Jawaban singkatnya adalah karena adanya resistensi bakteri terhadap antibiotik dan fenomena ini tidak dibarengi dengan adanya pengembangan antibiotik baru.

Berikut jawaban panjangnya.

Bakteri merupakan organisme bersel tunggal yang ada baik di dalam maupun luar tubuh kita. Bakteri memang sering diasosiasikan dengan 'penjahat' yang menyebabkan macam-macam penyakit, namun ada pula beberapa bakteri yang justru dibutuhkan oleh tubuh manusia, contohnya bakteri-bakteri yang ada dalam usus kita, yang sederhananya berfungsi membantu proses pencernaan makanan.

Antibiotik, atau disebut juga obat antimikrobial, adalah obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri, baik dengan cara membunuh bakteri tersebut atau menghambat pertumbuhan dan/atau multiplikasinya. Antibiotik hanya bekerja mengatasi bakteri, sehingga seharusnya tidak diberikan pada penyakit yang etiologinya adalah virus, seperti flu.

Resistensi terhadap antibiotik terjadi apabila bakteri sudah mampu melawan antibiotik yang dirancang untuk membunuhnya. Dengan begini, antibiotik tersebut tidak mempan terhadap bakteri, sehingga bakteri dapat tetap bertahan bahkan tumbuh dan memperbanyak diri. Ada beberapa mekanisme pertahanan oleh bakteri yang menyebabkan dirinya tahan terhadap antibiotik, beberapa di antaranya ialah dengan:

Mengubah struktur dinding selnya.
Merubaharea target (melalui mutasi gen) yang dapat menurunkan daya ikat antibiotik.
Menghasilkan enzim yang dapat menginaktivasi antibiotik, menginhibisi proses binding antibiotik dengan area target, atau membunuh antibiotik.
Menurunkan permeabilitas membrane sel, sehingga sulit bagi obat antibiotik untuk masuk dan berikatan dengan targetnya.
Melakukan mekanisme efflux pump, dimana bakteri membentuk sebuah pompa pada dinding atau membran selnya untuk mengeluarkan obat antibiotik yang masuk ke bakteri tersebut.

Sumber gambar:Resistance mechanisms Antibiotic resistance ReAct

Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab maraknya resistensi bakteri terhadap obat antibiotik ialah:

Penggunaan antibiotik secara berlebihan/tidak sesuai kebutuhan. Saat ini, obat antibiotik sangat mudah dijumpai di pasaran, bahkan bisa dibeli tanpa adanya resep dari dokter. Pasien awam (yang tidak mengetahui secara benar fungsi antibiotik), terkadang mengonsumsi antibiotik tidak sesuai etiologi; sakit apapun diobati dengan antibiotik. Hal ini berisiko meningkatkan resistensi bakteri terhadap obat antibiotik; semakin banyak obat antibiotik yang kita konsumsi, semakin cepat bakteri menjadi resisten.
Konsumsi antibiotik secara lalai (tidak sesuai dengan anjuran dokter). Jika sudah merasa kondisi membaik, pasien acap kali memberhentikan konsumsi obat antibiotik lebih cepat dari yang dianjurkan pada resep dokter. Hal ini dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten, karena bakteri tidak diatasi sampai 'tuntas', sehingga bakteri yang tersisa akan tumbuh, bermultiplikasi, dan bermutasi menjadi resisten baik melalui transmisi horisontal maupun vertikal.
Kemudian, muncul pertanyaan: mengapa tidak banyak industri obat-obatan yang mengembangkan obat antibiotik baru untuk mengatasi fenomena 'kehabisan antibiotik' ini?

Kemungkinannya banyak, bisa jadi beberapa di antaranya ialah:

Mungkin memang tidak begitu sulit untuk menemukan substansi/semyawa yang dapat membunuh bakteri, namun tantangannya ialah menemukan substansi yang tidak hanya dapat membunuh bakteri, tapi juga tidak bersifat toksik pada manusia. Prosestestingobat antibiotik dapat memakan waktu bertahun-tahun lamanya, dengan risiko kegagalan yang tinggi.
Biaya yang dikeluarkan untuk uji coba dan pengembangan antibiotik tidak sebanding dengan biaya yang bersedia dibayarkan oleh mayoritas orang untuk membeli sestrip antibiotik. Sulit bagi industri farmasi untuk mencari titik tengah di antara kedua masalah tersebut.
Obat antibiotik, dalam sejarahnya, telah banyak berjasa menyembuhkan infeksi yang dulunya dianggap 'mematikan'. Kunci dari penggunaan obat antibiotik ialah menggunakannya secara cerdas dan sesuai kebutuhan.