Kamutentu masih ingat dengan momen Olimpiade Rio 2016, saat medali emas dari cabang olahraga bulu tangkis akhirnya "kembali" ke Indonesia. Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir adalah nama atlet di balik medali emas itu.

Kali pertama bulu tangkis dipertandingkan di Olimpiade ialah pada Olimpiade Barcelona 1992. Sejak saat itu, atlet bulu tangkis Indonesia selalu pulang dengan membawa medali emas. Tradisi emas pun melekat pada bulu tangkis Indonesia di pesta olahraga empat tahunan itu.

Sayang, tradisi emas tersebut sempat terhenti pada Olimpiade London 2012. Saat itu, tak satu pun atlet bulu tangkis Indonesia berhasil meraih medali emas. Bahkan, medali perak dan perunggu pun tidak berhasil diraih.

Pada Olimpiade Rio 2016, tradisi emas yang sempat terputus akhirnya bisa disambung kembali lewat pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir atau yang akrab disapa Owi/Butet. Itu juga menjadi satu-satunya medali emas yang berhasil diperoleh kontingen Indonesia.

Olimpiade terbaik

Bagi Butet, Olimpiade Rio 2016 adalah Olimpiade ketiga yang ia ikuti. Itu sekaligus Olimpiade dengan raihan terbaik sebab pada dua Olimpiade sebelumnya, Butet bersama pasangannya belum berhasil membawa pulang medali emas.

Begini perjalanan Butet dan olimpiade yang dilaluinya

Pada babak final, Owi/Butet menundukkan pasangan Malaysia Chan Peng Soon/Goh Liu Ying lewat dua set langsung. Keduanya menang telak dengan skor 21-14 dan 21-12.

Mengutip video Insight with Desi Anwar dari kanal YouTube CNN Indonesia, Butet mengatakan, meskipun ia dan Owi lebih unggul dibandingkan pasangan Malaysia, mereka harus tetap waspada sebab di Olimpiade apa pun bisa terjadi.

Pemain Malaysia cukup tough. Di semifinal mereka bisa ngalahin pemain China. Siapa pun yang masuk di semifinal dan final, itu sudah yang terbaik. Kita tidak pernah menganggap pemain Malaysia lebih ringan (untuk dikalahkan) daripada pemain China, kata atlet yang juga pernah berpasangan dengan Vita Marissa itu.

Ada hal menarik ketika pertandingan berjalan di set kedua. Kalau kamu masih ingat, saat itu Owi meloncat girang saat ia dan Butet sudah mendapat skor 20. Tak berselang lama, Butet lantas memberikan tatapan tajam sambil berkata sesuatu kepada Owi. Ternyata, yang dikatakan Butet adalah, Eh, inget. Ini belum selesai. Jangan sombong. Fokus.

Butet mengatakan, beberapa kali terjadi, pemain yang skornya unggul malah kalah. (Di lapangan) apa pun bisa terjadi. Meskipun sudah dapat skor 20, selama belum menginjak (skor) 21, permainan belum selesai. Jadi, harus tetap fokus, ujarnya.

Sebelumnya, pada babak semifinal, giliran pasangan ganda campuran asal China Zhang Nan/Zhao Yunlei yang dikandaskan. Zhang/Zhao berhasil dikalahkan lewat dua set langsung, 21-16 dan 21-15. Ini sekaligus menjadi revans Owi/Butet setelah pada kejuaraan dunia 2015 dikalahkan Zhang/Zhao di babak semifinal.

Menurut Owi, Zhang/Zhao adalah lawan terberat pada Olimpiade Rio 2016. Kekuatan ia dan Butet untuk mengalahkan mantan ganda campuran peringkat satu dunia itu adalah komunikasi.

Komunikasi kita biasanya nggak terlalu baik. (Namun), saat itu kita saling mendukung. Saat Owi berbuat kesalahan, saya dukung. Saat saya berbuat kesalahan, Owi dukung. Kita kelihatan banget kompak di lapangan, jelas Butet. Inilah, yang menurut Butet, membuat pasangan China tertekan.

Olimpiade terakhir

Mundur empat tahun sebelumnya, pada Olimpiade London 2012 Owi/Butet belum berhasil meraih medali. Itu adalah Olimpiade pertama Butet bersama Owi. Sebenarnya, ada kans bagi Owi/Butet untuk meraih medali perunggu setelah kalah dari pasangan China di babak semifinal. Sayang, pada pertandingan perebutan medali perunggu, mereka takluk oleh pasangan asal Denmark Joachim Fischer Nielsen/Christinna Padersen.

Begini perjalanan Butet dan olimpiade yang dilaluinya

Butet sangat kecewa dengan kekalahan di Olimpiade London 2012. Ia dan Owi sebenarnya punya kans besar saat di babak semifinal. Apalagi, pada set pertama mereka menang atas Xu Chen/ Ma Jin. Sayang, di set kedua dan ketiga mereka kalah.

Kita cukup diandalkan saat itu. Dari babak awal kita tampil luar biasa. Tidak disangka-sangka kita bisa kalah. Pastinya sangat kecewa. Olimpiade empat tahun sekali. Saya harus menunggu empat tahun lagi (untuk bisa menang), kata Butet.

Namun, penantian Butet selama empat tahun itu tidak sia-sia. Penantian yang berbuah manis dengan meraih medali emas pada Olimpiade Rio 2016.

Mundur lagi empat tahun sebelumnya, yakni pada Olimpiade Beijing 2008 ketika pertama kalinya Butet turun di ajang Olimpiade. Butet yang kala itu masih berpasangan dengan Nova Widianto harus puas dengan raihan medali perak. Keduanya dikalahkan pasangan Korea.

Setelah tiga kali berjibaku di ajang Olimpiade, akhirnya pada Olimpiade ketiganya, Butet sukses mengumandangkan Indonesia Raya. Dapat medali perak dulu, kemudian tidak dapat medali, dan akhirnya medali emas. Ini sekaligus menjadi kenangan manis sebelum ia pensiun.

Begini perjalanan Butet dan olimpiade yang dilaluinya

Ya, Olimpiade Rio 2016 merupakan Olimpiade terakhir bagi atlet kelahiran Manado tersebut. Butet memutuskan untuk ganteng raket di penghujung 2018. Luar biasa Butet! Sebelum pensiun dari dunia tepok bulu, ia berhasil meraih capaian tertinggi yang juga menjadi mimpi bagi setiap atlet, yakni medali emas Olimpiade. Nama Butet alias Liliyana Natsir pun tentu akan dikenang sebagai salah satu pemain bulu tangkis legendaris Indonesia. Gracias, Ci Butet!