Bangsa Indonesia pernah terpukul oleh perkataan jujur yang dikeluarkan sastrawan senior Taufiq Ismail dalam sebuah audiensi dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tahun 2010 yang menyebutkan bahwa Indonesia tengah mengalami tragedi nol buku.

Tidak sampai di situ, Taufiq Ismail juga sempat melakukan penelitian tentang kewajiban membaca buku sastra pada SMA di 13 negara, Juli Oktober 1997. Ia melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA dari 13 negara dan bertanya beberapa hal, yaitu:

1. Kewajiban membaca buku.

2. Fasilitas buku wajib di perpustakaan sekolah.

3. Bimbingan menulis.

4. Pengajaran sastra di sekolahnya.

Yang mengejutkan dari penelitian tersebut adalah hanya siswa SMA Indonesia yang tidak diberi kewajiban membaca buku sastra sehingga dianggap menjadi siswa yang bersekolah tanpa mewajibkan membaca, padahal hal ini sangat kontradiktif karena sekolah seharusnya identik dengan membaca.

Tidak berlebihan penggunaan kata tragedi di sini karena di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tragedi diartikan sebagai peristiwa kelam atau menyedihkan bersifat gaib yang seharusnya menjadi highlight penting bagi negara dalam memajukan negara. Ia juga merasiokan hal ini ke masa kemerdekaan negara, hal ini sangatlah timpang sepertinya. Pejuang negara selalu mempunyai strategi efektif dan pikiran yang visioner dalam membangun bangsa. Dan ini tidak terjadi tibatiba karena gagasangagasan brilian muncul ketika seseorang bisa membaca, merangkum, dan mengambil intisari dari berbagai buku.

75 tahun merdeka, kita telah melalaikan tradisi literasi yang diturunkan para aktor aksi, kita acuh terhadap apa yang dulu membawa kita merdeka. Secara tidak langsung pula kita sedang meruntuhkan negara dengan cara tidak membaca. Keprihatinan ini didukung pula oleh datadata.

Sebuah penelitian yang dilakukan World Culture Index Score 2018 bahwa Indonesia ada di peringkat ke60 dari 61 negara yang disurvei tentang minat baca, sangat jauh tertinggal oleh negara India, Thailand, dan Cina yang menempati peringkat 1, 2, dan 3 secara berurutan. Bahkan UNESCO pernah menyebutkan Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca.

Sadar atau tidak sadar, ini merupakan bencana nonfisik bagi negara. Sama halnya dengan bencana tsunami, banjir, dan gempa di daerahdaerah Indonesia. Bedanya, bencana alam tersebut memakan korban di satu daerah dan hanya berbentuk fisik. Tetapi tragedi nol buku ini menghancurkan karakter dan mentalitas bangsa dan berlaku secara global.

Salah satu cara mencegah tragedi nol buku dan mencegah keacuhan pemerintah dalam menangani hal ini, yaitu program Gerakan Indonesia Membaca yang mewajibkan warganya selalu berliterasi. Bagi umat Islam membaca bukan hal baru karena ilmuwanilmuwan yang hidup di bani Abassiyah dan Umayyah pun lahir dari membaca, bahkan seperti kita ketahui bahwa membaca adalah perintah langsung dari Allah SWT yang jauh turun sebelum segala sesuatu turun.

Semua sadar bahwa literasi menjadi pilar penting dalam membangun suatu negara. Literasi bukan sekadar memberikan segudang ilmu, berbagi pengalaman, memandang segala sesuatu dari segala macam kacamata, dan mengenyangkan akal semata. Literasi lebih dari itu untuk membentuk cara berpikir, bertutur, dan berbuat. Buku menguatkan jiwa yang ringkih juga melahirkan peradabanperadaban besar. Buku adalah benda mati yang hidup di dunia.

Pada masa pandemi inilah kita dituntut untuk memaksimalkan waktu guna melakukan hal-hal yang akan memberikan feedback positif kepada kita, yang paling mudah ialah meningkatkan literasi. Literasi berbagai macam bentuknnya, mulai dari membaca, berdiskusi, dan menonton sekalipun termasuk ke dalamnya. Maka dari itu, potensi kita meningkatkan diri dengan literasi pada saat seperti ini sangat besar. Selalu menjadi orang berguna, berliterasilah.