Kopi Luwak merupakan komoditas asli nusantara yang telah mendunia, bahkan dinobatkan sebagai kopi eksotis dan termahal di pasaran dunia. Siapa sangka jika kopi ini asalnya ditemukan secara tidak sengaja saat penerapan kebijakan tanam paksa kopi pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Sebagai komoditas yang mahal di pasaran Eropa kala itu, kopi hanya bisa dinikmati oleh orang Eropa atau kalangan elit priyayi. Adapun rakyat pribumi, Pemerintah Belanda tidak mengizinkan mereka memetik apalagi ikut menikmati seduhan kopi. Untuk bisa menikmati kopi, rakyat yang bekerja sebagai buruh perkebunan hanya bisa memunguti biji kopi yang tercecer dan bercampur dengan kotoran luwak. Kopi rakyat yang terolah dari kotoran luwak tersebut ternyata justru memiliki cita rasa yang lebih nikmat dari kopi biasa yang dinikmati oleh kalangan elit. Kabar kenikmatan kopi luwak akhirnya mengundang keingintahuan kalangan elit untuk mencicipinya. Dari sinilah akhirnya kopi luwak, yang awalnya merupakan kopi kalangan buruh perkebunan dan rakyat jelata pada era kolonial, berikutnya berubah menjadi kopi elit dan termahal di pasaran dunia.
Karena berbahan biji kopi yang keluar lewat anus binatang bahkan bercampur dengan kotorannya, maka olahan kopi ini sempat dilematis halal ataukah haram hukum mengonsumsinya. Dalam tinjauan fiqh klasik, apapun yang keluar dari anus (manusia ataupun binatang), entah wujudnya telah berubah menjadi kotoran ataupun masih utuh seperti aslinya, maka hukumnya haram. Namun setelah permasalahan ini dikaji dalam komisi fatwa dengan menghadirkan dan mendengar penjelasan dari ahli kopi, ahli pangan, dan dokter hewan, akhirnya MUI memutuskan bahwa biji kopi Luwak bukanlah barang yang najis, melainkan berstatus mutanajis, yakni barang yang asalnya suci namun terkena najis.
Menurut penjelas para ahli yang dihadirkan, Luwak sebenarnya hanya mengonsumsi bagian daging buah kopi yang berwarna merah yang nantinya dikeluarkan sebagai kotoran Luwak. Adapun bagian biji kopi, meskipun ikut dikeluarkan sebagai kotoran Luwak, namun tetap sebagai biji kopi biasa. Sistem pencernaan Luwak yang sederhana membuat biji kopi tak ikut terproses dalam sistem pencernaan Luwak. Dengan proses pencucian dan penyucian yang benar, maka biji kopi yang berstatus mutanajis tersebut bisa menjadi suci dan produk makanan olahan dari biji kopi tersebut menjadi halal untuk dikonsumsi. Proses pencucian dilakukan untuk memisahkan biji kopi dari kotoran bekas tanah ataupun bekas kotoran Luwak. Setelah melalui proses pencucian dan dipastikan biji kopi benar-benar bersih, selanjutnya adalah penyucian biji kopi dengan membilasnya menggunakan air suci sebanyak 7 kali.
Jember merupakan salah satu daerah yang terkenal dengan produksi Kopi Luwaknya, baik dari Jenis Arabika maupun Robusta. Salah satu sentra produksi Kopi Luwak di Jember terdapat di Desa Nogosari Kecamatan Rambipuji. Di lokasi tersebut terdapat Pondok al-Hafidzi yang dulunya didirikan oleh Hafidz bin Utsman. Namun masyarakat sekitar lebih familiar dengan sebutan Pondok Bun Prink. Lokasi Pondok Bun Prink di Desa Nogosari berada di area sekitar perkebunan kopi yang dikelola oleh Puslitkoka Jember. Masyarakat di sekitar perkebunan kopi Desa Nogosari awalnya menganggap keberadaan Luwak di kebun kopi sebagai hama yang mengganggu tanaman kopi. Namun pada tahun 2011, Hendi Burahman yang mengubah persepsi masyarakat tentang binatang Luwak yang awalnya dianggap hama, kini menjadi sahabat yang mendatangkan keuntungan tersendiri bagi masyarakat di Desa Nogosari. Ia juga menjadikan Pondok Bun Prink tidak sekadar sebagai pondok biasa, namun juga sebagai salah satu sentra produksi Kopi Luwak Jember.
Kopi Luwak Bun Prink diperoleh dari Luwak liar, sehingga kualitasnya lebih baik daripada kopi yang didapat dari Luwak yang dipelihara. Namun karena diperoleh dari Luwak liar, maka produktivitas kopi Luwak yang dihasilkan pun amat terbatas, per bulan Bun Prink hanya bisa menghasilkan 1-2 kwintal kopi. Sedangkan pada musim panen kopi, Bun Prink bisa menghasilkan sampai 10 kwintal sebulan. Dalam proses pencucian biji kopi yang masih tercampur dengan kotoran Luwak, Bun Prink memperhatikan standar MUI. Pengolahan biji kopi di Bun Prink yang menggunakan cara tradisional, tidak karena keterbatasan alat dan teknologi, melainkan hasil olahan secara tradisional dipercaya memiliki cita rasa dan kualitas yang lebih baik dibanding hasil olahan dengan cara modern. Sampai kini Bun Prink telah mengekspor produknya ke luar negeri, seperti ke Malaysia, Singapura, Korea, Taiwan, Tiongkok, dan Rumania.
Source
- https://shulhankholidi87.blogspot.com/2019/07/menengok-sentra-kopi-luwak-jember.html