Saat Indonesia dan negara lainnya masih kewalahan dalam menangani pandemi Covid-19, negara-negara seperti New Zealand, Iceland, Jerman, Taiwan, dan negara lainnya telah sukses dalam menangani krisis ini. Semua negara tersebut dipimpin oleh seorang wanita. Apa benar negara yang dipimpin oleh wanita jauh lebih baik dalam menangani krisis ini?

Penanganan Covid-19 oleh negara dilakukan dengan cara pembatasan sosial berskala besar dan lockdown wilayah maupun negara. Salah satu caranya yaitu dengan menutup tempat-tempat umum, menutup penerbangan antar kota maupun antar negara, membuat protokol kesehatan, dan hal-hal lain yang perlu menjadi kerja sama antar pemerintah dan juga masyarakatnya. Pemerintah sudah pasti membuat banyak sekali kebijakan untuk diberikan kepada masyarakatnya yang juga akan sangat mengeluarkan banyak sekali pengeluaran untuk mengatasi tindakan preventif maupun pengobatan Covid-19 ini. Negara-negara kaya dan kuat seperti Amerika dan Jepang seharusnya dapat mengatasi permasalahan Covid-19 ini dengan sangat baik. Namun, apa yang terjadi tidaklah sama dengan perkiraan.

Donald Trump, Presiden Amerika terkenal dengan kesombongannya akan kekuatannya sebagai laki-laki dan sering kali merendahkan wanita. Tapi ia kalah dalam pertarungan ini. Amerika Serikat juga dikenal sebagai negara adidaya yang sangat kaya dan sangat kuat. Pada saat ini, korban yang telah dikonfirmasi positif Covid-19 di Amerika telah mencapai 1,72 juta nyawa dengan angka 365.000 nyawa yang telah dinyatakan sembuh dan 100.000 korban jiwa. Jika ia benar memiliki kekuatan karena merupakan seorang lelaki, lalu mengapa ia kalah dengan negara-negara di atas yang dipimpin oleh wanita?

Jepang juga mengalami kewalahan pada tahap awal karena pemerintahnya yang tidak cepat tanggap dalam penanganannya. Padahal Jepang merupakan negara kaya yang mempunyai teknologi cukup untuk melakukan tindakan preventif. Tapi kekayaan dan kekuatan negara-negara tersebut terabaikan karena penanganan pemerintah yang tidak cukup peduli dengan pandemi ini.

Kasus sama lainnya terjadi di Kerajaan Inggris. Inggris telah tercatat sebagai negara dengan kematian terbanyak di Eropa dalam kasus Covid-19 ini. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, yang mempunyai sejarah berkomentar seksis, berniat untuk meminimalisir ancaman Covid-19 ini, walaupun pada akhirnya ia juga terpapar. Bahkan Pangeran Charles sebagai putra mahkota Britania Raya telah dikonfirmasi bahwa ia juga terkena Covid-19. Mengapa para pemimpin negara kaya dan kuat tidak berhasil dalam menangani krisis pandemi ini?

Pemikiran mengenai stereotip maskulin tampaknya berkorelasi dengan respon pandemi yang buruk. Banyak pengamat meyakini bahwa keberhasilan para pemimpin perempuan mungkin berasal pada sifat "feminin" tradisional mereka sebagai wanita, seperti empati, kasih sayang, dan kemauan untuk bekerja sama. Seperti yang diketahui bersama, bahwa menangani pandemi ini bukan hanya dibutuhkan teknologi yang canggih saja, melainkan rasa ingin saling membantu, rasa empati, kasih sayang kepada orang lain, rasa ikhlas dalam merawat dan menjaga juga dibutuhkan. Mungkin, itu yang tidak dimiliki para pemimpin dunia yang hanya beranggapan laki-laki adalah makhluk terkuat sehingga apa pun yang terjadi bisa terselesaikan, karena buktinya negara-negara yang dipimpin oleh wanita hebat justru jauh lebih makmur.

Pada kasus krisis ini seolah-olah para pemimpin wanita ini mengikuti mantra "go hard and go early". Ardern, Presiden New Zealand, memberlakukan lockdown empat hari sebelum kematian Covid-19 pertama negaranya. Saya sendiri, jajaran menteri dan direktur eksekutif [lembaga] pelayanan publik akan dipotong gaji 20 persen untuk enam bulan ke depan, karena kami merasakan warga Selandia Baru yang bergantung pada subsidi upah, melakukan pemotongan gaji, dan kehilangan pekerjaan sebagai akibat dari Pandemi global COVID-19," ujar Presiden New Zealand.

Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen memperkenalkan lebih dari seratus langkah kesehatan kepada masyarakatnya pada Januari ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan masih meragukan kemungkinan penularan virus ini dari manusia ke manusia. Jika sifat "feminin" tidak menjelaskan kinerja kuat para pemimpin perempuan di masa krisis, lalu apa? Atau ini juga berhubungan dengan perjuangan seorang wanita untuk menjadi pemimpin dan saat menjadi pemimpin memang lebih keras daripada apa yang dihadapi oleh laki-laki sehingga terbentuklah wanita-wanita kuat seperti para pemimpin negara-negara tersebut.

Taiwan menjadi negara pertama yang menyelesaikan krisis pandemi ini dengan hanya 3.000 kematian padahal Taiwan adalah negara yang sangat dekat dengan pusat penyebaran virus yaitu di negara Cina. New Zealand atau Selandia Baru sudah siap untuk membuka lockdown dalam waktu dekat. Di Jerman, Angela Merkel telah dipuji karena cepat tanggapnya dalam mengurus krisis ini dan menjadi pengingat terus-menerus secara berkala bahwa Covid-19 adalah "Serious. So take it seriously".Jerman sejauh ini mencatat kurang dari 5.000 kematian, angka yang jauh lebih rendah daripada kebanyakan negara-negara Uni Eropa. Jerman merupakan negara yang sangat banyak masyarakat usia lanjut, yang diketahui bahwa lansia memiliki potensi terpapar dan persentase kematiannya lebih tinggi daripada umur lainnya. Tetapi Jerman berhasil dalam penanganan pandemi ini karena kasusnya sudah turun secara signifikan.

Jadi, apa benar para pemimpin tersebut dapat mengatasi krisis ini dengan sangat baik karena mereka mempunyai sifat tradisional feminin sebagai wanita?