Barang bekas layak pakai memang kerap mendapat perhatian. Nama seperti Pasar Senen, Taman Puring, bahkan Jalan Surabaya, dan BaBe (Toko barang bekas) begitu akrab di telinga kita, menjadi tempat mencari barang bekas berkualitas. Belakangan ini barang bekas layak pakai lebih dikenal dengan istilah preloved. Preloved sendiri berarti second-hand atau tangan kedua.

Seiring dengan istilah yang lebih keren, barang bekas yang dulu identik dijual di pasar atau tempat yang kurang bergengsi, juga mendapat tempat di pusat perbelanjaan ataupun di website on-line yang berkelas. Barang preloved saat ini tidak hanya barang yang sudah tidak dipakai, namun juga barang dengan merek terkemuka atau high-end yang dijual dengan harga jauh lebih murah. Barang-barang ini masih sangat layak pakai karena memang dipakai sesekali atau bahkan disayang oleh pemiliknya.

Animo terhadap barang preloved ini jelas meningkat dan menguntungkan. Penulis sempat mewawancarai seorang seller barang preloved. Ia mengemukakan bahwa penghasilan dari menjual barang-barang bekas ini lumayan. Ia kerap menjual barang pribadinya, namun juga menerima titipan, bahkan dengan sengaja membeli barang bekas lagi untuk dijual kembali. Dengan adanya barang preloved ini, perilaku berbelanja juga berubah. Masyarakat yang cenderung malu untuk membeli barang bekas pakai kini tidak merasa sungkan untuk membeli. Dengan barang yang cenderung menarik dan harga miring, adanya pasar barang preloved ini dapat meningkatkan perilaku belanja impulsif. Perilaku ini muncul karena tersedianya alternatif baru di pasar. Belum lagi adanya kecenderungan masyarakat kita yang terkadang tidak memperdulikan kondisi barang dan memilih untuk membeli dikarenakan perasaan gengsi dari merek sebuah produk (Triwijanarko, 2018).

Pembelian impulsif sendiri merupakan bentuk pembelian yang tidak rasional. Dalam hal ini orang cenderung untuk membeli tanpa berpikir lebih lanjut dan tanpa direncanakan. Perilaku ini cenderung didominasi oleh dorongan emosional, di mana ketika melihat barang tertentu, individu cenderung ingin memilikinya karena berbagai alasan (Solomon, 2013; Verplanken, Herabadi, & Knippenberg, 2009). Biasanya setelah beberapa saat, pembeli sadar bahwa pada dasarnya ia tidak terlalu membutuhkan barang tersebut. Banyak hal yang dapat mendorong seseorang melakukan pembelian impulsif, antara lain usia dan jenis kelamin. Faktor lain adalah tampilan dan penawaran yang diberikan oleh suatu produk tertentu. Di satu sisi perilaku ini dapat memuaskan individu bahkan dapat menjadi sarana coping-stress; karena pada dasarnya berbelanja adalah hal yang menyenangkan. Pembelanja yang menyesal dapat menjual kembali barang yang dibeli walaupun dengan harga yang lebih murah. Di sisi pembelian tidak terencana dapat menyebabkan berbagai masalah seperti masalah keuangan, penyimpanan, bahkan penyesalan karena dana yang dikeluarkan.

Pada dasarnya fenomena barang preloved ini tidak hanya berdampak pada perilaku konsumen, namun juga mulai digemari karena efeknya terhadap lingkungan. Dengan membeli barang preloved, kita dianggap ikut melestarikan lingkungan dan mendukung gerakan fesyen berkelanjutan. Para aktivis lingkungan mengemukakan bahwa limbah pakaian sangat merugikan bagi lingkungan dan kerap sulit terurai, dengan adanya tren second-hand clothing, diharapkan orang dapat mempergunakan kembali atau mendaur ulang pakaian dan perlengkapannya yang sudah tidak ingin dipakai. Ada baiknya kamu memang bijaksana dalam membeli sesuatu, namun jangan ragu untuk membeli barang preloved yang kamu butuhkan karena selain fungsi kamu juga ikut serta dalam gerakan fesyen berkelanjutan.