"Darinya, aku mengambil filosofi bahwa belajar adalah sikap berani menantang segala ketidakmungkinan; bahwa ilmu yang tak dikuasai akan menjelma di dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan." Andrea Hirata

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) telah menjadi hal yang menggemparkan seluruh dunia. Bagaimana tidak, virus yang berasal dari Kota Wuhan, Tiongkok ini mudah sekali tersebar antar individu dengan media udara lepas yang telah menginfeksi 183 juta umat manusia di seluruh penjuru dunia. Di Indonesia sendiri, pandemi Covid-19 ini telah menginfeksi sekitar 2 juta penduduk. Pandemi ini tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan saja, tetapi juga masalah-masalah yang lainnya seperti ekonomi, pariwisata, politik, peribadatan, bahkan sampai ke bidang pendidikan.

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, satu generasi anak-anak di seluruh dunia terganggu pendidikannya," kata lembaga amal Save the Children dalam sebuah laporan baru bertajuk Save Our Education, seperti dikutip kantor berita AFP. Pernyataan mereka dikutip dari data UNESCO yang menunjukkan bahwa pada bulan April, 2020, 1,6 miliar pelajar diliburkan untuk menekan penyebaran Covid-19.

Begitu pun dengan Indonesia, pandemi virus Corona telah menyebabkan "darurat pendidikan yang belum pernah terjadi sebelumnya", tepat ketika Indonesia mengumumkan kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020. Tak lama kemudian pemerintah pun menutup sekolah-sekolah formal di segala penjuru negeri dengan alasan untuk menekan dan mencegah agar para pendidik dan siswa tidak terinfeksi Covid-19.

"Terjadinya musibah Covid-19 ini sangat berpengaruh terhadap proses pendidikan secara keseluruhan," kata Analis Kebijakan Ahli Madya Ditjen PAUD Dikdasmen, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Suhadi dalam Dialog Publik YLKI secara virtual, Jakarta, Rabu (20/5). Alhasil karena kebijakan tersebut, ada sekitar 646.200 sekolah ditutup dari jenjang pendidikan PAUD sampai perguruan tinggi.

Ditutupnya sekolah oleh pemerintah menyebabkan berbagai reaksi dari guru, orang tua, dan siswa. Ada yang menyambutnya dengan riang gembira dikarenakan tidak perlu bangun pagi untuk pergi ke sekolah. Ada yang menyambutnya dengan terpaku bingung karena tidak tahu hal apa yang harus dilakukan ketika sekolah ditutup. Bahkan sampai ada yang merasa sedih karena tidak bisa belajar dengan baik dan serius seperti berada di sekolah secara tatap muka. Untuk tetap menjaga arah pendidikan yang mau tidak mau harus tetap berjalan, sekolah-sekolah menerapkan sistem pembelajaran secara daring.

Pembelajaran secara daring adalah pembelajaran yang dilakukan secara online dengan media berbagai aplikasi yang tersedia. Segala bentuk materi disampaikan secara online, komunikasi antar siswa dan guru dilakukan secara online, bahkan hingga tes pun dilakukan secara online. Hal ini sesuai dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia terkait Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19). Namun, apakah pembelajaran online ini efektif?

Komisi Perlindungan Anak Indonesia melakukan survei Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan total responden 1700 siswa dari jenjang SD-SMA dan 575 tenaga pendidik. Dari 1700 responden siswa, sebanyak 76,7% siswa mengaku tidak senang melakukan Pembelajaran Jarak Jauh. Angka ini menunjukkan bahwa Pembelajaran Jarak Jauh dirasa kurang efektif dan lebih memberatkan dari pembelajaran secara tatap muka. Namun, apakah ini merupakan kesalahan sistem pembelajaran atau memang banyak siswa yang tidak begitu serius dan paham mengenai kondisi pandemi saat ini?

Dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Dr. dr. Kristiana Siste, SP.Kj menyampaikan, dari hasil penelitian selama April hingga Juni 2020 bahwa pada masa pandemi ini terjadi kenaikan kecanduan internet pada remaja sebesar 19,3 persen. Dari 2.933 remaja di 33 provinsi yang dilakukan riset, 59 persen di antaranya juga mengaku mengalami peningkatan durasi online per hari dengan rata-rata 11,6 jam per hari pada remaja. Hal ini sangat fantastis mengingat dengan survei sebelumnya yang menyatakan bahwa siswa-siswa merasa tidak senang dengan Pembelajaran Jarak Jauh. Namun, di sisi lain para siswa lebih banyak menghabiskan waktunya di aplikasi-aplikasi lain yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan.

Pada akhirnya memang terasa sekali perbedaan pembelajaran secara tatap muka dengan Pembelajaran Jarak Jauh (daring). Banyak siswa yang juga mengeluhkan berbagai permasalahan ataupun kendala-kendala yang terjadi selama Pembelajaran Jarak Jauh. Akan tetapi, dengan melihat prioritas kita di masa sekarang yaitu untuk sama-sama melindungi kesehatan diri kita dari pandemi ini sangat diperlukan kesadaran juga bahwa Pembelajaran Jarak Jauh ini memang jalan yang terbaik. Sepatutnya kita tetap harus semangat dan terus beradaptasi dengan pembelajaran jarak jauh ini agar tetap belajar dengan optimal dan maksimal meskipun sulit dan dirasa kurang efektif.