Jagad Twitter sempat ramai dengan tagar #BupatiKlatenMemalukan menghiasi laman Trending Topic.Puluhan ribu kicauan dibuat untuk mengangkat tagar ini. Jika dilihat, sentimen negatif ini kebanyakan adalah warga Klaten. Mereka juga menghiasi kicauannya dengan bukti-bukti beredarnya foto sang bupati di hampir seluruh elemen kehidupannya.

Kebanyakan orang geram karena foto-foto itu banyak diletakkan di berbagai hal yang berkaitan dengan pandemi. Menurut mereka, hal ini adalah usaha tidak etis untuk kembali melanggengkan kuasa pada periode berikutnya.Tapi, apakah yang ia lakukan keliru? Coba kita tengok dari perspektif Ilmu Komunikasi.

Teori personal branding.

Dalam ranah Ilmu Komunikasi, apa yang dilakukan oleh Bupati Klaten adalah contoh dari personal branding.Menurut Montoya (2006) personal branding adalah seni untuk menarik serta mengusahakan lebih banyak klien dengan cara membentuk persepsi publik secara aktif. Kalau dalam kasus pejabat publik yang membutuhkan suara dalam pemilihan umum, maka 'klien' yang harus dibuat tertarik adalah pemilik hak suara.

Ada konsep lain yang diutarakan oleh Parengkuan dan Becky (2014). Menurutnya,personal branding adalah kesan yang berkaitan dengan keahlian, perilaku, maupun prestasi yang dibangun oleh seseorang baik secara sengaja maupun tidak sengaja dengan tujuan untuk menampilkan citra dirinya. Jadi, personal branding yang dilakukan adalah usaha yang memang dilakukan supaya diingat oleh orang lain.

Sebenarnya, usaha personal branding tidak hanya dilakukan oleh pejabat publik. Kamu yang sedang membaca ini pun secara sadar atau tidak, telah melakukannya. Caranya? Melalui unggahan di media sosial ataupun cara kamu berbicara atau berpakaian.

Semua aspek dalam kehidupanmu sangat mungkin menjadi penyokong personal branding kamu. Sehingga membuat orang-orang mengingat hal yang memang kamu inginkan.

Contohnya saat kamu gemar memasang hasil masakanmu, maka kemungkinannya penonton setia akan berpikir kamu adalah seorang ahli memasak. Atau kamu gemar memilih diksi yang jarang didengar oleh orang lain, 'terdengar pintar' adalah responnya karena pilihan kata yang terasa mengintimidasi. Ya, walaupun dalam usaha itu tetap ada saja publik yang tidak terpengaruh. Namanya juga usaha.

Penerapan personal branding oleh pejabat publik.

Lalu, bagaimana dengan para tokoh masyarakat atau pejabat publik yang menerapkannya?Apakah salah?

Tidak ada yang salah dengan personal branding. Malah, dibutuhkan. Kamu membutuhkan personal branding untuk membuat dan mempertahankan reputasimu.

Namun, sering kali personal branding yang dilakukan oleh tokoh masyarakat atau pejabat publik justru dianggap negatif. Asalnya, usaha personal branding yang berlebihan hanya dari gambar dan laporan kegiatan. Banyak yang kecewa sebab nyatanya banyak yang justru terlibat kasus korupsi atau mengabaikan isu akar rumput di balik foto dan cerita.

Sulit menakar siapa yang memulai. Namun jika melihat ke belakang, di Indonesia sejak pemilihan umum langsung dilakukan, masyarakat dibombardir dengan spanduk dan merchandise foto diri kandidat.Hal ini kemudian berlanjut saat mereka terpilih. Semacam menjadi standar bahwa apa pun pesan dan saluran komunikasinya, foto terbaik harus menyertai.

Sayangnya, isi pesan yang bermanfaat sering kali justru dilihat sinis. Isi pesan dan foto diri pejabat publik terkadang tidak ada hubungannya.Ditambah lagi saat situasi krisis saat pandemi begini. Posisi pejabat publik yang memang sudah wajib untuk mengayomi masyarakatnya justru memanfaatkan sebagai kampanye terselubung. Wajar saja publik gerah.

Usaha personal branding sudah melebihi batas wajar, bahkan menabrak tugas utamanya sebagai pejabat publik.Maka, ibarat minum obat, personal branding memang dianjurkan, namun overdosis tidak akan memberi hasil yang baik.