Di era yang serba modern saat ini campaign kesetaraan gender terus digaungkan. Kaum perempuan merasa perbedaan gender tidak bisa membatasi seseorang dalam melakukan sesuatu hingga segala aktivitas harus dikotak-kotakkan berdasarkan gender. Namun hal ini belum bisa sepenuhnya dijalankan karena ada suatu budaya yang bernama Budaya Patriarki. Dilansir dari herstory.co.id, budaya patriarki menurut Walby ialah sebuah system struktur sosial dan praktik-praktik yang memosisikan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi kaum perempuan.

Diadaptasi dari novel karya Cho Namjoo berjudul Kim Ji-Young: Born 1982, Kim Doyoung sukses menjadi sutradara dari filmnya yang diberi judul yang sama yaitu, Kim Ji-Young: Born 1982. Hanya butuh waktu dua bulan untuk Cho Namjoo merampungkan karya novelnya, karena kehidupannya yang tidak jauh berbeda dengan novel tersebut. Banting stir dari aktris menjadi sutradara, Kim Ji-Young: Born 1982 menjadi film pertama yang digarap oleh Kim Doyoung.

"Mengingat novelnya memperlihatkan sejumlah topik diskusi bagi masyarakat, ada tekanan soal apakah saya bisa menciptakan sebuah film dan menjaga nilai orisinilnya, apalagi ini film besar pertama saya. Tetapi, saya pikir kisahnya penting untuk dikatakan, dan yang harus diceritakan." Ucap Kim Doyoung dilansir dari Tirto.id.

Kim Ji-Young: Born 1982 menceritakan realita budaya patriarki di Korea Selatan bahwa posisi perempuan adalah di bawah laki-laki di mana perempuan tidak bisa memiliki pekerjaan atau kasta yang lebih tinggi dari laki-laki. Laki-laki yang bekerja, perempuan bekerja di rumah sebagai karyawan rumah tangga, sekalipun perempuan bekerja maka pemimpinnya haruslah laki-laki. Pengambilan detail yang related dan suasananya yang dekat dengan masyarakat mengantarkan Kim Doyoung menerima penghargaan Best New Director dengan film Kim Ji-Young: Born 1982 pada Baek Sang Art Awards.

Kim Doyoung berhasil menggambarkan Jiyoung yang diperankan oleh Jung Yumi, menjadi tokoh utama yang menjadi penggambaran budaya patriarki yang menjadi diskriminasi gender terhadap perempuan. Jiyoung yang juga mempunyai suami bernama Jung Daehyun, diperankan oleh Gong Yoo, dengan karakter yang tidak mendukung budaya patriarki.

Kim Ji-Young: Born 1982 mendukung feminisme dan emansipasi wanita yang mencoba melawan budaya patriarki, di mana perempuan dinilai lemah dan laki-laki dinilai sebagai pemimpin. Feminisme sendiri merupakan gerakan ideologi kebebasan perempuan dengan pendekatan percaya bahwa kesengsaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan karena seksualitasnya. Makna lain menyebutkan feminisme menuntut kebebasan, persamaan hak, dan keadilan sosial bagi perempuan.

Feminisme yang muncul di Korea Selatan juga sejalan dengan budaya patriarki dan gerakan lainnya yaitu #NoMarriage, karena konstruksi gender di Korea Selatan yang menilai bahwa wanita paling cocok untuk menjadi ibu dan mengurus rumah tangga seperti yang digambarkan dalam film Kim Jiyoung: Born 1982. Kim Jiyoung yang menikah dan memiliki keluarga harus keluar dari pekerjaannya karena tidak bisa dipromosikan dan harus mengurus anak dan keluarganya sehingga tidak punya banyak waktu untuk mengurus pekerjaan. Kemudian Hyesoo yang tidak menikah dapat dipromosikan walaupun harus menunggu lama karena perusahaan mendahulukan pria dan tetap bisa bekerja.

Seorang pengamat budaya Korea Selatan sekaligus pengajar Pendidikan Bahasa Korea Universitas Pendidikan Indonesia, Ashanti Widyana menyebutkan pada voi.id, jika perempuan hamil maka perusahaan akan cenderung mendorong untuk mengundurkan diri daripada cuti. "Karena prinsipnya jika perempuan hamil, lalu melahirkan, fokusnya akan terbagi."

"Juga akhirya karena aturan tersebut perempuan Korea memutuskan untuk tidak menikah, bahkan hingga di atas usia 30-40 tahun karena karier mereka lebih penting. Sekali mereka menikah dan punya anak, kariernya terancam. Lalu, perempuan-perempuannya juga jadi mikir untuk apa menikah jika bisa menghasilkan uang sendiri," tambah Ashanti.

Kim Ji-Young: Born 1982 juga menampilkan scene yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat tidak hanya untuk Korea Selatan tapi juga Indonesia. Tokoh mertua Jiyoung yaitu ibu Daehyun yang sangat menganggap Jiyoung tidak dapat melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak, terlihat saat hari raya di mana keluarga besar berkumpul di rumah orang tua Daehyun, perilaku dan ucapan ibu Daehyun menyindir Jiyoung. Lainnya terlihat saat ayah Jiyoung yang sangat mendukung Jiseok, adik Jiyoung dengan membelikan obat vitamin untuk Jiseok bukan memikirkan Jiyoung. Di sini masih terdapatnya diskriminasi terhadap kaum perempuan di mana perempuan sejatinya akan menjadi ibu rumah tangga yang akan mengasuh anaknya dan di sisi lain anak laki-laki sangat dijunjung tinggi.

Selain itu Kim Ji-Young: Born 1982 ini juga dengan gamblang memperlihatkan beberapa adegan yang menggambarkan patriarki di Korea Selatan seperti di rumah dan di kantor. Patriarki di rumah digambarkan bahwa perempuan harus bekerja di dapur secara ekstra dengan bangun saat pagi buta serta tetap di dapur saat libur kumpul keluarga. Sedangkan laki-laki dapat tidur dengan nyenyak di malam hari dan siang hari hanya bermain.

Patriarki di kantor digambarkan sosok laki-laki yang terus mendapatkan promosi untuk menjadi atasan. Sedangkan perempuan tidak bisa mendapatkan promosi karena dinilai tidak cukup kompeten dan banyak waktu yang akan terbuang jika sudah berkeluarga hingga memiliki anak.

Scene yang digambarkan dalam film Kim Ji-Young: Born 1982 sangat sesuai dengan realita Korea Selatan di mana PBB menyebutkan berdasarkan Laporan Pengembangan Manusia pada 2018, Korea Selatan menduduki peringkat ketimpangan gender tertinggi secara konsisten dengan indeks 0,063. Selain itu The Economist menyebutkan berdasarkan laporan Glass Ceiling Index, perbedaan gaji laki-laki dan perempuan di Korea Selatan mencapai 35% dan hanya 2% korporasi yang menjadikan perempuan sebagai pemimpin.

Dikutip dari tirto.id, Park Kwicheon, seorang profesor hukum perburuhan dari Ewha Law School menyebutkan, "Perempuan Korea Selatan memiliki tingkat pekerjaan rendah meskipun memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Kita bisa melihat bahwa diskriminasi dalam perekrutan masih berlanjut dalam banyak hal."

Dari film ini kita juga belajar untuk menanamkan rasa empati kita kepada sesama terutama pada kaum perempuan yang banyak tertindas pada haknya, menghargai dan mengapresiasi setiap apa yang orang lain lakukan, karena kita tidak pernah tahu apa saja yang sudah terjadi di balik itu. Selain itu juga ego perlu kita perhatikan. Pentingnya peran suami dalam membantu dan mendukung istri menjadi faktor utama dari kesehatan mental seorang istri. Kerja sama dengan keluarga terdekat seperti mertua juga perlu dilakukan karena kesehatan kita baik fisik maupun mental pasti akan berpengaruh terhadap orang di sekitar kita.