×
Sign in

Hello There

Sign In to Brilio

Welcome to our Community Page, a place where you can create and share your content with rest of the world

  Connect with Facebook   Connect with Google
Mau jadi pengusaha tak ada salahnya bikin startup

0

Ekonomi

Mau jadi pengusaha tak ada salahnya bikin startup

Generasi muda banyak yang bermimpi untuk menjadi entrepreneur.

Disclaimer

Artikel ini merupakan tulisan pembaca Brilio.net. Penggunaan konten milik pihak lain sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Silakan klik link ini untuk membaca syarat dan ketentuan creator.brilio.net. Jika keberatan dengan tulisan yang dimuat di Brilio Creator, silakan kontak redaksi melalui e-mail redaksi@brilio.net

Remigius Septian

16 / 03 / 2018 10:49

Generasi millenial, atau yang dalam teori sosiologi masuk dalam kelompok Generasi Y, konon memiliki karakter yang agak berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.

Cerita salah satu teman saya yang bekerja untuk sebuah perusahaan penyedia jaringan seluler dan internet yang punya warna brand kuning mengungkapkan, saat ini perusahaannya lebih sulit mencari calon pekerja, apalagi dari mereka yang lahir di dekade 1980-an hingga 1990-an. Jumlah pelamar menurun, untuk mendapatkan kandidat yang berkualitas mumpuni pun makin sulit.

Menurut penelitian para pakar sosiologi kelas dunia, Generasi Micin memang cenderung memuja kebebasan. Anggota generasi ini, termasuk saya sebenarnya, ingin keluar dari pakem-pakem yang dianggap kuno.

Mereka lebih menginginkan gaya santai tanpa banyak aturan. Dasi dan jas dipadukan dengan sneakers. Kebaya dikawinkan dengan sepatu untuk jogging. Nyeleneh.

Generasi Y lebih merasa punya martabat dan gengsi yang tinggi manakala mereka bekerja di perusahaan rintisan, atau bahasa kerennya perusahaan startup.

Loading...

Aturan yang tidak terlalu mengikat, ruang untuk berkreasi yang terbuka lebar, dan jenjang karir yang relatif lebih menjanjikan ketimbang perusahaan yang dipenuhi generasi zaman old membuat mereka berlomba bekerja di perusahaan rintisan.

Satu lagi. Manusia di generasi ini banyak yang pingin jadi pengusaha, pebisnis, entrepreneur. Tapi bukan pedagang!

Harap dicatat, pedagang dan Entrepreneur Bedha, le! Pada entrepreneur tercium aroma high tech, sedangkan pedagang itu low tech (sejenis gado-gado).

Segala macam urusan diberi sentuhan teknologi kekinian. Masalah investasi, transportasi publik, sampai urusan sayur mayur dan bumbu dapur dijejali fitur-fitur canggih macam GPS, big data, mobile apps, payment gateway, dan beragam fitur lain yang sulit dialihbahasakan.

Rasanya urusan kentut dan eek saja yang belum bisa dijejali teknologi kekinian. Atau mungkin, setelah tulisan ini diunggah bakal ada yang mau bikin aplikasi untuk memudahkan mereka yang hajatnya sudah di ujung lubang? Saya pasti akan memasangnya di telepon pintar saya!

Fitur-fitur itu belum termasuk bahasa pemrograman dan aplikasi keamanan yang makin nyeleneh. Saya pikir Java itu sudah paling TOP, ternyata ada lagi Phyton, MetLab, C++, dan Perl. Makin rumit!

Bisnis yang sarat teknologi itu sudah pasti juga sarat modal. Jangankan untuk teknologi, pipis di pom bensin aja sudah 2.000 perak, gaes.

Berapa, sih modal yang dibutuhkan untuk membangun usaha rintisan? Angkanya tak pasti, tapi beberapa literatur menyebut angka antara 100 ribu sampai 200 ribu dolar Amrik, which is 1,3 miliar sampai mendekati 3 miliar rupiah.

Terus, dari mana Generasi Y dan Z punya modal? Rasanya mustahil mereka membangun usaha rintisan dengan kocek sendiri. Wong pengalaman kerja juga paling lama 15 tahun. Buat beli rumah di daerah Depok dan Tangerang yang pinggiran juga ndak nutup!

Alternatif pembiayaan sudah tentu berasal dari investor. Ada banyak grup investor yang kepingin banget menanamkan duitnya di perusahaan-perusahaan rintisan. Supaya lebih high tech, kita panggil para investor ini dengan sebutan Venture Capital (VC).

Ada juga beragam situsweb yang mempertemukan para boss wannabe dengan calon investornya, seperti Angel.co, Funded.com, atau gust.com.

Jumlah perusahaan rintisan di Indonesia sendiri tahun 2017 lalu sudah menyentuh angka 1.500 perusahaan.

Banyak perusahaan rintisan Indonesia yang sudah basah kuyup disiram duit para investor. Mau bukti? Yang paling gress ya Gojek. Di pertengahan Januari kemarin Google menyiram modal 16 triliun rupiah ke perusahaan itu. Jangan tanya nyiramnya pakai apa, rasanya pakai selang pemadam kebakaran juga masih kurang besar.

Ada lagi Warung Pintar. Usaha rintisan yang membantu para pengusaha kecil dalam mencari lahan dan modal awal ini baru saja digelontorkan uang 55 miliar rupiah dari beberapa investor kenamaan.

Tapi, hai para pemuda harapan bangsa, tahu kah kalian bahwa saat kalian menerima investasi sekian miliar itu, kalian juga bakal dibebani rentetan tuntutan dan target?

Dunia industri rintisan mengenal beberapa jenjang pendanaan. Kasta paling bawah disebut dengan Bootstrapping. Ini adalah tahap dimana seorang pengusaha rintisan masih menggunakan modal sendiri.

Setelah bisnisnya berjalan, walau belum cuan, kamu sebagai pengusaha bisa mulai mencari investor. Jika ada investor yang tertarik dengan konsep bisnis rintisanmu, maka bisnismu akan naik kelas ke jenjang Seeding.

Jenjang ini dibagi lagi menjadi beberapa tingkatan, Seeding A, B, C. Singkatnya, semakin tinggi tingkatnya, pendanaan yang didapat pun semakin besar.

Semakin besar duit yang dikucurkan investor, maka makin besar pula tuntutan yang dibebankan kepada si bos.

Di banyak VC, perusahaan-perusahaan rintisan yang menerima dana investasi harus mengikuti manajemen yang sudah mereka tetapkan. Pemilik perusahaan harus berkantor di kantor milik VC. Kinerja penjualan, sumber daya manusia, manajemen, hingga seluruh asetmu akan dipantau secara ketat oleh si empunya uang.

Kamu sebagai bos besar bakal dituntut untuk terus mengembangkan produk, memperluas pasar, mendapat pengguna baru, bla...bla...bla...

Enak, ya kedengarannya? Tapi, justru di sinilah khitah sebagai pengusaha patut dipertanyakan.

Bos mosok disuruh memenuhi target orang lain? Bos, kok harus bikin laporan tetek bengek? Bos, gan... Bos!!

Bukankah jadi pengusaha itu berarti jenengan yang bikin aturan, bikin target pendapatan, mengatur hidup sesuka udel sampeyan sendiri? Besok mau leha-leha di Gili Trawangan, lusa antar-jemput anak sekolah, minggu depan mau tidur seharian, kan suka-suka sampeyan, tho?

Lha kok, malah kamu diatur lagi sama orang? Terus, apa bedanya kamu dengan orang-orang yang pergi pagi dan pulang malam, atau malah sama Bang Toyib yang nggak pulang-pulang?

Kalau begitu caranya jadi entrepreneur, kamu kalah sama tukang martabak di depan perumahan saya. Beberapa hari lalu dia tutup. Pas buka, saya tanya kemana kemarin kok tutup. Tahu, nggak dia jawab apa?

“Kerja tuh butuh istirahat, mas. Nyantai-nyantai dulu lah…” katanya. Busyet, gue malah diceramahin.

Ayolah Millenials, turun dari langit dan pijak Bumi. Banyak usaha yang tidak butuh modal besar dan tanpa teknologi yang rumit.

Cari kios dekat rumahmu, atau cari lahan di depan Alfamart atau Indomart. Jual apa saja, baju bekas, gorengan, nasi goreng, atau aksesoris cabe-cabean.

Jadi pengusaha itu bukan urusan teknologi, bukan juga masalah modal yang besar. Jadi pengusaha itu masalah kreativitas untuk menambah nilai barang atau jasa yang dulu dianggap biasa jadi luar biasa. Shedaaappp…

Source





Pilih Reaksi Kamu
  • Senang

    0%

  • Ngakak!

    0%

  • Wow!

    100%

  • Sedih

    0%

  • Marah

    0%

  • Love

    0%

Loading...

RECOMMENDED VIDEO

Wave white

Subscribe ke akun YouTube Brilio untuk tetap ter-update dengan konten kegemaran Milenial lainnya

-->
MORE
Wave red