Pengadaan barang/jasa pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sejauh ini dianggap layaknya pengadaan barang/jasa Pemerintah. Karakter pengadaan barang/jasa Pemerintah yang notabene kategori pengadaan publik, sering membuat pengelola BUMD kerepotan untuk mengantisipasi dinamika usaha yang melekat pada sebuah badan usaha.

Badan usaha berorientasi pada pendapatan melalui laba usaha (profit). Ini adalah karakteristik lahiriah dari sektor private. Maka dari itu kategori pengadaannya adalah pengadaan private, bukan pengadaan Pemerintah.

Beban 'milik daerah' di belakang 'badan usaha' membuat mekanisme audit pengelolaan keuangan, termasuk belanja dan pengadaan, di BUMD sering kali didekati dengan pola audit publik. Ini juga menjadi titik pemberat dari pengelola BUMD untuk lebihsafety mengacu pada pola pengadaan publik daripada private.

Ditambah lagi diskusi tentang status dana APBD yang disertakan ke BUMD termasuk dalam lingkup pengadaan barang/jasa pemerintah atau tidak, seolah tidak menemukan kata final.

Definisi kekayaan daerah yang dipisahkan.

BUMD sejak awal mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 (UU 5/1962) tentang Perusahaan Daerah. BUMD disebut dengan Perusahaan Daerah yaitu semua perusahaan yang didirikan berdasarkan UU 5/1962, yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-undang.

Sejalan dengan itu pembentukan BUMD didasarkan pada banyak regulasi di antaranya seperti :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pusat di Bidang Pekerjaan Umum kepada Pemerintah Daerah;

4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Barang Milik Perusahaan Daerah; dan/atau

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1990 tentang Tata Cara Kerjasama antar Perusahaan Daerah dengan Pihak Ketiga.

Dari runtutan regulasi di atas tersebutlah bentuk badan hukum BUMD adalah dapat berupa :

1. Perusahaan Daerah (PD); atau

2. Perseroan Terbatas (PT)

Badan hukum BUMD ditetapkan melalui Peraturan Daerah yang menjamin fungsi sebagai pelayanan umum dan sekaligus tetap menjadi sumber Pendapatan asli Daerah (PAD). Dari sini karakteristik BUMD meskipun berbentuk badan usaha yang cenderung privat dalam rangka mendapatkan profit yang utamanya untuk PAD namun juga mengemban misi layanan publik.

Pengadaan untuk investasi.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD terbit sebagai amanat BAB XII UU 23 Tahun 2014. PP Nomor 54 Tahun 2017 pada pasal 1 angka 6 memang muncul definisi Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan adalah kekayaan Daerah yang berasal dari APBD untuk dijadikan penyertaan modal Daerah pada BUMD. Pasal ini hanya menegaskan bahwa bagian APBD yang dijadikan penyertaan modal ke BUMD adalah Kekayaan Daerah yang dipisahkan.

Sementara tidak dijelaskan bahwa apakah kekayaan daerah yang dipisahkan dalam tata laksana penggunaannya adalah sama dengan belanja APBD? Dengan demikian jika tidak ada satu pun regulasi yang mengatur dengan sangat jelas tentang tata laksana penggunaan selain UU Nomor 5 Tahun 1962 maka tidak ada tafsir lain yang dapat dijadikan dasar hukum.

Pengadaan barang/jasa di BUMD.

Sebagaimana PP Nomor 54 Tahun 2017 pasal 91 disebutkan operasional BUMD dilaksanakan berdasarkan standar operasional prosedur (SOP). SOP disusun oleh Direksi berdasarkan unsur perbaikan secara berkesinambungan di mana di dalamnya termasuk SOP Pengadaan Barang dan Jasa.

Secara khusus PP Nomor 54 Tahun 2017 pasal 93 menegaskan bahwa Pengadaan barang dan jasa BUMD dilaksanakan memperhatikan hanya 2 prinsip, yaitu efisiensi dan transparansi. Kemudian ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa BUMD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

Maka tegas dan jelas bahwa pelaksanaan pengadaan barang/jasa di BUMD tidak mengacu pada Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tetapi mengacu pada Peraturan Kepala Daerah yang diturunkan ke dalam SOP yang disusun oleh Direksi BUMD.

Sejalan dengan ini Perpres 16 Tahun 2018 pasal yang menyebutkan bahwa ruang lingkup pengadaan barang/jasa pemerintah adalahj termasuk pengadaan barang/jasa untuk investasi di BUMD sudah dihapuskan.

Keengganan BUMD menyusun tata cara berbeda dengan Perpres 16 Tahun 2018 hanyalah jalan pintas agar tidak perlu repot-repot lagi menyusun tata cara meskipun pada akhirnya mengganggu fleksibilitas dan responsibilitas terhadap tantangan usaha dan pelayanan yang terus berkembang.

Sebelum membahas tentang tata laksana pengadaan barang/jasa di BUMD, eksistensi BUMD era UU 23 Tahun 2014 harus di-clear-kan. Pasal 1 angka 40 dan PP 54 Tahun 2017 menyebutkan BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.

Bentuk BUMD menurut UU 23 Tahun 2014 dan PP 54 Tahun 2017 telah berubah dari perusahaan daerah menjadi:

1. Perusahaan Umum Daerah (Perumda) jika seluruh modalnya dimiliki oleh satu daerah; atau

2. Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda) jika modal usahanya berbentuk saham dimiliki seluruh atau sebagian besar (paling sedikit 51%) modalnya dimiliki oleh Daerah.

Dengan demikian sejak terbitnya UU 23 Tahun 2014 secara de jure tidak ada pengecualian bagi badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah adalah BUMD. Meskipun secara de facto masih berbentuk Perusahaan Daerah.

Dan PP 54 Tahun 2017 pasal 91 menegaskan bahwa operasional BUMD dilaksanakan berdasarkan SOP yang disusun oleh Direksi dan disetujui oleh Dewan Pengawas atau Komisaris. Termasuk di dalamnya SOP Pengadaan Barang/Jasa. Pasal 93 menyebutkan pengadaan barang dan jasa BUMD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

Dari sisi pelaksanaan pengadaan barang/jasa BUMD diberikan keleluasaan oleh UU 23 Tahun 2014 dan PP 54 Tahun 2017 untuk mengatur sesuai dengan prinsip efisiensi dan transparansi dalam menjawab fleksibilitas dan responsibilitas tantangan bisnis perusahaan. Namun demikian dari sisi pengendalian pelaksanaan belanja BUMD tetap merupakan bagian dari pertanggungjawaban keuangan daerah. Dengan demikian pola pengawasan keuangan yang diberlakukan untuk pengadaan barang/jasa sangat bergantung dengan regulasi dan tata laksana yang berlaku di BUMD.

Dari uraian panjang di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Setiap badan usaha yang seluruh atau sebagian modal usahanya bersumber dari APBD adalah BUMD.

2. Penyertaan modal daerah ke BUMD adalah Kekayaan Daerah Yang dipisahkan.

3. Kekayaan daerah yang dipisahkan adalah bagian dari keuangan daerah yang pelaksanaan belanjanya terpisah dari APBD namun dari sisi pengendalian tetap bagian dari keuangan daerah.

4. Tata laksana belanja, termasuk pengadaan barang/jasa, di BUMD berdasarkan standar operasional prosedur yang disusun oleh direksi dan ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk kemudian dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari pertanggungjawaban keuangan daerah.

5. Pengadaan barang/jasa BUMD sejak UU 5 Tahun 1962 tidak diperintahkan mengacu pada peraturan presiden tentang pengadaan barang/jasa Pemerintah. Namun demikian tidak terdapat larangan bagi BUMD menetapkan SOP Pengadaan Barang/Jasa seperti Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Oleh: Kencana Bayuaji, SE, CH, C.Ht, C.Mh (Auditor Pemerintah di Perwakilan BPKP Provinsi Kepulauan Riau serta Pemerhati Ekonomi di Batam Kepri)