Brilio.net - Luar biasa semangat gadis ini untuk bisa mengenyam pendidikan. Pebri Nurhayati, namanya. Gadis 23 tahun asal Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur ini harus menghadapi dua rintangan yang tidak ringan, keterbatasan ekonomi dan cara pandang masyarakat di kampungnya terhadap pendidikan.

Niat Pebri Nurhayati untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi sempat mendapat tentangan dari orang tua karena alasan biaya. Namun dia mampu menjawabnya dengan segudang prestasi dan meraih beasiswa.

Kisah mahasiswi Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial UNY ini bermula ketika dia merampungkan pendidikan SMA di Way Jepara, Lampung Timur. Saya mengatakan keinginan saya untuk kuliah. Tapi ibu justru lari ke kamar dan menangis. Saya paham apa yang ibu pikirkan, kisah Pebri kepada brilio.net, Selasa (10/3).

Lagipula, menurutnya, pendidikan di sana sulit didapatkan dan bukan menjadi hal penting bagi masyarakat di daerahnya. Setelah lulus sekolah, teman-temannya biasanya akan kerja sebagai karyawan pabrik atau menjadi tenaga kerja di luar negeri (TKW).

Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, dia kemudian mendaftarkan diri untuk seleksi masuk perguruan tinggi melalui jalur beasiswa Bidik Misi tahun 2011. Setelah diyatakan lolos, Ebi akhirnya mau berterus terang kepada ibunya. Meski ibu sempat khawatir soal biaya, alhamdulillah ibu bisa menerima, ungkapnya.

Dalam perkuliahannya, Pebri berhasil menunjukkan prestasi yang membanggakan. Dia berhasil meraih predikat Mahasiswa Berprestasi UNY 2014.

Berhasil mewujudkan keinginannya untuk berkuliah, tidak lantas membuatnya puas. Pebi masih ingin terus melanjutkan pendidikannya lagi. Kali ini, anak keenam dari tujuh bersaudara itu punya cita-cita, setelah lulus dari UNY, melanjutkan studi ke luar negeri tepatnya di Swedia. Saya sudah minta restu dari orang tua dan Alhamdulillah mereka mengizinkan, tuturnya.

Dicibir Tetangga tak mau jadi TKW

Diminta ortu jadi TKW, Pebri buktikan jadi mahasiswa berprestasi, top!

Pebri Nurhayati (23) kurang beruntung karena tumbuh di lingkungan masyarakat yang memiliki kesadaran rendah terhadap pentingnya pendidikan. Tanpa tekat baja, nasibnya pasti akan mengikuti anak-anak seumurannya yang puas menjadi tenaga kerja wanita (TKW) bidang domestik alias pembantu rumah tangga (PRT) di luar negeri.

Pebri sadar bahwa dengan pendidikan nasibnya akan berubah. Karena itu dia tidak tergoda untuk jadi PRT di luar negeri. Pebri memilih untuk kuliah. Dia juga berhasil meyakinkan orang tuanya, yang karena alasan ekonomi sempat tidak setuju dirinya kuliah, berkat beasiswa yang diraihnya. Pada tahun 2014 dia membuktikan kemampuannya dengan predikat sebagai Mahasiswa Berprestasi UNY 2014.

Gadis berkerudung ini bercerita, godaan agar dirinya tidak kuliah bermunculan dari lingkungannya. Bahkan, mahasiswa yang akrab disapa Ebi ini mengaku banyak orang yang mencibir niatnya untuk melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Kenapa enggak kerja di luar negeri (jadi TKW) saja? ujar Pebri menirukan ucapan salah seorang tetangganya kala itu.

Menurut Ebi, hanya segelintir orang di daerahnya yang bisa menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi, yaitu orang dengan ekonomi kelas menengah ke atas. Itu pun tak semua dari mereka yang mau melakukannya karena kesadaran pendidikan di daerahnya memang sangatlah rendah. Di kabupatennya hanya ada 3 sekolah menengah tingkat atas.

Rata-rata anak wanita di kampungnya akan bekerja sebagai PRT di Hongkong maupun Taiwan. Sedangkan para anak laki-laki mengikuti jejak kerja ayahnya, seperti pekerja pabrik dan lainnya.