Saat ini di ratusan negara di berbagai penjuru dunia telah diserang virus Corona atau Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus 2 (SARS-CoV-2) yang berasal dari kota Wuhan di Tiongkok yang muncul sejak Desember 2019. Ada pun penyakit akibat virus ini disebut Covid-19.

Virus Corona menyebabkan terjadinya guncangan pada pasar ekonomi dan tenaga kerja, yang berdampak terhadap tersendatnya pasokan barang dan jasa serta konsumsi dan investasi. Kita ketahui saat ini dampak serangan virus Corona di sektor ekonomi sangat terasa. Ancaman virus Corona membuat Pemerintah membuat kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat untuk bepergian seta menghindari kerumunan massal. Bahkan, di beberapa negara ada yang memberlakukan lockdown yang menyebabkan terjadinya penurunan kegiatan perekonomian khususnya di sektor manufaktur dan jasa.

Adanya pembatasan aktivitas masyarakat di luar rumah membuat banyak perusahaan yang meliburkan karyawannya sehingga banyak pekerja yang tidak dapat pergi ke tempat kerja demi mencegah meluasnya penularan virus Corona, sehingga perusahaan membuat kebijakan agar karyawan bekerja dari rumah atau work from home (whf). Virus Corona yang telah mengancam ratusan negara bakal membawa ke resesi global, tentu saja ini akan mengancam eksistensi perusahaan di dunia termasuk perusahaan di Indonesia.

Perusahaan berada dalam siatuasi ketidakpastian sehingga membuat perusahaan cenderung untuk menunda investasi dan memberhentikan aktivitas pembelian barang. Adanya serangan virus Corona mengakibatkan pendapatan perusahaan menurun drastis, sehingga perusahaan pun mau tidak mau harus melakukan efisiensi. Salah satu efisiensi yang dilakukan perusahaan adalah pengurangan karyawan.

International Labour Organization (ILO) memprediksi akibat serangan virus Corona ke berbagai negara membuat dampak kepada para pekerja di seluruh dunia. ILO menilai bahwa akibat bencana virus Corona akan menyebabkan angka pengangguran global akan semakin meningkat. Hal ini membuat ILO melakukan beberapa skenario untuk melihat dampak virus Corona terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) secara global di mana setiap skenario tersebut dihitung berdasarkan tingkat dasar 188 juta orang yang menganggur pada tahun 2019.

Ada pun skenario tersebut meliputi skenario rendah, sedang, dan tinggi. Pada skenario rendah, turunnya pertumbuhan PDB global sekitar 2% maka angka pengangguran secara global akan meningkat hingga 5,3 juta orang. Sedangkan pada skenario sedang, turunnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) global turun 4% maka akan menyebabkan terjadinya angka pengangguran global hingga 13 juta orang. Dan pada skenario tinggi, turunnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Global hingga 8% maka akan penambahan pengangguran global hingga 24,7 juta orang.

Perhitungan angka pengangguran global yang dilakukan oleh ILO ini melebihi penghitungan angka pengangguran global akibat krisis global tahun 2008 sebesar 22 juta orang. Selain itu, menurut ILO bahwa ancaman virus Corona telah mengakibatkan munculnya kebijakan karantina serta menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi. Tentu saja hal ini mengakibatkan hilangnya pendapatan terutama pekerja sektor informal termasuk wiraswasta, pekerja lepas, pekerja migran, dan lain sebagainya, di mana kerugian kehilangan pendapatan diperkirakan mencapai 13 ribu triliun hingga Rp 52 ribu triliun.

Masih menurut ILO, serangan virus Corona menyebabkan kemiskinan meningkatkan pekerja di bawah kemiskinan 8,8 juta hingga 35 juta orang bekerja di bawah status kemiskinan pada akhir tahun 2020. Angka ini di atas 14 juta pekerja di bawah kemiskinan sebelum adanya virus Corona.

Kita berharap serangan virus Corona ini segera berakhir dan aktivitas pekerja dan perekonomian akan pulih kembali. Diperkirakan setelah virus Corona ini akan berakhir, belajar dari pembatasan ruang gerak manusia di luar rumah hingga adanya kebijakan work from homedan pemutusan hubungan kerja demi efisiensi, membuat perusahaan akan mensetting ulang keberadaan pekerja. Di mana perusahaan akan marak menuju era gig economy part II.

Gig economy merupakan suatu tren di mana perusahaan memilih untuk mempekerjakan pekerja kontrak dan pekerja lepas atau freelance daripada pekerja penuh waktu atau fulltimer employee dalam perjanjian jangka pendek. Dalam arti yang lebih luas, gig economy dapat diartikan suatu pergerakan ekonomi di mana suatu pergerakan ekonomi di mana banyak perusahaan bergantung pada pekerja kontrak.

Gig economy sendiri muncul akibat pengaruh dari industri 4.0 yang disebut era pertama gig economy. Ciri dari gig economy adalah adanya kebebasan dari setiap individu untuk mendapatkan sumber penghasilan. Gig economy sendiri meliputi para pakerja lepas atau gig workersdi situs pekerja seperti Ifreelance, sribulancer, Gobann, Upwork, Toptal, Project4hire, dan Simplyhired, maupun para mitra kerja di perusahaan seperti driver online (Grab, GoJek, Uber dan lain-lain), jurnalis lepas, social media management, konsultan independen (konsultan pajak, konsultan manajemen, konsultan keuangan, konsultan desain interior), teknisi panggilan, dan lain sebagainya.

Salah satu pertimbangan perusahaan memilih gig workers untuk terlibat di suatu pekerjaan jangka pendek, atau pada saat dibutuhkan saja adalah efisiensi di mana penghematan biaya seperti biaya rekrutmen, biaya gaji, pemberian fasilitas, tunjangan, bonus dan pensiun. Selain itu, melalui kehadiran para gig workers diharapkan muncul ide-ide baru yang lebih segar dan inovatif dihadirkan para gig workers.

Akan tetapi ada beberapa beberapa risiko yang dapat diakibatkan adanya penggunaan gig workers dari sisi perusahaan, seperti kepatuhan terhadap hukum dan undang-undang ketenagakerjaan, maupun terhadap aturan dan budaya perusahaan yang kadang tidak dipatuhi. Serta yang tidak kalah pentingnya yang dapat mengancam keberadaan perusahaan adalah kemungkinan bocornya kerahasiaan perusahaan, baik dalam bentuknya pencurian data maupun informasi secara langsung maupun dalam bentukcyber crime. Tentunya kebocoran data atau informasi sekecil apa pun dampaknya dapat berujung pada kerugian bagi kinerja perusahaan.

Pasca serangan virus Corona yang membuat 'badai' di sektor bisnis membuat perusahaan akan semakin banyak mempekerjakan gig worker. Para gig workers dapat bekerja dari rumah atau work from home seperti yang terjadi saat ini, tanpa harus berkantor. Akan tetapi kebijakan perusahaan untuk menggunakan gig workerstidak berlaku pada di sektor industri manufaktur terutama di bidang produksi, di mana dalam melakukan kegiatan produksi dibutuhkan operasional peralatan yang hanya terdapat di areal perusahaan.