Proses masuknya agama Islam terhadap masyarakat Jawa sangatlah penting untuk diketahui dan dipelajari. Karena hubungan Nusantara terutama Pulau Jawa dengan Islam sangatlah erat dan tidak bisa dipisahkan. Perlu rasanya sebagai penerus bangsa untuk mengenang sekaligus mempelajari perjalanan para penyebar Agama Islam di Pulau Jawa. Terlebih, begitu banyak sumber-sumber literasi yang mengulas tentang islamisasi Jawa.

Sesuai dengan pernyataan Ketua Lesbumi PBNU KH. Agus Sunyoto, Jika dahulu Nusantara Mencapai kejayaannya, saat ini tugas kita belajar dari fakta sejarah, untuk mencapai cita-cita bangsa melalui ajaran luhur yang terkandung di dalamnya. Bagaimana kita mengenal jati diri bangsa, sedangkan dengan sejarahnya saja tidak tahu?

Masyarakat Jawa sendiri sebelum masuknya Islam sudah mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang dipeluk. Sebut saja Kapitayan, yakni kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Nusantara Kuno sebelum datangnya Hindu, Budha, dan Islam. Kapitayan adalah ajaran yang menyembah SangHyang Taya yang berarti hampa ataupun kosong, yang bermaksud bahwa sesembahan mereka tidak dapat dibayangkan dan masyarakat Jawa menyebutnya dengan Tan keno kinaya ngapa.

Kepercayaan masyarakat Jawa terus berkembang dengan masuknya agama Hindu-Buddha dari India sehingga memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa. Pengaruh masuknya Hindu-Buddha ini dapat dibuktikan dengan berdirinya berbagai kerajaan seperti Salakanegara, Tarumanegara, Kalingga, hingga Majapahit yang menjadi kerajaan terbesar di Nusantara.

Proses awal peralihan Hindu-Buddha menjadi Islam.

Sedangkan peralihan dari Hindu-Buddha menjadi Islam juga merupakan proses yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia, meskipun juga sangat tidak jelas. Karena pada masa itu masih berdiri Kemaharajaan Majapahit yang wilayahnya hampir mencakup seluruh Nusantara dan Hindu-Buddha sudah menjadi kepercayaan masyarakat selama berabad-abad lamanya.

Namun, Kerajaan Majapahit sepeninggalan mangkatnya Prabu Hayam Wuruk atau Sri Maharaja Rajasanagara dan Mahapatih Gajah Mada pun bisa runtuh akibat perebutan tahta. Sebut saja Perang Paregreg (1401-1405 Masehi) yang menyebabkan kerajaan melemah karena menghabiskan banyak biaya dan persediaan logistik.

Puncak peralihan agama Hindu-Buddha menjadi Islam adalah ketika masa Pemerintahan Prabu Brawijaya V yang mempunyai istri seorang muslimah bernama Dewi Anarawati (berbagai sumber lain menyebutkan: Dewi Darawati, Dwarnawati, Damarwati, dll) yang dihadiahkan oleh Raja Champa Indravarman IV. Dewi Anarawati atau biasa dipanggil Putri Cempo oleh masyarakat Jawa ini menjadi cikal bakal masuknya Islam di bumi Majapahit.

Prabu Brawijaya V tergila-gila dengan keanggunan Putri Campha yang membuatnya menjadi sangat lunak. Kepemimpinan Prabu Brawijaya banyak menaruh perhatian terhadap Islam, meskipun sang raja sendiri tidak beragama Islam. Selain istri dan anak-anak yang telah memeluk Islam, banyak dari kalangan pejabat kerajaan yang juga telah memeluk Islam.

Munculnya Walisongo.

Keberadaan Putri Champa yang melakukan pergerakan dakwah di tubuh Kerajaan Majapahit menjadi semakin mulus seiring semakin melunaknya Prabu Brawijaya terhadap perkembangan Islam. Berdatangan para ulama dari negara lain untuk menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Hingga muncul Walisongo yang merupakan sebutan bagi para tokoh penyebar Islam dan dikeramatkan oleh masyarakat Jawa.

Pembawaan ajarannya mudah diterima karena menggunakan cara yang damai dan tutur bahasa yang baik. Ajaran Islam dibungkus rapi dengan menyesuaikan kondisi masyarakat yang masih sangat kental dengan Hindu-Buddha, sehingga merapikan kebudayaan yang telah dianut oleh masyarakat.

Pengaruh ajaran Walisongo yang menggunakan pendekatan sufisme banyak memasuki aspek adat-istiadat kebudayaan maupun keagamaan. Seperti peringatan kematian seseorang pada hari ke-3, ke-7, ke-30, ke-40, ke-100, hingga ke-1000, membuat bubur pada waktu bulan Muharrom, kenduri, menalqin mayat, nyadran, rebo wekasan, dan lain-lain.

Pengaruh Walisongo terhadap pendidikan juga sangat besar, seperti pengembangan pendidikan berbasis ashrama yang diadopsi dari model pembelajaran lembaga pendidikan Syiwa-Buddha dan hingga kini bertahan dengan sebutan Pondok Pesantren. Tak hanya itu, Walisongo juga melakukan dakwah dengan cara menyadur kesenian agar sesuai dengan Islam, membuat perkakas-perkakas yang dapat digunakan bertani, membuat tembang-tembang,

Kesenian adalah salah satu jalan yang dipakai Walisongo untuk mengajarkan Islam. Kesenian pada masa sebelum Islam lebih diarahkan sebagai bentuk ritual keagamaan yang oleh para tokoh Walisongo diubah sebagai media untuk berdakwah, seperti halnya wayang yang dirasa perlu diteruskan dengan perubahan-perubahan yang sesuai zaman, diubah dan diisi paham yang mengandung ajaran Islam, seperti keimanan, akhlak, dan sopan santun.

Pada awalnya wayang berupa gambar di atas kain dengan diberi warna dan dikenal dengan wayang beber. Pada masa Kerajaan Demak, wayang diubah menjadi gambar pipih dua dimensi menggunakan kulit kerbau dan tidak terkesan menyerupai bentuk manusia.

Perkembangan Islam pada masa kerajaan Islam.

Keruntuhan Majapahit adalah awal bergantinya kerajaan bercorak Hindu-Buddha menjadi Islam. banyak berdiri Kerajaan Islam di Jawa. Seperti Pajang, Kalinyamat, Lumajang, Giri Kedhaton, Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Peranan kerajaan terhadap Islamisasi di Jawa juga tidak kalah penting. Seperti yang dilakukan Walisongo, kerajaan-kerajaan Islam juga banyak menggunakan aspek kebudayaan dan kesenian dalam mengembangkan Islam.

Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, didirikan oleh Raden Patah yang bergelar Senopati Jinbun Ningrat Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayyidin Panatagama anak dari Prabu Brawijaya V dengan Putri Cina. Raden Patah adalah raja yang menaruh perhatian besar terhadap kesenian, beberapa jasanya adalah menciptakan kayon/gunungan, simpingan, gamelan sekati yang pada hari tertentu ditempatkan di halaman masjid dan dibunyikan, dan menempatkan tokoh Drupadi yang semula menjadi istri lima Pandawa menjadi permaisuri putra tertua Pandawa, yakni Yudisthira, Raja Amarta. Serta dikisahkan memiliki putra yang bernama Pancawala.

Selain Raden Patah, ada pula Sultan Agung Hanyrakusuma atau Raden Mas Rangsang Raja Mataram Islam yang berjasa dalam membuat keselarasan budaya Jawa dengan nilai-nilai Islam. Salah satunya adalah Masjid Besar Mataram di Kotagede yang terdapat beberapa ornamen menyerupai candi dan saat pembangunannya pun melibatkan banyak masyarakat yang masih memeluk Hindu dan Buddha.Sultan Agung juga melakukan kebijakan-kebijakan kultural seperti peringatan Maulid Nabi dengan sebutan Sekaten, mengawinkan penanggalan saka dengan kalender hijriah yang melahirkan tahun Jawa, dan membuat silsilah keluarga kerajaan Mataram yang bersambung dengan Prabu Brawijaya, tokoh-tokoh dalam perwayangan, hingga Nabi Adam A.S.