Pandemi global Covid-19 tengah melanda dunia. Virus yang muncul pertama kali di Wuhan, Cina ini kemudian merambah ke berbagai negara di dunia. Tak pelak, Indonesia pun akhirnya kini sibuk berperang melawan Covid-19.

Kabar soal pandemi ini pun tersiar dan menyebar. Media-media mainstream yang menjadi rujukan pun kini harus bersaing dengan media-media sosial.

Arus besar Iptek kini membuat banyak orang gampang menggunakan media sosial; baik itu YouTube, Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya. Informasi yang dibuat netizen kemudian berhamburan di media sosial. Ada yang positif, tetapi tak sedikit yang negatif dan kontra produktif. Beragam argumentasi dan ulasan pun muncul soal Covid-19 ini.

Ironi hoaks.

Ironisnya, tak sedikit dari netizen yang kemudian menyebar berita bohong atau hoaks di tengah pandemi Covid-19. Seperti dikutip dari liputan6.com, Senin (7/4/2020), Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menyebutkan, sepanjang periode 23 Januari hingga 6 April 2020, ada 1.096 hoaks terkait dengan virus Corona baru dan penyakit Covid-19.

Dari jumlah itu, 759 hoaks menyebar lewat platform Facebook, 10 hoaks dan disinformasi menyebar melalui Instagram, 321 hoaks tersebar di Twitter, dan 6 hoaks menyebar di YouTube. Kini, 303 dari 759 hoaks ditindaklanjuti Facebook, 3 dari 10 hoaks ditindaklanjuti Instagram, dan 53 dari 321 hoaks sudah di-take down oleh Twitter.

Di tengah upaya pemerintah mendata dan menghilangkan status hoaks tersebut di media-media sosial, nampaknya sulit bagi pemerintah untuk secara personal dan lembaga menghentikan penyebaran hoaks oleh masyarakat. Ini karena sejak dulu memang netizen kita doyan sebar hoaks.

Betapa tidak, sebuah penelitian yang dipresentasikan di Asian Network for Public Opinion Research (ANPOR) Annual Conference pada November 2018 lalu oleh Kunto Adi Wibowo, dkk menemukan orang yang cenderung menyebarkan hoaks adalah orang yang lebih sering dan lebih lama durasi penggunaan internetnya. Ini dibuktikan dari pengeluaran mereka yang cukup tinggi untuk internet.

Ujian literasi.

Tingginya hoaks di tengah pandemi, hemat saya, bisa menjadi salah satu ujian terhadap literasi kita. Sederhananya, kemauan dan kemampuan membaca dan menulis kita sedang diuji. Kemampuan memilih berita-berita dari berbagai platform pun diiuji. Apakah masyarakat kita sudah membaca sebuah infomasi secara tuntas, mengidentifikasi berita dari media-media mainstream yang menjadi rujukan, menganalisis isi berita, mengkonfirmasi sebuah berita dan lain sebagainya?

Apalagi disinyalir bahwa penyebaran hoaks telah ikut menambah rasa cemas, khawatir, panik dan stres masyarakat terhadap wabah ini. Padahal, menghadapi pandemi ini kita sebaiknya tidak ditakut-takuti dengan berita-berita yang tidak jelas kebenarannya. Sebab, berita-berita hoaks yang masif belakangan dikhawatirkan akan berdampak pada penurun sistim imun atau daya tahan tubuh manusia.

Karena itu, di tengah pandemi seperti ini tidak berlebihan jika kita kembali memeriksa ulang kemampuan literasi kita. Agar kita sanggup bertindak sebagai pembuat, penerima, dan penyebar informasi yang tidak membuat panik dan takut masyarakat kita sendiri.Sikap kita dalam memproduksi, menerima, dan menyebarkan berita-berita yang benar dan akurat akan ikut mengurangi beban psikis dan psikologi masyarakat kita di tengah perang melawan Covid-19 ini. Dengan begitu, masyarakat akan lebih waspada dan tenang dalam memerangi pandemi ini. Merdeka!