Tahun ajaran baru 2020/2021 telah dimulai sejak 13 Juli 2020 yang lalu, namun sekolah-sekolah mulai tingkat dasar, menengah, atas, hingga perguruan tinggi masih harus menggunakan kelas virtual untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar.

Belum redanya Covid-19 membuat pemimpin kita sedemikian keras berpikir agar rakyatnya tetap aman dari wabah yang tengah melanda. Dunia pendidikan mengalami perubahan yang sangat signifikan, mulai dari persiapan tahun ajaran baru, proses belajar mengajar, hingga evaluasi akhir yang diperkirakan tetap akan dilakukan secara daring atauonline sampai akhir tahun 2020.

Mewabahnya Covid-19 seperti pintu gerbang menuju sebuah pola pendidikan baru berbasis teknologi informasi yang sarat dengan aplikasi dunia maya, dan mau tidak mau masyarakat awam pun harus belajar sedikit demi sedikit dengan kebaruan teknologi ini.

Pernahkah kita bayangkan sebelumnya satu waktu sebuah sekolah hadir dalam sebuah perangkat daring dengan komputer/laptop dan jaringan internet? Interaksi antara guru dan murid, dosen dan mahasiswa, dilakukan secara virtual atau tatap muka melalui sebuah koneksi jaringan internet. Dan ini sudah nyata terjadi hanya dalam kurun waktu enam bulan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan miliaran penduduk Bumi dalam satu tahun ini? Seluruh sekolah dan kampus di hampir 188 negara ditutup dan dialihkan menjadi home schooling, belajar dari rumah, serta bekerja dari rumah.

Sesungguhnya era revolusi industri 4.0 yang sejak lima tahun belakangan sering dibicarakan orang sudah demikian masif bahkan terintegrasi kepada sistem pendidikan di Indonesia saat ini. Mari kita sama-sama ucapkan selamat datang pada era Edukasi 4.0, di mana setidaknya ada tiga perangkat penting yang saling berhubungan dan saling mendukung satu dengan yang lain yaitu: data, komputer, dan internet. Ketiga perangkat penting ini yang menjadi kunci terselenggaranya pola edukasi 4.0, sekolah virtual, dan kampus daring atau online.

Data sesungguhnya digunakan untuk menggambarkan material dalam sistem edukasi 4.0 ini. Seperangkat data yang umumnya hadir dalam bentuk cetak, akan berubah menjadi bentuk elektronik atau e-data. Buku-buku siswa akan menjadi e-book, perangkat pembelajaran guru dan dosen yang berbentuk Rencana Pembelajaran Semester (RPS) akan menjadi e-RPS, dan segala bentuk data seketika akan hadir di dalam sebuah perangkat komputer, laptop, atau minitab.

Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) sampai dengan akhir 2018 pengguna jasa internet di Indonesia mencapai 171,18 juta dengan potensi pertumbuhan 10,12% per tahun, dan diperkirakan sampai dengan tahun 2020 terjadi pertumbuhan hampir 30% pengguna.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri memang hingga saat ini belum membakukan platform atau aplikasi apa yang menjadi standar dan diberlakukan untuk sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Tercatat aplikasi Ruang Guru dan Rumah Belajar yang hingga kini sudah mempunyai 12,5 juta pengguna serta Kemendikbud membuat Televisi Edukasi dan Radio Edukasi untuk memudahkan siswa, orang tua, dan guru untuk berinteraksi. Di tingkat perguruan tinggi aplikasi Zoom, Google Meet, dan Cisco Webex menjadi pilihan para dosen untuk mengadakan kelas virtual bertatap muka dengan mahasiswa, serta memberikan tugas-tugas kuliah melalui Google Classroom, WA Grup, Telegram, dan sebagainya.

Pola edukasi 4.0 ini tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan apalagi terhadap psikologis anak. Dengan pola belajar dan bekerja di rumah, orang tua dapat mendampingi dan membimbing anak-anak belajar, orang tua dapat menggali keterampilan dan talenta sang anak, serta akan menguatkan pola pengasuhan anak sehingga lebih mempererat ikatan psikologis dalam keluarga.

Hanya saja dengan berbagai latar belakang keluarga, pola edukasi berbasis digital ini akan menemui beberapa kendala, di antaranya adalah tidak semua orang tua mengerti dan dapat menggunakan platform digital atau aplikasi untuk membantu anak belajar di rumah, tidak semua keluarga mempunyai akses atau sarana ke sumber-sumber pembelajaran daring atau digital seperti akses jaringan internet dan smartphone, serta instrumen teknologi informasi yang tersedia kurang memadai dan belum menjangkau ke seluruh wilayah di Indonesia.

Sebuah catatan penting bagi Kemendikbud dan solusinya adalah Kemendikbud harus bergerak cepat dengan membentuk tim konten yang bertugas mengembangkan dan mengkurasi materi pembelajaran dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, serta bekerja sama dengan berbagai organisasi penggiat pendidikan dari tingkat pusat hingga daerah agar kesenjangan sarana dan prasarana pola edukasi 4.0 dapat diperkecil.