Selama menjajah Nusantara, Raffles ternyata juga mengambil dokumen-dokumen kebudayaan untuk dibawa ke negaranya. Diduga jumlahnya mencapai ribuan, termasuk di antaranya dokumen-dokumen milik Keraton Yogyakarta.

Dari ribuan naskah kuno dan manuskrip milik Keraton Yogyakarta yang dibawa Raffles, sampai saat ini baru 75 naskah yang berhasil dibawa kembali ke Yogyakarta. Itu pun dalam bentuk file digital, bukan naskah asli.

Berdasarkan manuskrip tersebut, pihak Keraton Yogyakarta kemudian melakukan pengkajian dan terjemah ulang dengan melibatkan pakar budaya Jawa. Pengkajian ini berhasil mengungkap sejumlah karya seni luar biasa dari para pendiri Keraton Yogyakarta. Karya-karya tersebut antara lain adalah Sendratari Jayeng Rana Jumeneng Nata dan Beksan Lawung Ringgit yang tahun ini untuk pertama kalinya dipentaskan kepada publik.

Kedua tarian tersebut tahun ini dipentaskan untuk pertama kalinya sebagai bagian dari peringatan Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X yang ke-31 (berdasarkan hitungan Kalender Masehi) atau ke-32 (berdasarkan hitungan kalender Jawa).

Sehubungan dengan hal tersebut, Sri Sultan HB X mengatakan jika pengkajian ulang dokumen-dokumen atau manuskrip kuno tersebut dimaksudkan sebagai sarana edukasi terhadap kekayaan karya seni dan budaya leluhur. Oleh karena itu, sejak beberapa tahun lalu pihak Keraton membuka kesempatan kepada publik, khususnya kaum millenial untuk mempelajari kebudayaan Jawa, khususnya yang berhubungan dengan seni budaya Keraton Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta kaji ulang manuskrip kuno sebagai sarana edukasi

Sri Sultan HB X / Foto: Sulistyawan

"Budaya itu dinamis bukan stagnan. Berarti apa? (Budaya itu) Berubah menurut penafsiran generasinya. Jadi, bagi saya tidak terlalu takut menghadapi anak-anak muda yang mengenal teknologi, akan kehilangan jati dirinya." Ujar Sultan kepada sejumlah wartawan di Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Senin (9/3/2020).

Ditegaskan Sultan, sepanjang para orang tua bisa mendekatkan tradisi budaya ini dengan dialog budaya, maka para orang tua tak perlu takut dengan adanya perkembangan teknologi tersebut. Justru sebaliknya, para orang tua melakukan dialog dengan kaum muda.

"Mungkin (kemudian akan terjadi) akulturasi, perubahan-perubahan di dalam konteks tersebut sesuai tantangan zamannya." Ujar Sultan.

Dalam hal ini Sultan menegaskan bahwa melalui agenda-agenda budaya yang rutin diselenggarakan, Keraton hanya mencoba memperkenalkan dan menjelaskan mengenai kekayaan budaya Jawa, khususnya kebudayaan Keraton yang merupakan bagian dari budaya Jawa. Harapannya, melalui pengenalan budaya ini nantinya dapat diikuti oleh kaum muda sebagai pewaris generasi dan budaya bangsa. (*/sulistyawan)