Dalam konteks masyarakat Indonesia, genre film horor diminati tidak terlepas dari karakteristik khas masyarakat Indonesia yang kental dengan hal-hal berbau supranatural. Sejak kecil, pendidikan yang diterima tidak pernah lepas dari hal-hal yang berbau tabu, tahayul, dan cerita-cerita hantu. Sehingga dengan menonton film horor, maka kebutuhan seseorang untuk melakukan konfirmasi atas dugaan atau keraguan terkait masalah supranatural dapat terpenuhi.

Di samping itu menurut Noel E. Carrol, pada dasarnya motif pencinta atau penonton film horor adalah untuk memperoleh kenikmatan paradoksal. Yakni kebutuhan untuk mendapatkan pengalaman menakutkan atau mengerikan sekaligus menjijikan yang dalam realitas sehari-hari justru dihindari.

Sebenarnya pernyataan yang dikemukakan oleh Carrol Noel E. adalah penjelasannya terhadap motif perilaku menonton film horor pada masyarakat Barat (Eropa dan Amerika). Dalam bukunya The Philosophy of Horror, Or Paradoxes of The Heart, Carrol Noel E. menyatakan bahwa para pencinta atau penonton film horor memiliki apa yang disebut sebagai kenikmatan paradoksal (Carrol,1991:182). Kenikmatan paradoksal mengandaikan adanya kebutuhan yang tidak terpisahkan akan kenikmatan yang menyenangkan dan kenikmatan yang menyakitkan. Penonton menonton film horor dengan kesadaran untuk memperoleh pengalaman menakutkan, mengerikan atau menjijikkan yang dalam realitas kesehariaannya justru dihindari.

Masyarakat Barat dalam kesehariannya dikenal dengan kerasionalannya, yang berarti bahwa setiap pertanyaan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari mencoba dijawab dengan argumentasi yang sesuai dengan rasio. Namun, tidak semua masalah, terutama yang terkait dengan masalah supranatural, dapat dijawab oleh rasio sehingga menyebabkan adanya dugaan atau tetap menyisakan pertanyaan tanpa jawaban. Dengan menonton film horor, memungkinkan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya akan konfirmasi atas keraguan atau dugaan yang telah mereka miliki. Paling tidak, dengan menonton film dapat menemukan kenikmatan bertemu dengan hal-hal yang dalam kesehariannya dianggap sesuatu yang mustahil.

Para pembuat film horor hendaknya senantiasa menjaga dengan sangat ketat strategi kejutan demi kejutan hingga pada kejutan akhir. Oleh karena konsistensi kejutan dari sebuah cerita horor dianggap merupakan formula paling ampuh yang menyebabkan genre film horor relatif digemari di seluruh dunia.

Hal ini tidak terlepas dari adanya kebutuhan terhadap konfirmasi yang tidak hanya berhenti pada masalah ada atau tidaknya saja. Tetapi ini terus berkembang dengan serangkaian pertanyaan yang menyusul mempertanyakan bagaimana monster atau hantu muncul, mengapa muncul, apa kekuatan dan kelemahan mereka, bagaimana manusia menghadapinya dan seterusnya. Sehingga apabila konsep kenikmatan paradoksal dan kebutuhan akan konfirmasi diterapkan pada masyarakat Indonesia yang akrab dengan masalah supranatural, tetap dapat diterapkan dengan alasan karena pengalaman supranatural adalah pengalaman yang tidak dialami oleh setiap orang.Maka dari itu dengan menonton film horor dapat dijadikan sebagai sarana konfirmasi atas keinginan dan kebutuhan menjalani pengalaman supranatural. Akhirnya, sangat masuk di akal jika kemudian genre film horor tumbuh sumbur dan disukai di Indonesia.

Berdasarkan konsepnya, yang dimaksud dengan film horor menurut Vincent Pinel dalam bukunya Genres et Movements Au Cinema adalah film yang penuh dengan eksploitasi unsur-unsur horor yang bertujuan membangkitkan ketegangan penonton. Selanjutnya, Charles Derry, kritikus film Amerika dalam bukunya Dark Dreams : A Psycological History of The Modern Horror Film membagi genre horor ke dalam tiga sub genre, yakni horror of personality (horor psikologis), horror of Armageddon (horor bencana), dan horror of the demonic (horor hantu).

Horror of personality (horor psikologis) tidak lagi menjadikan tokoh-tokoh mitos seperti vampire, iblis dan monster sebagai tokoh utamanya. Dalam sub genre ini, tokoh utamanya justru tokoh-tokoh manusia biasa yang tampak normal, tetapi di akhir film memperlihatkan sisi iblis atau monster mereka. Biasanya mereka adalah individu-individu yang sakit jiwa atau terasing secara sosial. Misalnya tokoh Hannibal Lecter dalam The Silence of the Lambs (1991) adalah figur kuat yang mewakili sub genre ini.

Sub genre horor yang kedua adalah horror of Armageddon (horor bencana), yakni jenis film horor yang mengangkat ketakutan laten manusia pada hari akhir dunia atau hari kiamat. Manusia percaya bahwa suatu hari dunia akan hancur dan umat manusia akan binasa. Kehancuran dunia bisa disebabkan oleh banyak faktor, seperti misalnya karena peristiwa alam (tabrakan meteor, tsunami, atau ledakan gunung berapi), serangan makhluk asing, serangan binatang atau kombinasi semua faktor. Istilah Armageddon terkait dengan pertempuran yang bersifat mutlak, mistis dan berdampak kejiwaan yang sangat besar karena manusia dihadapkan pada proses kehancuran yang cepat, massif, dan mengerikan. Rasa ngeri yang ditimbulkan mengangkat rasa ketidakberdayaan atas kehancuran total, kengerian akan kehampaan karena segala kemajuan peradaban umat manusia akan musnah dan sia-sia. Beberapa contoh film dari sub genre ini antara lain The Fly, The Thing, The Alien, Alligator.

Ketiga, yaitu sub genre film horor yang paling dikenal dalam dunia perfilman, yakni horror of the demonic (horor hantu). Jenis film ini menawarkan tema tentang dunia (manusia) yang menderita karena ketakutan kekuatan setan menguasai dunia dan mengancam kehidupan umat manusia. Kekuatan setan dapat berwujud penampakan sosok spiritual atau dalam bentuk sosok hantu, penyihir jahat, iblis, setan dan sebagainya. Adapun film-film yang termasuk kategori ini antara lain Nightmare on Elm Street, Childs Play, dan Friday 13th.

Will Wrigt, seorang sineas independen Amerika, menyatakan bahwa film horor adalah film yang paling memungkinkan para sineas untuk bebas membuat adegan apa saja, mulai dari yang rasional sampai yang tidak masuk akal. Namun demikian, Wright menemukan adanya formula (konvensi) umum yang terdapat pada film horor Amerika mencakup tokoh, setting ruang dan waktu, serta alur.

Perinciannya sebagai berikut: tokoh utama biasanya adalah korban yang mengalami teror atau tokoh pembawa bencana; tokoh antagonis atau pembawa kejahatan biasanya terasing atau tersingkir atau bukan bagian dunia nyata; tokoh agama sering dilibatkan untuk menyelesaikan masalah; tokoh anak biasanya memiliki kekuatan berkat kemurnian jiwa mereka.

Setting dekor ruang relatif monoton, misalnya sebuah rumah, kota terpencil, rumah sakit. Sedang dekor waktu didominasi malam hari atau suasana gelap. Sementara pada alurnya, terdapat konsistensi kejutan demi kejutan dari awal hingga akhir. Adegan kekerasan fisik sering menjadi warna utamanya, misalnya pembunuhan, terror, mutilasi, dan darah. Serta teknologi sering menjadi salah satu pemicu masalah. Formula tersebut merupakan formula film horor yang bersifat sangat umum.