Dunia perfilman Indonesia saat ini sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Nyaris semua genre film telah tersedia di negeri ini. Mulai dari comedy, drama, thriller, action, hingga superhero.

Salah satu yang masih segar dalam ingatan adalah lolosnya Gundala di Toronto International Film festival (TIFF) yang diselenggarakan 6 hingga 15 September 2019 lalu. Film yang disutradarai oleh Joko Anwar tersebut bahkan menjadi 10 film wajib tonton di salah satu festival film terbesar di dunia itu.

Banyak penonton yang rela mengantre hingga berjam-jam untuk menonton film superhero pertama produksi Bumilangit di kancah perfilman Indonesia tersebut. Selain Gundala, ada juga film pendek Tak Ada Yang Gila Di Kota Ini yang tayang di Busan International Film Festival 2019 (BIFF).

Selain kedua film yang disebutkan di atas, akan ada 3 film lagi yang bakal tayang di Tokyo International Film Festival 2019, salah satu festival film terbaik di Asia. Apa saja film-film tersebut? Simak ulasannya di bawah ini.

1. Folklore: A Mothers Love.

3 Film ini wakili Indonesia di Tokyo International Film Festival 2019

A Mothers Love merupakan film horor yang nuansa ketegangannya dibangun secara lambat. Jika rata-rata perfilman Indonesia diramaikan oleh film horor yang mengandalkan suara tingkat tinggi dipadu dengan visual hantu yang muncul secara tiba-tiba sehingga membuat kamu berteriak, maka film ini nyaris tidak mengandalkan resep tersebut.

A Mothers Love berkisah tentang seorang perempuan dan anaknya yang hidup berpindah-pindah rumah. Hingga suatu hari ia tinggal di sebuah rumah yang mana banyak terjadi keanehan di dalamnya.

Salah satu keanehan tersebut adalah ketika sang perempuan mencari anaknya, tiba-tiba muncul sekelompok anak di loteng rumah. Tentunya sekelompok anak menggemaskan tersebut muncul bukan untuk demonstrasi, namun mencoba melakukan teror kepada keluarga itu.

2. Foxtrot Six.

3 Film ini wakili Indonesia di Tokyo International Film Festival 2019

Foxtrot Six bercerita tentang situasi di Indonesia di masa depan. Jadi bisa dikatakan film ini merupakan action futuristik. Saat itu di Indonesia muncul sekelompok pemberontak yang ingin berkuasa di negeri ini dengan cara ilegal.

Kelompok pemberontak tersebut sangat sadis dan kejam. Siapapun yang menghalangi tujuannya, bakal dibunuh. Pada saat itulah, seorang mantan tentara tergugah hatinya untuk menyelamatkan negeri yang sangat ia cintai tersebut.

Narasinya sangat terasa nasionalis sekali. Bisa dikatakan Foxtrot Six merupakan film yang mencoba membangkitkan kecintaan terhadap Tanah Air. Kalau dulu film-film nasionalis Indonesia banyak bercerita tentang pertempuran para pejuang melawan para penjajah, kini dalam bentuk pertempuran melawan teroris.

Selain itu dapat dikatakan jika Foxtrot Six adalah film action futuristik pertama di Indonesia. Kalau di Hollywood atau Jepang, kita tak akan heran lagi dengan banyaknya film bertema action futuristik.Di Hollywood terdapat banyak film action futuristik terkenal seperti Waterworld, The Book of Eli, dan Mad Max. Sementara itu di Jepang terdapat Attack on The Titan.

3. Alkisah Si Hiruk Pikuk (The Science of Fiction).

3 Film ini wakili Indonesia di Tokyo International Film Festival 2019

Sebuah kisah unik dalam dunia perfilman Indonesia. Selama ini jarang ada film fiksi ilmiah yang sukses di negeri ini. Hal itu pula yang membuat sutradara-sutradara Indonesia enggan untuk membuat karya dengan genre fiksi ilmiah.

Mereka lebih suka membuat karya dengan genre comedy, drama, atau horor dibanding genre lainnya, terutama fiksi ilmiah. Genre-genre tersebut mampu meraup sukses secara komersil. Namun berbeda dengan rata-rata sutradara negeri ini yang mencoba main aman, Yoseph Anggi Noen dengan berani membuat sebuah karya fiksi ilmiah.

Tidak tanggung-tanggung, karya tersebut menampilkan kisah tentang sejarah pembuatan pendaratan manusia ke Bulan. Alkisah Si Hiruk Pikuk atau dalam bahasa Inggris diberi judul The Science of Fiction ini menceritakan sebuah kejadian di tahun 1962 yang dialami seorang petani desa bernama Siman.

Saat itu Siman datang ke sebuah gumuk pasir yang luas di sudut Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Tak disangka ia melihat sebuah pemandangan langka, yaitu pengambilan gambar film fiksi pendaratan manusia ke Bulan oleh sekelompok kru asing. Sialnya, para tentara yang bertugas mengamankan area itu melihat Siman yang berada di situ.

Siman segera ditangkap oleh para tentara tersebut dan dipotong lidahnya. Hal itu membuat Siman tak lagi mampu bicara seumur hidup. Namun setelah kejadian itu, ia selalu melakukan tingkah polah yang dianggap aneh oleh penduduk desa tempat ia tinggal.