Pandemi Covid-19 telah mengubah berbagai aspek kehidupan manusia saat ini, mulai dari aspek sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Hal Ini mengharuskan semua elemen dari berbagai aspek untuk beradaptasi dan berinovasi agar terus bertahan di keadaan yang semakin menghimpit.

Pada tanggal 31 Desember 2019,World Health Organization(WHO) mendapatkan informasi mengenai kasus pneumonia yang terjadi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Tanggal 7 Januari 2020, otoritas Cina mengonfirmasi telah mengidentifikasi virus baru, yaitu virus Corona, yang merupakan famili virus flu, seperti virus SARS dan MERS, yang mana dilaporkan lebih dari 2.000 kasus infeksi virus tersebut terjadi di Cina, termasuk di luar Provinsi Hubei.

Virus Corona (CoV) merupakan famili virus yang menyebabkan penyakit mulai dari flu biasa hingga penyakit yang lebih berat seperti Middle East Respiratory Syndrome(MERS-SoV) danSevere Acute Respiratory Syndrome(SARS-CoV). Pada 11 Februari 2020, WHO mengumumkan nama virus Corona jenis baru tersebut adalahCoronaVirus Disease 2019(disingkat menjadi Covid-19).

Banyak pendapat mengungkapkan penularannya dari hewan ke manusia karena banyak kasus yang muncul di Wuhan (Nunung, 2020). Saat ini penularan dari orang ke orang diperkirakan terjadimelalui droplet ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin, patogen pernapasan dapat terhirup ke dalam paru-paru, dapat juga terjadi dengan menyentuh permukaan atau objek yang memiliki virus di atasnya dan kemudian orang tersebut menyentuh mulut, hidung, atau mungkin mata mereka sendiri.

Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang sangat besar bagi dunia, salah satunya di Indonesia. Covid-19 memberikan banyak pengaruh dalam berbagai sektor, salah satu sektor yang terdampak adalah sektor ekonomi. Penyebaran Covid-19 yang semakin meluas akan memperlama periode jatuhnya perekonomian Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Sektor perekonomian yang terdampak salah satunya adalah bidang peternakan ayam petelur. Kondisi ini mendorong permintaan terhadap produk peternakan menurun akibat meningkatnya jumlah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Keuntungan peternak yang menurun mengharuskan populasi ternak yang dipelihara harus dikurangi dan biaya produksi ditekan.

Perubahan permintaan terhadap produk pangan hewani, salah satunya telur menjadi lebih sensitif terhadap perubahan pendapatan masyarakat. Kebijakan PSBB untuk menekan penularan Covid-19 menyebabkan kegiatan distribusi bahan baku industri terhambat dan kegiatan berproduksi terhenti. Dampak lanjutan adalah meningkatkan PHK, sehingga sebagian anggota masyarakat kehilangan pendapatan dan daya beli.

PHK yang terjadi pada sektor industri dan jasa akibat kebijakan PSBB sebagian besar merupakan kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Pada masyarakat berpendapatan rendah, tingkat konsumsi dan partisipasi telur ayam ras dan daging ayam ras jauh lebih tinggi dari produk pangan hewani lainnya. Untuk telur ayam ras masing-masing 5,3 kg/kapita/tahun dan 62,4% (Ariani et al. 2018).

Permintaan produk peternakan yang terdampak besar adalah telur dan daging ayam ras. Dampak pandemi terhadap perubahan pendapatan hanya menurunkan harga konsumen telur dan daging ayam ras di Indonesia, tetapi tidak terhadap harga produsen. Adanya kebijakan PSBB di satu sisi, sementara di sisi lain masyarakat membutuhkan bahan pangan untuk kehidupan, memicu berkembangnya e-commerce. Namun hal ini belum bisa diaplikasikan untuk penjualan komoditi telur karena harus dilakukan secara langsung sebab bentuk dan sifat telur yang sangat rentan dan harus berhati hati penangannya karena mudah pecah.

Beragam kreativitas yang muncul dari peternak adalah melakukan penjualan langsung dari peternak ke konsumen (direct selling). Hanya saja omzet untuk direct selling tidak dalam waktu singkat dapat tercipta, apalagi dalam volume besar. Berbeda dengan daging ayam, telur ayam dapat disimpan pada suhu kamar sekitar 14 hari dengan tidak menggunakan alat pendingin (refrigerator atau freezer). Hal ini merupakan salah satu yang menentukan keputusan banyak anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dengan meningkatkan konsumsi telur, selain disebabkan juga oleh harga telur yang terjangkau.

Penurunan omzet penjualan telur lebih disebabkan oleh pembatasan pergerakan masyarakat dan lalu lintas. Apa yang terjadi di subsistem hilir berdampak terhadap sektor budidaya. Harga pakan naik, sebaliknya harga telur cenderung turun (harga telur bisa di bawah harga pokok produksi).

Terdapat beberapa langkah strategis yang secara sistematis harus dilakukan oleh peternak layer (ayam petelur) agar usahanya tetap bisa bertahan hidup.

Langkah untuk mengatasi krisis pada 3 bulan pertama yaitu sebagai berikut.

1. Efisiensi gaya hidup, yaitu kurangi pengeluaran untuk keluarga hanya yang pokok saja atau sampai batas minimalis.

2. Efisiensi biaya operasional kandang, tetapi tidak memengaruhi performans produksi. Produksi telur tidak sampai drop.

3. Lakukan seleksi berdasarkan absensi produksi. Yang produksinya jelek, di bawah 70% di-culling atau diafkir (dijual).

Bila krisis masih berlanjut, maka pada 3 bulan kedua dapat melakukan hal berikut ini.

1. Gunakan 80% dana tabungan untuk menutup kerugian. Yang 20% ditahan untuk biaya hidup pemilik.

2. Likuidasi (jual) aset-aset yang tidak perlu seperti mobil, motor atau apapun yang dirasa tidak atau kurang penting. Kendaraan yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin.

3. Cari utangan baru kalau bisa.

4. Bagi yang sudah punya utang, minta restrukturisasi dan atau penjadwalan kembali bayar utangnya.

5. Kalau punya piutang, segera tagih untuk membantu likuiditas beli pakan dan biaya operasional.

Bila krisis masih berlanjut sampai 3 bulan ketiga, dapat melakukan hal ini.

1. Potong pusat kerugian dengan aborsi ayam yang berumur di atas 60 minggu atau sekitar 1/3 populasi ayam. Sisakan 2/3 populasi.

2. Uang hasil dari aborsi, pergunakan untuk beli pakan, biaya operasional dan sebagian untuk biaya beli DOC ( Day Old Chick ) sebanyak 10-20% dari kapasitas kandang.

3. Bila belum cukup, lakukan aborsi populasi lagi sebanyak 1/3 populasi sehingga sisa populasi tinggal 1/3 tapi terdiri ayam yang masih berumur muda. Masih puncak produksi.

Hasilnya, ada 2 kemungkinan, yaitu:

1. Bisa jadi dalam jangka 9 bulan krisis sudah selesai dan situasi perekonomian kembali normal dan usaha kamu tetap bisa berjalan dengan populasi tinggal 1/3 kapasitas untuk modal bangkit kembali.

2. Bila krisis belum selesai, peternak layer akan gulung tikar.

Dampak dan respons peternak terhadap pandemi Covid-19 bersifat lokal spesifik dan tidak semua terdampak negatif. Kapasitas usaha peternak terkena dampak dengan tingkat keparahan bervariasi. Pada usaha ayam petelur ada yang tetap dan ada juga yang menurun tergantung besarnya dampak PSBB terhadap ketersediaan input produksi yang memengaruhi harga jualnya.

Saran lain di luar langkah strategis, tentu perlu diimbangi dengan langkah-langkah taktis. Sebaiknya usaha pembibitan (breeder) lebih dekat dengan pusat produksi dan menentukan kuota dan area penjualan untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi persyaratan DOC untuk ayam ras pedaging dan petelur. Dengan cara ini diharapkan harga DOC lebih murah, kualitas lebih baik, dan pasokan tidak terlalu banyak sehingga menyebabkan harga jual telur berfluktuasi.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan beserta dinas terkait di daerah, disarankan melakukan peningkatan kapasitas peternak untuk melakukan penjualan ternak, telur, susu, dan daging serta produk olahannya secara langsung kepada pengguna akhir melalui daring. Melakukan usaha hulu-hilir untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing.

Selain itu, naiknya harga pakan ternak impor disinyalir juga turut berkontribusi terhadap kenaikan harga telur ayam di tingkat konsumen. Pemerintah harus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait guna menstabilkan harga pakan. Akibat bahan baku asal impor yang mengalami kenaikan juga turut memperparah kondisi harga telur ayam ras sebab pihak peternak pun perlu menjaga ketersediaan pasokan.