Budaya feodal adalah budaya yang tertanam lama di bumi Nusantara. Sistem kerajaan yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat, membentuk sikap feodal. Sejarah panjang itu yang melahirkan sikap penghormatan yang tinggi kepada pemegang kekuasaan.

Kehadiran pemerintah Hindia-Belanda semakin memperkuat sikap feodal itu. Mereka menggunakan budaya itu untuk memperlemah kekuatan bangsa. Struktur masyarakat secara sengaja dipecah menjadi priyai dan masyarakat biasa.

Mereka yang dimaksudkan ke dalam kelompok priyai mendapatkan banyak hak istimewa. Itulah yang kemudian melahirkan pandangan power is privilege. Karena kekuasaan adalah hak istimewa, mereka mencoba mempertahankan status itu dengan berbagai cara. Termasuk dengan menghamba kepada pemberi kekuasaan dan menekan kepada mereka yang berada di bawah.

Kemerdekaan 17 Agustus 1945 membawa semangat perubahan, termasuk dalam melihat kekuasaan. Para pendiri bangsa banyak dipengaruhi pemikiran bangsa Prancis dengan semboyannyafraternite, egalite, liberte.

Bung Hatta merupakan simbol kuat dari perubahan itu. Ia menolak pemberian dari Sultan Hamengkubuwono IX untuk kebutuhan dirinya sebagai wakil presiden pertama Republik Indonesia. Bung Hatta berpandangan, kesahajaan merupakan bagian dari risiko jabatan yang ia terima.

Sultan Hamengkubuwono IX pun rela melepaskan hak istimewa sebagai Raja Yogyakarta demi bergabung dengan Republik. Bahkan Sultan Hamengkubuwono IX secara terbuka menyerahkan takhtanya untuk rakyat. Ia dicintai rakyat Yogyakarta karena selalu berbaur dengan kehidupan rakyatnya.

Indonesia sangat membutuhkan simbol kesederhanaan dari para pemimpinnya. Itulah yang akan bisa menghapuskan pandangan bahwa kekuasaan adalah hak istimewa.

Para pemimpin besar dunia menanamkan sikap yang sama kepada rakyatnya. Bapak Bangsa India, Mahatma Gandhi melepas simbol kebaratan yang melekat pada dirinya ketika memperjuangkan kemerdekaan India. Ia rela untuk hidup dengan segala keterbatasan, padahal sebagai seorang sarjana Hukum lulusan Inggris, Gandhi dapat hidup lebih nyaman.

Asketisme Gandhi tertanam kuat pada rakyat India. Para pemimpin India tidak berani untuk hidup bermewah-mewahan. Mereka tahu menjadi pejabat adalah pengabdian, bukan untuk mendapatkan keistimewaan. Ketika ada pejabat India yang keluar dari nilai-nilai itu, maka sikap hidup Gandhi akan mengingatkan mereka.

Sikap asketis yang dijalankan Bung Hatta sayangnya tidak tertanam kuat pada bangsa Indonesia. Kita tidak mencoba untuk menggaungkan teladan Bung Hatta sebagai sikap hidup yang harus dijalankan. Padahal sepanjang hidupnya, Bung Hatta memisahkan secara jelas mana yang merupakan dinas negara dan mana yang kepentingan pribadi. Bung Hatta memilih menabung sen demi sen untuk bisa membeli sepatu kesukaannya daripada dibelikan oleh orang lain.

Di era gaya hidup seperti sekarang, godaan untuk hidup bermewah-mewahan harus kita akui begitu kuatnya. Ketika kita sekadar mengejar gaya hidup dan lupa untuk bekerja keras terlebih dahulu, maka kita mudah untuk menjadi gelap mata.

Nilai-nilai yang baik pun perlahan-lahan tersisihkan. Buya Syafii Maarif dan Romo Franz Magnis Suseno melihat bangsa ini terlalu menjadikan materi sebagai dewa. Yang lebih ironis banyak pejabat negara yang terjebak dalam pandangan hedonis.

Itulah yang akhirnya melahirkan maraknya praktik korupsi. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kita sepakat untuk diperangi pada awal reformasi, justru semakin menjadi-jadi. Semua itu terjadi karena semakin kuatnya pemahaman bahwa kekuasaan itu adalah hak istimewa.