Apa yang dimaksud dengan power atau kekuasaan? Menurut McShane & Glinow (2010) power atau kekuasaan adalah kemampuan seseorang, tim, atau organisasi untuk memengaruhi orang lain. Di dalam bahasa yang sangat sederhana, bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk memengaruhi orang lain yang terdapat dalam berbagai lini kehidupan, baik dalam kehidupan komunal maupun dalam kehidupan pribadi. Kekuasaan menurut Max Weber (dalam Safriani, 2017) bahwa kekuasaan adalah kemampuan di dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemampuan ini. Harold D. Laswell & Abraham Kaplan (dalam Safriani, 2017) mengatakan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama.

Kekuasaan merupakan kuasa untuk mengurus kesanggupan, kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain supaya terciptanya keadilan dan mencegah pelanggaran keadilan. Namun di dalam kekuasaan tersebut banyak disalahgunakan untuk mencari kekayaan. Sehingga banyak penguasa mencari kekayaan tersebut dengan berbagai cara, termasuk menggunakan kekuasaan yang telah diamanahkan rakyat kepadanya. Menurut Yodanto & Dewi (2017) bahwa korupsi dan kekuasaan saling berhubungan. Hal ini tidak hanya terjadi di negara Indonesia, akan tetapi di berbagai negara di dunia. Kekuasaan adalah alat untuk memengaruhi seseorang. Semakin besar kekuasaan, maka akan semakin besar ambisi untuk memperbesar pengaruhnya. Selain itu tidak jarang terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat negara. Penyalahgunaan kekuasaan yang sering terjadi ialah korupsi (Ardi & Wahyuningsih, 2017).

Korupsi dapat diartikan sebagai perbuatan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang yang merugikan masyarakat luas yang dilakukan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Atau secara hukum pidana diartikan sebagai bentuk tertentu dari kejahatan. Selain itu korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan dari pejabat publik atau pihak lain yang berhubungan dengan mereka, yang bertentangan dengan moral, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan hukum, untuk memperkaya diri demi keuntungan pribadi (Gunawan, 2017).

Kasus yang sedang terjadi di Indonesia adalah kasus E-KTP. Melihat adanya dugaan nama-nama politisi dan mantan pejabat yang terseret dalam kasus E-KTP ini, maka dapat kita pahami bahwa kekuasaan memiliki potensi besar untuk disalahgunakan. Sebagaimana pendapat Robert Klitgaard (dalam Purbolaksono, 2017) yang menyatakan bahwa korupsi bisa berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Senada dengan Klitgaard, H. A. Brasz sebagaimana dikutip oleh Mochtar Lubis dan James C Scott menyatakan korupsisebagaipenggunaan yang korup dari kekuasaan yang dialihkan, atau sebagai penggunaan secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan-tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu dengan sah (Purbolaksono, 2017). Selain itu penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara dalam kasus E-KTP dapat dikatakan sebagai praktik korupsi politik. Korupsi politik secara sederhana dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dalam pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Pejabat negara yang terlibat dalam korupsi politik biasanya menggunakan kewenangan yang ada di tangannya untuk mendapatkan keuntungan, baik material maupun non material (Purbolaksono, 2017).

Penyalahgunaan kekuasaan perlu diukur dengan membuktikan secara faktual bahwa seorang pejabat telah menggunakan kekuasaannya untuk tujuan lain atau tidak. Harus dapat dibuktikan juga bahwa terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dilakukan secara sadar dengan mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada kekuasaan itu (bukan karena kealpaan). Pengalihan tujuan tersebut didasarkan atas interest pribadi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain (Rahmawati, 2017). Selain itu pemerintah harus tegas dalam menghadapi kasus korupsi. Pemerintah seharusnya menerapkan hukuman mati terhadap pelaku korupsi, karena jika hal itu terjadi dan diterapkan, pelaku akan memikirkan terlebih dahulu untuk melakukan korupsi atau tidaknya. Jika pemerintah tidak menerapkan hukuman tersebut, individu yang mempunyai kekuasaan yang tinggi akan menyalahgunakan kekuasaan tersebut untuk melakukan korupsi.