering didengar oleh telinga. Sastrawan Indonesia yang sudah berusia 76 tahun ini memiliki nama asli I Gusti Ngurah Taksu Wijaya. Ya, dari namanya sudah terlihat bahwa ia berasal dari Bali. Lahir dan besar di Tabanan, Bali lebih tepatnya, Putu Wijaya sudah memiliki hobi membaca buku sejak kecil. Ia sangat tertarik dalam dunia sastra. Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, cerita pendek berjudul Etsa yang ditulisnya berhasil dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Beranjak ke Sekolah Menengah Atas, ia mencoba hal baru yaitu mengikuti pementasan drama di sekolahnya.

Setelah menyelesaikan SMA-nya di Bali, Putu Wijaya merantau ke Jogja, Kota Seni dan Budaya, untuk melanjutkan studinya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Ketertarikannya pada sastra dan seni yang dalam mendorongnya untuk belajar seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Selain itu, ia juga menyambi di Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) untuk menekuni seni drama. Tak hanya itu, di kota itu juga ia turut serta dalam Bengkel Teater yang diasuh oleh W. S. Rendra, seorang sastrawan yang namanya sudah besar di Indonesia.

Putu Wijaya memutuskan untuk pergi ke Jakarta setelah mendapatkan gelar sarjana hukumnya pada tahun 1969. Di Jakarta, ia bergabung dengan Teater Kecil dan Teater Populer sembari bekerja di majalah Tempo sebagai redaktur. Lama bekerja di sana, Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri bersama rekan-rekan kerjanya pada tahun 1974.

Karya-karya Putu Wijaya.

Sebagai seorang sastrawan serta dramawan, Putu Wijaya sudah banyak mengeluarkan karya-karya yang tak terhitung jumlahnya. Berpuluh-puluh novel dan naskah drama, ratusan esai, serta ribuan cerita pendek sudah ditulis Putu Wijaya sejak ia masuk dalam dunia sastra. Beberapa novel yang telah beliau tulis antara lain: Keok, Tiba-Tiba Malam, dan Dar Der Dor.

Putu Wijaya dan cerpen berjudul Guru

Tak lupa ia juga telah mementaskan puluhan teater di dalam maupun luar negeri. Salah satunya yaitu naskah Aum (Roar) yang dipentaskan di Madison, Connecticut, Amerika Serikat. Putu Wijaya juga tidak jarang ikut mementaskan naskah drama yang ia tulis sendiri. Salah satunya yaitu naskah drama yang berjudul Lautan Bernyanyi pada tahun 1969.

Cerpen Guru karya Putu Wijaya.

Saat saya mencari-cari cerpen untuk dibaca, saya berhenti pada satu cerpen berjudul Guru karya Putu Wijaya. Mungkin bagi sebagian orang judul ini tidak menarik mata. Tapi, entah mengapa saya memutuskan untuk membacanya.

Cerpen ini mengisahkan seorang bapak yang resah dan marah akan keinginan anaknya, Taksu. Bapak ini tidak senang bahwa Taksu bercita-cita menjadi guru. Menurutnya, guru merupakan pekerjaan yang tak memiliki masa depan, guru merupakan pekerjaan bagi orang yang gagal. Ia telah mencoba segala cara, seperti membelikan mobil untuk Taksu agar Taksu berubah pikiran untuk tidak bercita-cita sebagai guru lagi. Namun, usahanya gagal. Taksu tetap teguh bahwa ia ingin menjadi guru, tak peduli apa yang bapaknya katakan. Cerpen ini berakhir 10 tahun kemudian, sang bapak sudah tak lagi resah dan marah. Taksu telah menjadi guru. Guru bagi anak muda, bangsa, dan negara karena telah menularkan etos kerja.

Setelah selesai membaca cerpen Guru ini saya menyadari suatu hal. Bahwa di era sekarang, profesi guru masih kerap dipandang sebelah mata. Masih banyak orang seperti tokoh "bapak" pada cerpen Putu Wijaya ini dalam dunia nyata. Orang-orang yang menganggap bahwa guru bukanlah profesi yang patut diidamkan.

Melalui cerpen ini saya dapat mengambil suatu pesan. Jika memiliki mimpi untuk masa depan, kita harus fokus terhadap mimpi tersebut dan tak menghiraukan segala perkataan negatif yang dilontarkan orang lain. Karena pada akhirnya, kita yang akan menjalani hidup kita sendiri, bukan mereka. Jika berhasil menggapai mimpi yang kita punya, orang lain dengan sendirinya akan menyadari kemampuan kita.

Menurut saya, cerpen Putu Wijaya ini merupakan cerpen yang patut diacungi jempol. Melalui cerpen ini ia menceritakan hal yang nyata adanya di kehidupan masyarakat.