Buku adalah jendela bagi dunia. Dengan membaca buku kita bisa tahu apa saja. Istilah tersebut berhasil menjadikan inspirasi bagi pria yang sudah berusia 72 tahun ini. Namanya Sutopo, akrab disapa Mbah Topo.

Mbah Topo sejak dulu sangat gemar membaca, mulai dari koran hingga buku. Setelah dirinya pensiun sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di TNI Angkatan Darat pada 2003 silam, selang satu tahun dia memilih menjadi tukang becak. Mbah Topo sendiri memilih untuk berprofesi sebagai tukang becak, karena dalam mengendarai becak ada gerakan-gerakan mengayuh seperti olahraga yang dapat menyehatkan badan.

Meski saat ini dirinya hanyalah sebagai tukang becak, namun hobinya membaca tidak pernah tergantikan. Selama Mbah Topo menunggu penumpang datang, tak lupa ia selalu membawa buku dan koran untuk dibaca. Banyak kalangan masyarakat yang mulai tertarik dengan kebiasaan Mbah Topo ini. Mereka senang melihat Mbah Topo sering terlihat membaca buku.

becak Sutopo © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Syamsu Dhuha


Profesinya sebagai tukang becak, banyak bertemu orang dari berbagai kalangan, membuatnya bisa mengamati tingkah laku dan kebiasaan orang, terutama anak-anak zaman sekarang. Banyak anak yang masih berusia kecil sudah sering bermain gadget, ketimbang jalan membawa buku.

"Karena saya melihat di masyarakat yang setiap hari saya lihat, anak-anak membawa HP. Anak-anak mampirnya ke warnet, bahkan umum juga begitu. Mereka sibuk dengan HP, sehingga mereka melupakan membaca buku. Padahal isi buku sangat bermanfaat, sumber ilmu pengetahuan," ujar Mbah Topo saat ditemui brilio.net pada Rabu (27/2).

becak Sutopo © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Syamsu Dhuha


Kegelisahan yang sering Mbah Topo lihat tersebut membuatnya memunculkan ide mengenai Becak Pustaka. Becak yang berisi berbagai macam buku di dalamnya.

"Pemikirannya sejak awal-awal 2003 itu sudah ada, namun terwujudnya baru tahun 2017," kata Mbah Topo.

Yang bikin salut, dirinya merancang sendiri becaknya tersebut. Mbah Topo memang memiliki jiwa seni, karena dulu pernah bersekolah di salah satu akademi seni rupa. Dia membuat becaknya berbeda dari becak lain pada umunya.

"Saya seorang seniman, tahun 69 saat saya lulus SMA, lalu mendaftar di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), jurusan reklame propaganda. Sehingga saya punya jiwa seni," paparnya.

becak Sutopo © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Nur Luthfiana Hardian


Pada awalnya Mbah Topo hanya memiliki 5 buah buku saja. Terdiri dari buku kitab suci, empat lainnya terdiri dari buku umum, ditambah koran dan majalah. Meski waktu itu hanya memiliki 5 buah buku saja, Mbah Topo sudah mulai menatanya di becaknya.

Lambat laun masyarakat yang melihat Mbah Topo merasa terinspirasi, terutama kalangan pecinta buku lainnya. Seiring berjalannya waktu, banyak buku yang sudah disumbangkan dari berbagai kalangan kepada Mbah Topo.   

Sumbangan buku pertama berasal dari masyarakat, kemudian Mbah Topo juga mendapatkan buku dari komunitas perpustakaan seluruh Indonesia, dan percetakan dari berbagai daerah Indonesia, seperti Jakarta dan Cirebon. Biasanya mereka ikut menyumbang dengan mengirim paket.

"Saya pernah dipanggil, suruh masuk ke toko buku. Pak Topo silakan masuk, pilih 40 buku," kenang Mbah Topo.

Saat ini Mbah Topo sudah memiliki 200 buah buku. Ada pun 100 buku ia letakkan di becaknya dan 100 buku ia simpan di rumah. Kategori buku mulai dari anak-anak, dewasa, umum, novel, sejarah, resep masak, dan masih banyak yang lainnya.

Menurutnya, memiliki 100 buah buku sama beratnya dengan membawa satu penumpang. Namun hal itu tidak pernah membuat Mbah Topo merasa keberatan dan terbebani sama sekali.

becak Sutopo © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Nur Luthfiana Hardian


Masyarakat yang ingin membaca buku milik Mbah Topo tidak dipungut biaya sama sekali, alias gratis. Masyarakat juga diberikan kebebasan waktu apabila ingin meminjam buku dari becak pustaka milik Mbah Topo ini.

"Peminat pembaca buku becak pustaka ini bersifat heterogen. Mulai dari pemulung, penarik becak, bakul pasar, pedagang kaki lima, umum, mahasiswa, pelajar, dan lain-lain," jelas Mbah Topo.

Adanya becak pustaka yang ia sediakan, Mbah Topo merasa sangat senang bisa membantu mereka yang ingin membaca. Sebab menurut dia tak semua orang mau pergi ke perpustakaan umum.

"Secara formal orang-orang seperti itu, terutama pemulung, penarik becak, kan nggak mungkin secara formal datang ke perpustakaan. Dan untuk memiliki buku, membeli buku juga mahal.  Sehingga saya penuhi dengan buku (becak), saya sodorkan pada mereka yang punya semangat membaca. Ini saya punya buku di becak, silakan dibaca," lanjut Mbah Topo.

becak Sutopo © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Nur Luthfiana Hardian


Saat ini Mbah Topo setiap paginya sering mangkal di depan SD Tarakanita, Bumijo, Yogyakarta. Setiap Mbah Topo sedang mangkal di situ, ketika waktu istirahat banyak anak-anak sekolah dan orangtua murid tertarik, mulai mendekati becak pustaka Mbah Topo, kemudian mulai membaca dan meminjam untuk dibawa pulang. Bahkan ada salah satu murid yang sudah dijemput keluarganya justru tidak mau pulang karena keasyikan membaca buku dari becak pustaka Mbah Topo.

"Saya mau naik becaknya Mbah Topo, mau baca-baca. Ya saya anter, dia duduk sambil baca. Sampai di rumah nggak mau turun. Neneknya juga ikut bingung. Akhirnya saya buat suatu kebijakan, ya sudah buku yang belum selesai, boleh di bawa ke rumah plus saya tambah lagi satu buku," ujarnya.

Dari sekian banyak orang yang pernah meminjam buku Mbah Topo, tentu ada segelintir orang yang tidak mengembalikan bukunya hingga saat ini. Meski demikian, Mbah Topo selalu berdoa agar bisa mendapatkan ganti buku yang lebih banyak.

Hingga saat ini dengan Becak Pustakanya, dirinya sudah banyak mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak. Mbah Topo memiliki harapan agar masyarakat bisa kembali kepada buku. Boleh bermain HP dan internet, namun tetap buku lebih mendidik daripada lainnya.