Siapa tidak tahu Lembang? Daerah wisata di utara Bandung yang punya cuaca dingin serta pemandangan asri ini menawarkan pesona yang tetap memikat para pengunjung yang berlibur dari sela-sela kesibukan. Lembang memiliki objek wisata seperti pohon-pohon pinus, area bertualang, situs danau, dan tentunya Gunung Tangkuban Perahu. Pengunjung dapat menikmati berbagai sajian kuliner dan oleh-oleh khas Lembang di sini.

Namun, para peneliti kebumian dari dulu sudah tertarik dengan keberadaan Sesar Lembang, sebuah patahan yang memanjang dari barat ke timur yang berada di tepi selatan kawah Gunung Tangkuban Perahu. Sesar atau patahan ini sudah diteliti melalui serangkaian uji geologi, geodesi, seismik, dan geofisika.

Penelitian Sesar Lembang terbaru dilakukan oleh Mudrik R. Daryono dari Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia. Mudrik bersama rekan-rekan peneliti lainnya pada tahun 2018 sudah mempublikasikan temuan-temuan tentang karakteristik Sesar Lembang. Dalam temuan tersebut diungkapkan bahwa Sesar Lembang adalah sesar yang aktif. Sesar aktif merujuk pada indikasi potensi gempa yang dapat dihasilkan.

Gempa dari Sesar Lembang ditaksir berkekuatan 6,5-7. Kemudian Mudrik dkk. juga telah menemukan tiga kejadian gempa tua akibat bergeraknya Sesar Lembang. Kejadian gempa itu terjadi pada abad ke-15, 60 SM, dan 19.600 tahun yang lalu. Mudrik dkk. melakukan penelitiannya dengan menggunakan analisis morfologi melalui citra resolusi tinggi seperti LIDAR, uji paritan, serta analisis peluruhan melalui uji dating dengan membawa sampel ke USA. Dari penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa Sesar Lembang memiliki periode ulang gempa 167-670 tahun.

Sebagai masyarakat yang hidup di area rawan bencana, sudah sepatutnya warga melakukan upaya-upaya mitigasi bencana. Upaya mitigasi bencana dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana yang mungkin terjadi. Sebuah ungkapan yang terkenal "earthquake doesn't kill people, buildings do" mensyaratkan manusia yang wilayahnya rawan gempa untuk memperbaiki fisik sarana prasarana dan mental untuk meminimalisasi dampak buruk dari gempa.

Upaya mitigasi seperti kesadaran bencana dan melakukan tata ruang berbasis mitigasi sangat penting. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Pemerintah setempat juga dapat mengalokasikan anggaran yang lebih sedikit ketimbang harus merehabilitasi wilayah terdampak bencana.

Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli sebaiknya tidak diabaikan begitu saja dan menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan. Program-program kesadaran bencana baik melalui kurikulum pendidikan maupun sosialisasi tanggap bencana kepada masyarakat menjadi hal yang urgen.