Dalam pengertiannya secara umum, demokrasi dapat dipandang sebagai persoalan pengelolaan kedaulatan rakyat, tepat seperti yang dikatakan oleh Presiden Amerika Serikat ke 16, Abraham Lincoln bahwa pemerintahan itu tidak lain adalah kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal tersebut menegaskan bahwa kekuasaan yang dipegang oleh pemerintahan sejatinya harus diperuntukkan pada kepentingan rakyat banyak.

Sedangkan menurut Plato, seorang filsuf Yunani kuno, menjelaskan demokrasi secara etimologi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti pemerintahan. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa demokrasi berdasarkan teori yang disampaikan oleh Plato adalah sebuah sistem pemerintahan dalam suatu negara dimana semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang dijamin kedudukan dan kekuasaannya baik dalam menjalankan kehidupannya maupun ikut serta dalam menjalankan dan mengawasi jalannya negara baik secara langsung ataupun tidak.

Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan di Indonesia, dapat kita lihat ketidakseimbangan kekuasaan telah terjadi sehingga melahirkan berbagai penyimpangan dalam praktik ketatanegaraan. Salah satu contoh disfungsi lembaga negara adalah lembaga legislatif yang seharusnya memiliki fungsi pengawasan terhadap lembaga eksekutif, namun tidak dapat terealisasi dengan baik. Akibatnya Presiden menjadi pemegang kekuasaan yang kurang pengawasan dan dapat mengambil tindakan-tindakan sesuai dengan kepentingannya. Dalam hal ini, banyak yang mengatakan bahwa lembaga legislatif hanya menjadi stampel karet yang hanya berfungsi untuk memberikan keabsahan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Demikian pula dengan halnya lembaga yudikatif yang mengalami disfungsi karena pengaruh lembaga eksekutif.

Berangkat dari berbagai peristiwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia di atas, mengingatkan kita betapa pentingnya untuk menghilangkan kekuasaan yang hanya berpusat pada satu lembaga negara saja dan perlunya suatu sistem saling mengawasi agar terciptanya kekuasaan yang seimbang sesuai dengan fungsinya masing-masing. Oleh karenanya, penerapan prinsip checks and balances dalam suatu sistem ketatanegaraan menjadi satu hal yang penting. Suatu prinsip dalam sistem ketatanegaraan yang menginginkan agar kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dapat saling mengawasi dan memiliki posisi yang sederajat, dengan pembatasan-pembatasan kekuasaan. Dalam suatu negara demokrasi, prinsip checks and balances sangat diperlukan. Hal ini untuk menghindari adanya pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu sistem ketatanegaraan yang dapat menyebabkan adanya penyalahgunaan kekuasaan karena penerapan prinsip ini pada dasarnya adalah untuk menciptakan mekanisme pengawasan antar lembaga kekuasaan.

Dengan demikian, apa yang kita sebut dengan oposisi menemukan titik relevansinya dalam sistem ketatanegaraan demokrasi. Hal ini karena pentingnya kepentingan yang berseberangan untuk menjadi pengawas dari pemegang kekuasaan. Lebih dari itu, mengingat bahwasanya tidak ada yang dapat menjamin terlaksananya kedaulatan rakyat sebagaimana konsep demokrasi yang telah dipaparkan di awal secara keseluruhan oleh para pemegang kekuasaan. Dalam hal inilah mereka yang biasanya disebut sebagai oposisi atau mereka yang berada di luar pemerintahan memiliki peran yang sangat sentral dalam mewujudkan sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat yang ideal. Tugas mereka yang paling penting adalah untuk mengawasi pemerintahan yang berkuasa agar tetap pada jalan untuk melaksanakan dan mewujudkan kepentingan rakyat.

Saat ini publik Indonesia dikejutkan dengan beberapa langkah politik yang diambil oleh para oposisi. Pasca dilantiknya Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia untuk kedua kalinya, ada hal yang mengejutkan yaitu bergabungnya oposisi dalam kabinet yang disusun oleh Presiden. Hal tersebut terlihat ketika Prabowo Subianto, selaku Ketua Umum Partai Gerindra memenuhi panggilan Presiden untuk kemudian dilantik menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Poin terpilihnya Prabowo sebagai menteri menjadi sesuatu yang mengejutkan adalah karena masih terbersit dalam ingatan kita semua, bahwa Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra-nya merupakan rival dari Presiden Joko Widodo pada Pemilu Presiden beberapa waktu lalu.

Padahal jika kita melihat pertarungan politik beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada rangkaian pemilihan umum, terlihat persaingan yang begitu ketat dari para kompetitor, bahkan bukan hanya dari mereka, para pendukung mereka pun seakan-akan memiliki semangat yang sama untuk memenangkan masing-masing jagoannya. Untuk beberapa saat bahkan kita bisa melihat masyarakat Indonesia seakan-akan terpecah menjadi dua bagian, bahkan tidak jarang kita melihat perdebatan-perdebatan sengit terjadi antar pendukung. Tidak jarang kita melihat bahkan sampai ada yang saling caci maki. Tidak jarang kita melihat ada perselisihan antar keluarga hanya karena perbedaan pilihan politik pada masa itu.

Namun, rupa-rupanya peristiwa-peritiwa kekejaman politik di atas seakan dilupakan dengan sangat cepat oleh para elit politik yang tadinya berebut kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat. Padahal panas persaingan politik di masyarakat kita belum lagi dingin, namun mereka yang diperjuangkan telah berdamai dan memilih jalan untuk bersatu.

Lebih lanjut, dengan berdalih bahwasanya dalam dunia politik tidak ada yang tetap, termasuk sikap mereka. Segalanya bersifat dinamis dan sewaktu-waktu memang dapat berubah. Seperti contoh di atas di mana partai oposisi bergabung dan berkoalisi dengan petahana untuk mengisi kursi kekuasaan. Langkah-langkah politik yang demikian membuat masyarakat semakin tidak percaya lagi bahkan yang lebih buruk lagi, hal-hal yang seperti ini akan menimbulkan apatisme politik dalam masyarakat, serta akan membuat masyarakat semakin merasa bahwa mereka hanya digunakan untuk menjadi alat politik.

Berkurangnya oposisi di Indonesia saat ini semakin terlihat dari dominasi partai pengusung Presiden yang duduk di bangku lembaga legislatif yang sangat dominan. Ini memunculkan kekhawatiran dari berbagai kalangan termasuk masyarakat. Banyak yang mempertanyakan bagaimana sistem check and balances dapat dilaksanakan jika yang harusnya saling mengawasi datang dari kepentingan yang sama? Hal ini justru dapat mematikan fungsi DPR sebagai pengawas pemerintahan karena dominasi suara yang ada sama dengan pemerintahan. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghadirkan DPR yang hanya berfungsi sebagai stempel karet sebagaimana yang terjadi pada pemerintahan Indonesia pasca Orde Lama.

Lebih lanjut, penulis merasa bahwa permasalahan di atas menyebabkan dua hal yang berimplikasi terhadap demokrasi. Pertama, berkurangnya kekuatan dari oposisi yang berada di dalam parlemen dapat menjadikan DPR kehilangan fungsinya sebagai pengawas pemerintah karena dominasi suara di dalamnya yang merupakan partai pendukung pemerintah. Kedua, apatisme rakyat terhadap perpolitikan negeri akan semakin tinggi karena terlalu banyak disuguhi drama-drama politik yang hanya mengedepankan kepentingan elit politik.

Pada akhirnya kita semua dapat menyimpulkan bahwa prinsip demokrasi yang dijalankan oleh negeri ini barulah sampai pada batas di mana pemerintahan dipilih dari dan oleh rakyat secara langsung, namun belum sampai pada batas pemenuhan kedaulatan secara menyeluruh untuk kepentingan rakyat.