Belum usai masalah Covid-19, Pemerintah, DPR, dan Kemendagri telah sepakat Pilkada serentak 2020 tetap akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020. Total daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak sebanyak 270 daerah termasuk 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Kesepakatan yang dibacakan oleh Ketua Komisi II DPR di Senayan, Jakarta membuat banyak kalangan angkat bicara untuk menunda kesepakatan tersebut karena khawatir akan munculnya klaster baru Covid-19.

Seperti Gubernur Banten Wahidin Halim yang provinsinya masuk ke dalam penyelengara Pilkada serentak. Pada bulan September lalu Wahidin mengusulkan kepada Bawaslu Banten agar Pilkada serentak ditunda terlebih dahulu dan respon yang diberikan oleh Bawaslu Banten adalah bahwa Bawaslu Banten menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada KPU, DPR, dan Pemerintah Pusat. Pada saat ditemui oleh media, Wahidin menyampaikan bahwa Pilkada Banten akan tetap dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan.

Protokol kesehatan kembali dijadikan alasan untuk tetap dilaksanakannya Pilkada serentak. Walaupun ada aturan tentang protokol kesehatan, namun aturan yang dirancang sepertinya kurang tegas dan membuka peluang tersebarnya Covid-19. Obat vaksin yang diadakan Pemerintah juga kabarnya masih dalam keadaan terbatas ketersediaannya. Vaksinasi yang kabarnya direncanakan dimulai pada bulan November pun masih belum dilaksanakan sampai sekarang.

Memang sosok pemimpin dibutuhkan di saat seperti ini, namun apakah dalam kondisi seperti ini kita bisa mendapatkan pemimpin yang berkualitas? Sulit rasanya untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas di saat pandemi. Kampanye yang biasa dilakukan secara tatap muka saja masih sulit untuk bisa menentukan siapa sosok pemimpin yang berkualitas. Sekarang ini, diakibatkan karena pandemi pemerintah memberikan saran kepada para pasangan calon untuk melakukan kampanya secara tidak tatap muka atau virtual. Namun kampanye secara virtual ini kurang diminati oleh para peserta Pilkada dan pada akhirnya mereka lebih memilih untuk melakukan kampanye secara tatap muka.

Memang bukanlah hal yang mustahil melaksanakan Pilkada di kala pandemi seperti saat ini karena beberapa negara seperti Singapura berhasil melaksanakan Pemilu di masa pandemi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat. Sah-sah saja memang jika pemerintah Indonesia ingin melaksanakan Pilkada di saat pandemi, namun banyak hal yang harus dipertimbangkan kembali, seperti masyarakat Indonesia yang masih kurang memiliki kesadaran dan menganggap remeh protokol kesehatan. Jika masyarakat Indonesia masih menganggap remeh masalah protokol kesehatan maka pelaksanaan Pilkada pun akan sulit untuk dilaksanakan.

Anggaran juga menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Pilkada di masa pandemi. Anggaran Pilkada 2020 sebesar Rp 20,4 triliun, naik dari rencana awal yang hanya Rp 15,23 triliun. Kenaikan anggaran ini karena perlunya tambahan dana untuk membiayai anggaran protokol kesehatan dalam pelaksanaan Pilkada. Menanggapi permasalahan tersebut, bukankah kita seharusnya meminimalisir penggunaan anggaran negara karena masih banyak hal-hal penting yang harus lebih diprioritaskan, terutama obat, alat pelindung diri (APD), dan keperluan kesehatan lainnya.

Jika dilihat dari faktor-faktor di atas, pemerintah seharusnya tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan untuk melaksanakan Pilkada serentak 2020 ini. Namun karena Pilkada serentak ini sudah di tengah jalan dan tinggal beberapa hari lagi pelaksanaannya, saya harap pemerintah benar-benar bisa menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat agar tidak timbul klaster baru penyebaran Covid-19. Libatkanlah satuan tugas (satgas) penanganan Covid-19 dalam pelaksanaan protokol kesehatan. Saya yakin jika protokol kesehatan dapat dilakukan dengan baik insyaallah Pilkada serentak dapat lancar terlaksana dan kita bisa mendapat pemimpin yang berkualitas.

Oleh: Muhamad Azrul Fauzan (Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga, FSH, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)