Kehadiran virus Corona menyebabkan semua orang harus bertahan hidup dengan sekelumit aturan baru seperti mengenakan masker saat bepergian, tinggal di rumah jika tak ada kepentingan yang mendesak, mencuci tangan secara berkala di mana pun baik individu dan kelompok berada. Sayang sekali, tak seluruh masyarakat menaatinya. Mereka melakukan setidaknya satu atau dua pelanggaran atau bahkan tidak menaati protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh badan kesehatan dunia, WHO.
Dorongan masyarakat terhadap tindakan pelanggaran semakin menjadi-jadi, banyak orang bahkan tidak percaya dan menganggap bahwa virus ini hanyalah hasil konspirasi antara China dan Amerika Serikat yang saling bersaing dalam sektor ekonomi pada awal Januari. Ditambah lagi dengan keadaan ekonomi masyarakat Indonesia yang dapat dikatakan cukup rendah dan upah yang tidak menentu memaksa mereka keluar dari rumah untuk bekerja.
Pandemi Covid-19 ini ibarat sebuah fiksi, yang mana mengingatkan kembali kepada salah satu novel supernatural milik penulis tersohor di Britania Raya. Gaya penulisannya yang dikenal sangat kaya akan imajinasi dan sedikit satiris itu membawanya ke dalam salah satu penulis dengan karyanya yang unik dan terbarukan di era milenial.
Tidak terlalu banyak yang mengenal sosok Anthony Horowitz karena popularitasnya yang tidak terlalu diekspos publik domestik. Akan tetapi, meskipun tidak terlalu populer, pria yang lahir pada 5 April 1955 di Inggris ini merupakan peraih penghargaan tertinggi di Britania Raya dalam penulisannya pada seri buku The Power of Five dan menjadi sorotan sepanjang tahun 2012 kala penyelesaian buku kelimanya yang berjudul The Power of Five: Oblivion.
Buku The Power of Five: Oblivion yang terbit pada tahun 2012 itu merupakan salah satu bentuk cerminan yang cocok dengan kondisi saat ini di mana semua orang sedang mengalami masa yang paling berat dan menyedihkan di dunia. Misi kelima orang yang terpilih terdiri atas Matt, Pedro, Scarlett, Jamie, dan Scott, para penjaga gerbang dunia terancam dimusnahkan oleh para penguasa yang tergabung dalam The Old Ones.
Horowitz mampu mendeskripsikan dengan baik bagaimana manusia saling menyatukan kekuatan agar selamat dari bencana besar yang disebabkan oleh pihak-pihak jahat yang menyalahgunakan kekuasaan mereka dengan cara-cara berbahaya layaknya teror bom dan kekacauan besar di Inggris dan wabah yang melanda Tiongkok. Konteks ini mirip dengan wabah yang sedang terjadi di mana situasi perseteruan antara masyarakat, tenaga medis, dan pemerintah begitu tegang.
Di dalam buku tersebut, diceritakan kelima penjaga dunia terdampar di berbagai belahan benua. Mereka frustasi karena tidak dapat bersatu untuk segera memberantas para penguasa jahat The Old Ones. Namun, selalu ada cara bagi mereka untuk tetap menjaga kontak dan akhirnya mereka menggunakan kesatuan untuk menghancurkan The Old Ones. Hal ini dapat diartikan bahwa seharusnya masyarakat dunia saling bantu membantu demi keselamatan umat manusia.
Didukung dengan teori milik Sigmund Freud yang menyatakan bahwa psikologis masyarakat selalu berubah tergantung dengan kondisi lingkungan yang dialami dan pengaruh dari diri sendiri, Horowitz memberikan banyak pukulan telak bagi masyarakat yang saat ini tidak mau bekerja sama yang harusnya dapat menguatkan sisi psikis satu sama lain. Berdasarkan penulisannya, ia seakan mengingatkan kita untuk peduli terhadap sesama tanpa memandang ras dan pangkat sosial yang melekat di saat pandemi Covid-19 menyerang.
Selain itu, kaitan supernatural yang ada pada buku The Power of Five: Oblivion sangat mirip dengan perpecahan yang terjadi di Indonesia dan dunia, di mana semua orang sedang terjebak dalam pusaran konflik sosial. Ketidakpercayaan yang meningkat karena angka korban yang berjatuhan terus naik. Penularan virus yang memang sangat pesat menyebabkan rasa saling percaya pada sesama dan empati berkurang, banyak orang akhirnya memutuskan untuk tidak melakukan interaksi dan curiga satu sama lain terutama kepada keluarga yang anggotanya terjangkit. Akibatnya, semua orang yang berada dalam satu ranah mengalami krisis kepercayaan dan muncul asumsi buruk yang ada pada masyarakat. Selain itu, provokasi masyarakat kontra pemerintah dan munculnya berita-berita palsu yang disebar melalui media sosial memperparah keadaan psikis masyarakat yang awalnya percaya diri dapat melawan Coronavirus Disease dengan menaati protokol kesehatan berakhir dengan ikut melanggar peraturan.
Padahal, untuk memberantas ketidakpercayaan, perlu adanya rasa empati yang kuat yang mungkin dapat mengurangi beban psikis pada setiap orang. Ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang merosot drastis selama pandemi yang membuat setiap orang tidak dapat bekerja dengan leluasa dan berdiam di rumah tanpa mendapatkan upah. Kebanyakan perusahaan besar akhirnya memutar otak untuk mengadakan gerakan bekerja di rumah dan melakukan beberapa pergantian jadwal apabila diadakan kerja di kantor. Selain itu, para murid yang harus belajar secara daring di rumah merasa tertekan karena banyaknya tugas yang diberikan guru ataupun dosen. Serupa kasus dengan keluarga pasien yang terkucilkan di lingkungan masyarakat karena memiliki salah satu anggota yang terjangkit atau terpapar. Kondisi psikis mereka pastinya akan lebih tertekan yang disebabkan oleh ujaran kebencian yang dilontarkan tetangga rumah. Hal ini dapat mengakibatkan kondisi psikis masyarakat semakin kacau, mengalami trauma hebat, dan bahkan ada yang terpaksa mengakhiri hidup karena tidak dapat bertahan menghadapi pandemi sendirian.
Oleh karena itu, kita sebagai umat manusia yang sosial sudah sepatutnya kembali merefleksi diri masing-masing untuk bahu-membahu melawan Covid-19. Dengan saling percaya, menaati aturan dengan baik dan benar, peduli terhadap sesama, dan menguatkan mental akan mengubah semua hal menjadi positif dan kebahagiaan yang dipastikan dapat mengakhiri pandemi yang telah memecah belah banyak pihak. Ditambah lagi dukungan yang sehat secara psikis dapat kita berikan kepada pasien dan keluarganya agar mampu menurunkan tensi dan rasa panik mereka dalam menghadapi pandemi ini.
Oleh: Sofia Hamida (Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris Semester 3, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga)