Indonesia menjadi salah satu negara yang mengalami ketidakseimbangan antara jumlah lulusan perguruan tinggi dengan lapangan kerja yang tersedia, baik dalam industri maupun institusi pemerintahan. Hal tersebut membuat sebagian besar lulusan perguruan tinggi kerap berupaya mencari solusi untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan agar ilmu pengetahuan yang selama ini mereka pelajari dapat diaplikasikan dengan baik.

Salah satu faktor adanya ketidakseimbangan antara jumlah lulusan dengan lapangan kerja adalah banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak seutuhnya menguasai tiap-tiap bidang ilmu pengetahuan. Hal ini mengingat umumnya lulusan perguruan tinggi mempelajari sesuatu dengan ilmu pengetahuan yang spesifik. Sementara yang dibutuhkan oleh industri dan institusi pemerintahan adalah lulusan yang memiliki keterampilan multitasking.

Tuntutan dari industri dan institusi pemerintahan hendaknya tidak membuat para lulusan patah arang dan tidak menjadikan tuntutan itu sebagai hambatan bagi para lulusan. Sebab saat ini para lulusan perguruan tinggi memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan diri sehingga dapat menjawab problematika dan menjadi solusi bagi kegelisahan yang mereka alami. Salah satu bentuk solusi yaitu membangun lapangan kerja secara mandiri dengan menekuni profesi sebagai wirausaha.

Selain adanya ketidakseimbangan antara jumlah lulusan perguruan tinggi dengan lapangan kerja yang tersedia, ada beberapa faktor pemicu yang menyebabkan profesi wirausaha mampu menambah daftar panjang pilihan profesi alternatif bagi kaum muda. Faktor pemicu lainnya adalah terjadinya perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi sehingga memberikan banyak kemudahan bagi kaum muda selaku pelaku usaha dalam memasarkan dan menjual produk barang atau jasa.

Kaum muda yang hidup di era digitalisasi seperti saat ini sangat beruntung. Mereka merasakan adanya bentuk penyempurnaan teknologi, informasi, dan komunikasi yang lebih berkembang dari era sebelumnya, sehingga akan jauh lebih mudah digunakan dalam kegiatan berwirausaha kelak. Meski begitu, ketika ingin mengembangkan produk barang atau jasanya melalui wirausaha, keterampilan personal selling tetap wajib untuk dimiliki.

Menurut pandangan Berkowitz (dalam Rangkuti, 2010), personal selling merupakan proses komunikasi dua arah yang terjadi antara pembeli dan penjual yang bertujuan untuk memengaruhi keputusan pembelian seseorang atau sekelompok orang. Itu artinya ketika kaum muda berprofesi sebagai wirausaha wajib memiliki keterampilan persuasi yang baik agar pembeli terpengaruh dan dengan penuh kerelaan hati untuk membeli produk barang atau jasa yang ditawarkan. Namun, keterampilan persuasi saja tidak cukup untuk melatih kaum muda menjadi personal seller.

Berikut adalah enam bentuk keterampilan personal selling menurut Weltz (dalam Rangkuti, 2010) yang wajib melekat dalam diri seorang wirausaha.

1. Motivasi yang tinggi (highly motivation).

Motivasi yang tinggi mengacu kepada bentuk keyakinan dan optimisme yang melekat dalam diri personal seller terhadap tingkat keberhasilan dalam melakukan proses penjualan produk barang atau jasa, baik secara langsung maupun melalui media digital kepada konsumen.

2. Dapat diandalkan dan dipercaya (dependability and trustworthiness).

Memiliki integritas ketika menjual produk barang atau jasa kepada konsumen. Itu artinya adanya kesesuaian antara apa yang diucapkan dengan tindakan yang dilakukan. Serta terdapat kejujuran dan keterbukaan informasi terhadap produk barang atau jasa yang ditawarkan oleh personal seller, baik secara tatap muka langsung maupun melalui media digital kepada konsumen dalam peristiwa jual-beli.

3. Etika dalam berperilaku (ethical sales behavior).

Etika personal seller akan merepresentasikan produk barang atau jasa yang ditawarkan atau dijual. Seorang personal seller wajib menjaga etika profesi wirausaha baik secara moral, sosial, maupun etika dalam menggunakan platform digital saat memberikan pelayanan sehingga konsumen merasa terpuaskan terhadap layanan yang diberikan.

4. Pengetahuan yang tepat mengenai produk dan konsumen (product and consumer knowledge).

Seorang personal seller wajib mengumpulan informasi sebanyak-banyaknya berupa pengetahuan yang tepat dan benar mengenai produk barang atau jasa yang akan dijual serta mengetahui apa yang konsumen butuhkan, baik yang akan disampaikan secara tatap muka langsung maupun yang akan dipublikasikan melalui saluran media digital. Sehingga konsumen merasa teredukasi dan menciptakan peluang untuk membeli produk barang atau jasa dan bermuara pada mendapatkan keuntungan.

5. Fleksibilitas (flexibility).

Seorang personal seller mampu menyesuaikan diri terhadap ragam keadaan yang ditemui dalam lingkungan sosial. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh personal seller dapat berupa mampu menempatkan diri ketika berinteraksi dengan ragam karakteristik konsumen, baik dalam situasi tatap muka maupun dalam menata kata-kata dan mempersiapkan bentuk visualisasi ketika berinteraksi melalui bantuan perangkat telekomunikasi.

6. Kecerdasan emosi (emotional intelligence).

Empati dan mampu mengendalikan emosi menjadi bentuk keterampilan yang menyempurnakan personal seller ketika akan melakukan proses jual-beli dengan konsumen. Jika personal seller mampu merasakan apa yang diinginkan atau dibutuhkan konsumen serta mampu mengendalikan emosi diri, akan menciptakan kecenderungan konsumen dalam membeli produk barang atau jasa yang ditawarkan.

Setelah mengenal bentuk keterampilan personal selling dalam kegiatan wirausaha, diharapkan para lulusan perguruan tinggi yang berani memutuskan untuk berwirausaha dapat memanfaatkan ragam upaya membentuk keterampilan personal selling tersebut. Tujuan utamanya guna mendapatkan penghasilan dan keuntungan yang sebelumnya menjadi kegelisahan bagi para lulusan.