Seiring perkembangan zaman, terlebih dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat perbedaan laki-laki dan juga perempuan sedikit berubah. Dahulu masyarakat beranggapan bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam berbagai aspek. Sehingga terjadi kesenjangan peran di antara laki-laki dan perempuan yang membuat adanya dominasi laki-laki terhadap suatu aspek, terutama aspek dalam pendidikan dan pekerjaan. Peran jenis tersebut dikatakan sebagai stereotip yang membentuk pelekatan terhadap karakter seseorang atau suatu kelompok tertentu.

Menurut Utaminingsih (2017), jika melihat dalam kamus Bahasa Inggris, seks dan gender tidak memiliki pengertian secara jelas atau secara garis besarnya merupakan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Sebenarnya seks (jenis kelamin) dan gender mempunyai arti yang berbeda. Seks didefinisikan sebagai dua jenis kelamin yang dibedakan melalui aspek biologis seseorang di mana hal ini merupakan kodrat dari Tuhan. Sebagaimana dikutip dari Salviana (2016), Manssour Fakih menjelaskan bahwa individu berjenis kelamin laki-laki yaitu memiliki penis, memiliki jakala (kalamenjing) serta memproduksi sperma. Sedangkan individu berjenis kelamin perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim, memproduksi sel telur, memiliki alat vagina, serta memiliki payudara.

Sebagaimana dikutip dari Utaminingsih (2017), Sarah Byrne dan Matthias Schnder mendefinisikan gender sebagai aspek sosial antara perempuan dan laki-laki. Selain itu, sebagaimana dikutip dalam Salviana (2016), Jary dan Jary mengartikan gender ke dalam pengategorian "masculine" dan "feminine" melalui atribut-atribut yang melekat secara sosial.

Laki-laki dengan ciri-ciri biologis dan sifatnya diidentikkan sebagai orientasi instrumental, yaitu pemimpin, aktif, penonjolan diri, dan pelindung. Sedangkan perempuan dengan ciri-ciri dan sifatnya diidentikkan sebagai sifat feminin, yaitu berkaitan dengan orientasi emosional seperti pasif, berkorban untuk orang lain, memiliki ketergantungan, pemalu, dan perasaan.

Menurut Utomo (2006), masih kuatnya pengaruh budaya patriarki di masyarakat Indonesia yang membedakan antara kekuasaan laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada peran gender tradisional yang melingkupi berbagai aspek kehidupan yang ada. Terjadinya ketimpangan peran laki-laki dan perempuan salah satunya adalah dalam bidang pekerjaan, khususnya bidang konstruksi.

Kegiatan konstruksi menggunakan banyak tenaga kerja yang cukup besar. Tenaga kerja yang banyak dibutuhkan di dalam bidang konstruksi adalah tenaga kerja kasar. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan konstruksi merupakan pekerjaan yang berat. Sehingga terbangun stereotip di masyarakat bahwa pekerjaan di bidang konstruksi lebih didominasi oleh kaum laki-laki.

Namun pemikiran tersebut tidak berlaku bagi Silvia Halim. Ia merupakan sosok perempuan hebat yang berperan penting di balik kesuksesan proyek MRT. Silvia Halim berhasil mendobrak stereotip bahwa perempuan tidak dapat bekerja di bidang konstruksi.

Silvia Halim merupakan perempuan lulusan Nanyang University Singapura yang menjabat sebagai Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta. Ia berhasil mematahkan stereotip dan melakukan pembuktian bahwa perempuan dapat bekerja di bidang konstruksi di mana pekerjaan tersebut biasa didominasi oleh laki-laki.

Sebagaimana dikutip dari Anjani (2019), Silvia Halim mengatakan bahwa, "Kaum perempuan harus mematahkan stereotip yang terbentuk dari diri sendiri yang memang sering dilakukan tanpa sadar bahwa perempuan harusnya lemah lembut, ngomongnya tidak boleh kasar, emosional, galau karena PMS. Hal itu yang membuat perempuan berpikir bahwa kaum perempuan tidak cocok atau tidak bisa bekerja di bidang atau area yang didominasi kaum laki-laki".

Dia juga sangat mendukung peran perempuan dalam bidang teknik dan kepemimpinan. Menurutnya perempuan berorientasi pada detail, gigih, kolaboratif, dan pendengar yang lebih baik. Masih dikutip dari Anjani (2019), Silvia Halim menyatakan bahwa dia sangat bangga dengan fakta yang menunjukkan bahwa 28% pekerja di MRT merupakan pekerja perempuan, 30% dari mereka berada di level direktorat, dan 44% dalam entry level.

Kesuksesan perempuan sering kali tidak lepas dari dukungan lingkungan sekitar. Dikutip dari Anjani (2019), Silvia Halim juga mengatakan bahwa support system yang diberikan oleh keluarga, pasangan, teman-teman perempuan yang saling mendukung dan juga teman laki-laki feminis di lingkungan kerja yang percaya bahwa Silvia bekerja sehebat dan sebagus mereka.

Sejarah mengenai perbandingan gender antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang dikarenakan perbedaan dalam banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, hingga dikonstruksi secara sosial atau kultural (Puspitosari & Maharani, 2014). Berbagai perbedaan peran, fungsi, tugas, dan juga tanggung jawab serta kedudukan di antara laki-laki dan perempuan, baik secara langsung ataupun tidak langsung menimbulkan berbagai ketidakadilan karena sudah berakar dalam adat, norma, dan struktur masyarakat. Masyarakat masih menganggap atau mendefinisikan bahwa gender sebagai perbedaan jenis kelamin.

Berdasarkan pemaparan di atas, isu mengenai gender dapat diselesaikan dengan lebih baik melalui pendekatan yang responsif. Bersama-sama memberikan informasi dan menjelaskan kepada masyarakat atau lingkungan sekitar, bahwa gender merupakan suatu konstruksi budaya mengenai peran fungsi serta tanggung jawab sosial di antara laki-laki dan perempuan.