Setelah menikah, terdapat tahapan-tahapan yang tak terhindarkan, mulai dari tak bergantung dengan keluarga, hidup bersama pasangan, dan merencanakan memiliki anak. Di Indonesia, secara tradisional tujuan menikah adalah melanjutkan keturunan. Dalam acara pernikahan tidak asing lagi bila menemukan kartu ucapan yang berisi harapan untuk segera memiliki momongan.

Saat ini, keputusan memiliki anak mulai diperbincangkan di banyak negara. Ada yang memutuskan untuk memiliki anak dan ada juga yang tidak. Hal ini dibuktikan oleh survei di Amerika Serikat oleh Pew Research Center pada tahun 2021. Hasilnya, 26% orang tua yang belum memiliki anak menyatakan sangat ingin memilikinya, 29% agak ingin, 21% sedikit tidak ingin, dan 23% sisanya menyatakan sangat tidak ingin. Lebih dekat lagi, INED (Institute National d'Etudes Dmographiques) pada tahun yang sama menyatakan 3 dari 10 wanita dewasa di Hong Kong, Jepang, dan Singapura tidak memiliki anak secara permanen. Menariknya, angka di tiga negara tersebut lebih tinggi daripada negara-negara Eropa. Bahkan di Indonesia, istilah childfree atau pilihan tidak memiliki anak telah banyak diperbincangkan. Bahkan ada komunitas bagi para childfree di Indonesia.

Hal yang perlu diperhatikan sebelum memiliki anak.

Dalam wawancara yang dipublikasikan pada channel Menjadi Manusia pada 1 September 2021 lalu, ada tiga narasumber setuju bahwa memiliki anak merupakan investasi yang besar dan tanggung jawab seumur hidup. Mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda, di antaranya Ria sudah memiliki empat anak, Tami belum memiliki anak, dan Lusi yang memutuskan untuk childfree. Hal ini dibenarkan oleh teori yang dikemukakan para ahli dalam buku yang ditulis oleh Weiten, dkk (2015). Dalam buku tersebut, para ahli menyatakan alasan-alasan mengapa pasangan memutuskan untuk childfree di antaranya adalah beban tanggung jawab, keuangan, waktu, dan pengorbanan untuk melepaskan karier.

Sementara itu, Ria dalam wawancara Menjadi Manusia juga menyatakan bahwa ia mendapat cinta dari anak-anaknya. Suka dan duka memiliki anak dibenarkan oleh Ria dan Tami bahwa ada kebahagiaan ketika melihat anak. Selain itu, pernyataan bahwa anak juga mungkin menjadi penguat hubungan pernikahan disebutkan oleh Ria. Persiapan finansial dan mental juga harus diperhatikan. Walau begitu, Ria meyakini bahwa Tuhan selalu menyediakan apa yang dibutuhkan oleh anak. Sebagai pelengkap, tanggung jawab untuk menghasilkan keturunan, kegembiraan menyaksikan pertumbuhan anak, dan tujuan yang diciptakan oleh anak-anak juga disebutkan oleh para ahli sebagai alasan-alasan memiliki anak dalam buku Weiten.

Ketiga narasumber setuju bahwa beban sosial di Indonesia dirasakan orang yang memiliki anak maupun tidak. Walaupun begitu, mereka memilih untuk tidak memedulikan omongan orang lain.

Tahapan-tahapan kehidupan dengan anak.

Ketika pasangan sudah memutuskan untuk memiliki anak, Carter dan McGoldrick (1988, dalam Weiten et al., 2015) menyebutkan tahapan kehidupan keluarga yang cenderung dihadapi.

1. Keluarga dengan anak-anak.

Kedatangan anak pertama memunculkan perubahan yang besar pada pernikahan termasuk penyesuaian rutinitas, emosi, bahkan kesejahteraan. Masalah-masalah mengenai waktu tidur bayi yang tidak teratur dan kepuasan pernikahan yang menurun cenderung dialami. Ketidakpuasan juga meningkat ketika seseorang mempunyai ekspektasi yang terlalu tinggi kepada pasangannya.

2. Keluarga dengan remaja.

Pada masa remaja orang tua mengalami masa paling sulit dalam mendidik anak. Dalam prosesnya, peran orang tua cenderung menurun dalam memberikan pengaruh dibanding teman sebaya walaupun orang tua memiliki peran yang lebih besar dalam hal-hal penting seperti pendidikan atau rencana karier. Pada tahap ini, konflik yang dihadapi cenderung pada masalah sehari-hari.

3. Memperkenalkan anak pada kehidupan dewasa.

Ketika anak dewasa, orang tua harus beradaptasi kembali. Pada masa ini, anak akan berproses menjadi mandiri. Selain itu, hubungan orang tua dan anak akan menjadi lebih dekat. Terdapat alasan-alasan anak yang sudah dewasa untuk tinggal di rumah orang tuanya walaupun anak cenderung berpikir negatif untuk hal ini seperti biaya pendidikan perguruan tinggi yang meningkat, dan penyusutan lapangan kerja.

Masalah dan solusi pengasuhan anak di Indonesia.

Kiling-bunga et al. (2020) menyebutkan beberapa masalah pengasuhan anak di Indonesia di antaranya metode disiplin yang keras meliputi agresi fisik, buruknya dukungan sosial seperti membandingkan anak sendiri dengan anak lain, menjadi contoh yang buruk, dan over protectiveness. Pembatasan penggunaan gadget pada anak juga masih sulit dibatasi di Indonesia karena faktor-faktor seperti orang tua yang bekerja dengan gadget dan kurangnya tempat bermain.

Untukmengatasinya, orang tua harus mengakui bahwa mereka tidak dapat memiliki kendali penuh atas perkembangan anak. Orang tua disarankan untuk mengidentifikasi dan beradaptasi terhadap perbedaan kebutuhan pada setiap tahap perkembangan anak. Masalah dan solusi pengasuhan anak sulit digeneralisasi. Karenanya, diperlukan literasi dan diskusi kelompok orang tua sehingga ditemukan penerapan pola asuh yang tepat dalam konteks tertentu.

Keputusan memiliki anak adalah hal yang perlu dipikirkan dengan matang karena prosesnya merupakan tahap sepanjang hidup. Setiap orang berhak memiliki pendapat yang berbeda-beda sesuai kemampuan dan kebutuhan yang diyakininya.