Generasi sekarang sangat terpaku dengan gadget. Tidak bisa dipungkiri bahwa memiliki gadget di era serba digital ini adalah sebuah keharusan. Selain kecanggihan fasilitas yang datang dari gadget itu sendiri, tentunya ada berbagai macam aplikasi yang harus diunduh untuk memaksimalkan fungsi gadget. Salah satu aplikasi yang sangat digandrungi oleh orang-orang masa kini adalah Instagram.

Berdasarkan data dari Napoleon Cat pada September 2020, terdapat 78 juta pengguna Instagram di Indonesia dari 28.7% total penduduknya. Mayoritas penggunanya berusia 18-24 tahun. Tidak mengherankan karena Instagram memiliki daya tarik yang tidak dimiliki aplikasi lain. Pengguna Instagram bisa secara bebas membagikan foto atau video sesuka hatinya. Selain itu, adanya fitur Insta Story menjadi kelebihan aplikasi berlogo kamera dengan gradasi warna ungu, kuning, dan jingga.

Sekarang, coba lihat sekelilingmu. Ketika kamu menghabiskan waktu bersama teman-temanmu, apakah mereka lebih sibuk mencari spot menarik untuk mengabadikan momen pada saat itu?

Setelah mendapatkan hasil yang bagus, temanmu atau mungkin kamu, akan segera mengunggah foto tersebut ke Instagram atau media sosial lainnya. Jika ya, maka ada indikasi bahwa kamu atau temanmu memiliki ketergantungan yang tinggi dengan aplikasi tersebut. Hasrat untuk mengunggah foto atau video ke media sosial sepertinya tidak bisa terbendung karena kamu terbiasa melakukan hal itu di mana pun dan kapan pun.

Memang benar, jika konten di media sosial diatur sesuai keinginan penggunanya. Namun, jika kontenmu dirasa sedikit mengganggu oleh orang-orang yang melihatnya, maka kamu harus siap menerima konsekuensi. Kontenmu bisa menjadi bahan obrolan orang lain misalnya. Intinya, ketika kamu memutuskan untuk mengunggah kehidupan pribadimu ke media sosial, maka kamu harus siap menerima komentar dari orang lain. Setiap orang memiliki kebebasan untuk berekspresi serta mengemukakan pendapatnya.

Kriteria sebuah konten bisa dikatakan mengganggu tidak bisa disamaratakan. Semua kembali kepada persepsi yang melihatnya. Bisa jadi karena kamu terlalu sering mengunggah selfie, sehingga hanya wajahmu saja yang memenuhi feed-mu. Pengikutmu akan menganggap kamu sebagai orang yang narsis. Di benak pengikutmu mungkin mereka merasa bosan karena tidak ada unggahan lain yang mencerminkan dirimu selain wajahmu. Mereka ingin melihat sesuatu yang baru dari kamu.

Tidak hanya itu saja, mungkin kamu terlalu sering pamer. Misalnya ketika kamu pergi ke tempat yang sering didatangi oleh orang-orang dengan finansial tinggi, kamu akan melakukan spam di media sosialmu. Mungkin jika sekali dua kali dilakukan, para pengikutmu akan memakluminya.

Berkumpul bersama teman-teman adalah hal yang paling mengasyikkan. Apalagi jika kamu dan temanmu sebelumnya menjalani hubungan jarak jauh, sesi pertemuan kalian akan lebih berwarna. Kemudian, kamu biasanya memilih tempat kekinian yang menyajikan interior unik nan keren sehingga cocok untuk dimasukkan ke kontenmu. Meskipun tidak semua orang akan melakukan hal tersebut, tetapi kenyataannya orang-orang zaman sekarang mengutamakan kafe atau restoran yang memiliki kesan aesthetic.

Kemudian, di sela-sela pertemuan dengan gengmu, usahakan untuk meginvestasikan waktumu untuk berbagi cerita. Bukankah itu inti dari sebuah pertemuan?

Ketika seseorang berbicara, dengarkanlah mereka. Kasus yang banyak ditemui sekarang adalah perilaku phubbing, di mana ketika orang lebih terfokus dengan gadget-nya saat berinteraksi dengan orang lain. Ada yang sengaja melakukannya untuk membalas chat, sebatas iseng untuk melihat timeline media sosial, atau ada yang sibuk mengabadikan foto diri sendiri. Biasanya yang terlalu asyik berfoto, mereka akan mengunggah hasil jepretannya ke media sosial. Hal ini akan menimbulkan berbagai persepsi di mata orang lain.

Sisi baiknya, mungkin kamu akan dianggap sebagai orang yang menyenangkan. Namun, ada juga yang menyimpulkan bahwa kamu adalah orang yang kurang bisa menghargai karena terlalu banyak membuat konten untuk media sosial pada waktu berkumpul.

Sebelum mengunggah foto atau video, pastikan kontenmu tidak ada unsur yang dapat menyinggung seseorang atau kelompok lain. Tidak perlu jauh-jauh, jika kamu tahu temanmu baru saja kehilangan anggota keluarganya, mungkin akan lebih baik jika kamu berhenti sementara membagikan konten yang berhubungan dengan keluargamu. Hal ini bisa menunjukkan bahwa kamu memiliki empati bagi temanmu. Jika kamu tetap mengunggah konten tersebut, maka orang-orang akan menganggapmu tidak tahu etika.

Sebenarnya, tidak ada aturan tertulis yang mengatur konten harus seperti apa. Tetapi, ada nilai, norma, dan etika yang secara tidak langsung memberikan kita batasan untuk bertindak. Konten yang kamu unggah ke media sosial mungkin tidak berbahaya, namun orang-orang yang tidak menyukaimu akan selalu ada

Contoh mudahnya, tidak semua teman-teman yang menjadi pengikutmu, artinya mereka menyukaimu. Mereka yang tidak menyukaimu tidak segan memberikanmu labelling yang aneh bahkan negatif berdasarkan unggahan di media sosialmu. Apakah kamu nyaman dengan penilaian seperti itu? Penulis, sih, tidak. Untuk mengurangi peluang terjadinya hal tersebut, lebih bijaklah dalam bermain media sosial dan coba untuk lebih peka terhadap sekitarmu.