×
Sign in

Hello There

Sign In to Brilio

Welcome to our Community Page, a place where you can create and share your content with rest of the world

  Connect with Facebook   Connect with Google
Perwujudan relaksasi kredit yang kontradiktif bagi sebagian pihak

0

Ekonomi

Perwujudan relaksasi kredit yang kontradiktif bagi sebagian pihak

Foto: commons.m.wikimedia.org/wiki/File:OJK.jpg

Keadaan selama pandemi Covid-19 membuat adanya perwujudan kebijakan yang menuai pro kontra.

Disclaimer

Artikel ini merupakan tulisan pembaca Brilio.net. Penggunaan konten milik pihak lain sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Silakan klik link ini untuk membaca syarat dan ketentuan creator.brilio.net. Jika keberatan dengan tulisan yang dimuat di Brilio Creator, silakan kontak redaksi melalui e-mail redaksi@brilio.net

Bintang Azzahra

02 / 07 / 2020 11:12

Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19 sejak awalan tahun 2020. Tentu saja, kebijakan dan imbauan telah diluncurkan oleh pemerintah untuk penyesuaian. Tak terhindarkan, pemerintah juga memberikan penyesuaian kebijakan di sektor perbankan. Sektor perbankan ini punya peranan yang menjadi aspek penting dalam mendorong kegiatan ekonomi masyarakat sehingga mampu bertahan dalam pandemi ini.

Pemerintah menerapkan kebijakan relaksasi kredit sebagai bentuk bantuan bagi para debitur yang punya kesulitan untuk membayar kewajiban bank karena adanya efek dari penyebaran virus Corona ini. Relaksasi kredit yang disebut sebagai sebuah stimulus perekonomian nasional ini diharapkan baik sektor perbankan maupun masyarakat mampu bertahan sambil menunggu pandemi berakhir. Walaupun begitu, penerapan kebijakan relaksasi kredit mungkin menuai pro dan kontra bagi sebagian pihak.

Kebijakan relaksasi kredit ini terlalu memberatkan bagi pihak perbankan dikarenakan bank harus memberikan keringanan bagi para debiturnya tanpa ada bantuan atau suntikan dari pemerintah atau setidaknya sampai saat ini belum. Apalagi bank swasta dengan modal dan kas terbatas tentu sangat sulit untuk bertahan selama pandemi ini terhadap peningkatan pinjaman serta risiko kredit macetnya. Selain itu, para debitur terutama di lembaga jasa keuangan swasta ternyata memiliki kesulitan dalam mendapatkan relaksasi kredit yang telah diatur oleh pemerintah.

Nyatanya, persetujuan terkait relaksasi kredit di perbankan hanya berlaku bagi bank kepemilikan negara, bank BRI misalnya. Masyarakat sebagai debitur yang telah meminjam ke bank swasta pun harus mengalami kendala seperti perlambatan administrasi dan kesempatan yang lebih besar untuk ditolaknya relaksasi kredit ini oleh pihak bank swasta.

Menurut saya, seharusnya pemerintah lebih turut ikut andil terhadap kebijakan relaksasi kredit. Bila tidak, maka hal ini hanya memberatkan kepada pihak bank yang memberikan keringanan tanpa ada bantuan secara langsung dari pemerintah. Kemungkinan besar untuk kredit macet pun juga ada dan ini bisa menjadi ancaman terhadap likuiditas bank dan keberlangsungan nama baik bank itu sendiri karena apabila nasabah yang menyimpan uangnya di bank tersebut kemudian mengetahui bahwa bank mengalami kemacetan sehingga uang mereka harus tertahan dan tidak dapat ditarik hal demikian akan menurunkan kepercayaan nasabah atau penurunan citra bank itu sendiri.

Loading...

Calon debitur juga mengalami kesulitan karena tidak adanya perlakuan adil terhadap mereka. Pasalnya, dengan terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus perekonomian akibat dampak penyebaran virus Corona yang baru bersifat imbauan saja tanpa menyampaikan teknis pelaksanaan kebijakannya lebih detail membuat pihak perbankan merasa goyah untuk melaksanakan restrukturisasi kredit seperti yang tertulis pada POJK tersebut.

Dengan adanya keterbatasan cadangan modal dan kas dari pihak perbankan untuk menjaga tingkat likuiditasnya serta untuk tetap mewujudkan restrukturisasi kredit bagi masyarakat terdampak Covid-19, mengharuskan pihak perbankan untuk lebih teliti dalam menyeleksi calon debiturnya berdasarkan kriteria 5C, yakni character, capacity, capital, collateral, dan condition.

1. Character.

Berupa penilaian atas karakter dan itikad baik calon debitur sehingga dalam kondisi apa pun debitur akan berusaha melunasi kreditnya.

2. Capacity.

Berupa penilaian atas kecakapan debitur dalam mengelola kekayaannya sehingga perbankan yakin debitur mampu secara materi untuk melunasi kreditnya.

3. Capital.

Penilaian atas dari mana saja sumber dana yang dimiliki debitur untuk menjalani usahanya dan bagaimana debitur mengelola modal tersebut.

4. Collateral.

Penilaian sebagai nilai tambah debitur karena memberikan agunan atas kredit yang akan diajukannya dengan minimal sejumlah dengan nilai kreditnya sehingga dapat mengurangi kerugian dari pihak perbankan apabila debitur mengalami kredit macet.

5. Condition.

Penilaian atas keadaan ekonomi yang kemungkinan dapat terjadi di masa depan pada jenis sektor ekonomi yang akan diajukan kreditnya oleh debitur apakah ke depannya sektor ekonomi tersebut memiliki potensi meningkat atau justru lesu.

Berdasarkan kriteria 5C tersebut, jika diberikan ilustrasi terhadap dua orang calon debitur yang akan mengajukan kredit sejumlah sama di mana yang satu merupakan orang menengah yang memiliki pengalaman dan track record baik sementara orang kedua merupakan pengusaha kecil dengan pengalaman kredit minim tanpa adanya insentif pemerintah, dengan kondisi seperti itu bank mungkin akan memilih calon debitur dengan risiko kecil yaitu pengusaha satu. Sementara saat pandemi Covid-19 yang paling membutuhkan kredit pastinya adalah orang-orang atau pengusaha kecil agar usahanya dapat bertahan akibat penurunan permintaan agregat. Namun hal ini memberatkan bank karena besar risiko terjadi kredit macet dan mengancam likuiditasnya serta para nasabah yang menempatkan uangnya di bank tersebut.

Jadi yang dikhawatirkan adalah tidak tepatnya target atau sasaran pemberian relaksasi kredit seperti yang dituang dalam peraturan OJK No.11/2020 apabila tidak didampingi insentif untuk melindungi perbankan. Yang mendapat lebih banyak manfaat mungkin justru orang menengah seperti yg digambarkan ilustrasi satu. Bank yang dapat menjalankan kebijakan restrukturisasi kredit tersebut tentu bank yang memiliki tingkat nilai CAR-nya berada dalam rentang seperti yang sudah ditetapkan oleh BI agar likuidasinya aman.

Perlu ada kerja sama yang dibangun antara perbankan dan calon debitur yang akan mengajukan relaksasi kredit agar dapat tetap mewujudkan per-OJK tersebut. Yakni adanya komitmen dari debitur untuk sebisa mungkin menghindari kemacetan kredit setelah diberikan relaksasi sebagaimana tercantum dalam per-OJK.

Adapun sejumlah cara yang dapat dilakukan debitur jika terkendala kredit macet. Pertama, mereka harus melakukan pengecekan mandiri atas jumlah kreditnya serta jumlah cicilan yang telah dilunasi dan sisa pinjaman yang belum terlunasi perhatikan juga metode yang digunakan bank apakah menggunakan sliding rate, flat rate, atau float rate dengan meminta informasi debitur ke kantor OJK atau cek status debitur di Bank Indonesia. Kemudian bandingkan dengan data yang ada pada bank tempat kita melakukan kredit.

Setelah itu lakukan pengecekan jenis kredit kita apakah kredit dengan agunan atau tanpa agunan. Apabila didapati kreditnya adalah kredit tanpa agunan, tentu kita dapat lebih mudah melakukan negoisasi dengan pihak perbankan.

Terakhir adalah tentu saja untuk menghindari pihak-pihak di luar perbankan yang mungkin menawarkan bantuan secara instan. Hal ini mendorong relaksasi kredit untuk lebih menguntungkan bagi seluruh pihak yang terkait, bukan hanya salah satu pihak yang bisa menikmati adanya kebijakan relaksasi kredit selama pandemi Covid-19 belum berakhir.

Oleh: Bintang Azzahra (Mahasiswa PKN STAN)





Pilih Reaksi Kamu
  • Senang

    0%

  • Ngakak!

    0%

  • Wow!

    0%

  • Sedih

    0%

  • Marah

    0%

  • Love

    0%

Loading...

RECOMMENDED VIDEO

Wave white

Subscribe ke akun YouTube Brilio untuk tetap ter-update dengan konten kegemaran Milenial lainnya

-->
MORE
Wave red