Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo berencana akan membangun sebuah terowongan yang menghubungkan dua tempat ibadah dari agama Katolik dan Islam, yakni Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal. Rencana pembangunan terowongan ini berdasarkan usulan dari beberapa pihak. Terowongan ini nantinya diharapkan sebagai bentuk simbol toleransi dan kerukunan umat beragama di Indonesia.

Wacana mengenai pembangunan terowongan silaturahmi ini menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Banyak masyarakat yang mendukung pembangunan infrastruktur 'toleransi' tersebut sebagai ikon toleransi dan juga sebagai bentuk pembumian dari nilai-nilai toleransi di Indonesia. Namun, ada juga yang tidak sependapat dengan pembangunan terowongan tersebut. Tidak sedikit orang berpendapat bahwa pembangunan terowongan yang terlihat secara fisik tidak akan serta-merta dapat menyelesaikan kasus-kasus intoleransi yang masih saja terjadi di Indonesia dan juga tidak ada keharusan yang mendesak (urgensi) dalam membangun terowongan tersebut.

Saya berpendapat bahwa wacana pembangunan terowongan ini kurang tepat dikarenakan pembangunan infrastruktur secara sosiallah dengan cara saling menghargai dan hidup rukun antar umat beragama yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Kemudian juga masih banyak kasus intoleransi yang harus sesegera mungkin diselesaikan pemerintah ketimbang membangun terowongan tersebut. Sebut saja kasus intoleransi yang menimpa warga Syiah dan Ahmadiyah di Depok, pelarangan mendirikan tempat ibadah Pura di Bekasi, hingga yang terbaru penolakan pembangunan Gereja Santo Joseph di Karimun dan juga masih banyak kasus lain yang belum terselesaikan. Tentu pemerintah harus sesegera mungkin turun tangan dalam menyelesaikan perkara tersebut karena perkara intoleransi merupakan pelanggaran Hak Warga Negara dalam kehidupan beragama.

Berdasarkan data dari Imparsial menyatakan bahwa selama tahun 2019 terdapat 31 perkara mengenai intoleransi di mana perkara mengenai penolakan pembangunan rumah ibadah masih mendominasi kasus intoleransi kemudian disusul pembubaran pelaksanaan ibadah keagamaan. Tentu data ini menjadi catatan penting dan pekerjaan rumah bagi Pemerintah Pusat dalam bagaimana membuat suatu kebijakan untuk menyelesaikan perkara intoleransi sehingga kejadian serupa di masa yang akan datang dapat diminimalisir. Dalam menjalankan kebijakan tersebut diperlukan keterlibatan aktif dari berbagai pihak seperti masyarakat, pihak keamanan dalam hal ini kepolisian, dan media sebagai sumber informasi.

Dengan demikian wacana pembangunan terowongan yang menghubungkan Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal tersebut besar harapannya dapat ditinjau kembali oleh Pemerintah Pusat. Apakah memang penting dibangun terowongan 'toleransi' di tengah maraknya kasus intoleransi di Indonesia?

Diharapkan Pemerintah Pusat dapat melihat bahwa penanganan kasus intoleransi tidak semata-mata selesai dengan adanya terowongan tersebut. Apabila memang Pemerintah akan tetap melanjutkan pembangunan terowongan ini diharapkan hal ini tidak hanya sekadar strategi politik saja, melainkan pembangunan terowongan tersebut juga harus diiringi tindakan nyata dari pemerintah dalam menangani perkara intoleransi.