Membicarakan tentang kualitas guru di Tanah Air seolah sudah menjadi hal yang membosankan, berkali-kali dilakukan perombakan kebijakan pemerintah dalam sektor pendidikan. Namun hal tersebut dirasa tidak pernah cukup bagi masyarakat, terutama kalangan yang memiliki hak untuk menerima ilmu atau para siswa itu sendiri. Seolah kebijakan atau aturan pemerintah yang berlaku tidak pernah cukup atau sesuai dengan kebutuhan siswa. Oleh karena itu sudah bukanlah hal yang baru jika kita memperhatikan keluhan-keluhan klasik dari siswa-siswi yang masih duduk di bangku sekolah baik dasar, menengah, dan atau tinggi mengenai cara atau metode mengajar guru di sekolah yang terbilang membosankan dan tidak memberikan efek banyak kepada siswa seperti yang mereka harapkan dan mengakibatkan rasa jenuh atau bosan di kelas.

Kinerja dan kompetensi pengajar yaitu guru memikul tanggung jawab utama dalam transformasi siswa dari ketidaktahuan menjadi tahu, ketergantungan menjadi mandiri, tidak terampil menjadi terampil, dengan metode pembelajaran bukan lagi bertujuan mempersiapkan peserta didik ke jenjang berikutnya, melainkan peserta didik atau siswa berpengetahuan yang mampu menyerap dan menyesuaikan diri dengan informasi baru dengan berpikir, bertanya, menggali, mencipta dan mengembangkan cara tertentu dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupannya.

Proses belajar mengajar yang berlangsung di kelas akan berjalan dengan baik apabila terjadi interaksi yang optimal antara siswa dan guru dalam rangka mencapai suatu tujuan pembelajaran (Yulianingsih & Gaol, 2019). Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, guru perlu memilih metode pembelajaran yang sesuai dan efisien (Pasaribu, Hasratuddin, Armanto, 2019). Namun realita selalu diluar ekspektasi dan apa yang menjadi seharusnya yang kemudian mengarah pada kejenuhan, minimnya fokus dan atensi, kemudian ketidakefektifan proses belajar mengajar itu sendiri yang menjadi fokus utama guru.

Salah satu kesalahan dalam proses pembelajaran adalah kesalahan pemilihan metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru, sehingga tidak tersampaikannya materi pembelajaran dengan baik (Irawan, Handoko, Adriantatri, Wibowo, Pranoto, 2019). Seperti metode pengajaran yang hingga saat ini masih digunakan oleh guru-guru di Tanah Air yang terlalu berorientasi dengan akademik, dan cara pengajaran yang seperti inilah yang disebut dengan direct instruction.

Direct instruction adalah pendekatan pengajar yang sangat terstruktur, teacher-centered atau berpusat pada pengajar atau guru, serta berfokus pada aktivitas akademik (Santrock, 2011). Pendekatan ini bercirikan dengan tingginya arahan, kontrol, dan perintah dari guru, ekspektasi tinggi pada progres performa siswa, dan minimnya perhatian akan aspek-aspek lain dalam proses pengajaran yang diluar akademik seperti personal concern siswa itu sendiri (Santrock, 2011). Pengajar yang menggunakan pendekatan ini tentunya memiliki goal untuk memaksimalkan waktu pembelajaran akademik tanpa memperhatikan efektifitas metode tersebut bagi pelajar.

Sering kita dapati di mana pengajar memberikan ceramah secara teoritis, memberikan tugas, kemudian memberikan tes akhir di mana hal ini akan terulang secara terus menerus. Siswa diperlakukan secara kaku dan monoton namun juga mendapat tekanan bahwa mereka harus menunjukkan level performa yang tinggi secara bersamaan. Sedangkan untuk melahirkan individu-individu terpelajar yang berkualitas tentunya membutuhkan lebih dari itu dan penyesuaian akan kebutuhan pelajar guna menggapai tujuan pembelajaran itu sendiri.

Pengajar mempunyai posisi kunci yang strategis dalam menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan untuk siswa agar dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal (Alaa, Qomariyah, Wirawan, Angraini, Syamsuddin, Sukrisna, 2019). Namun sebagai fasilitator, guru harus memiliki keahlian dalam membuat, merancang, ataupun mendesain sendiri proses pembelajaran yang akan mereka lakukan di kelas. Mulai dari perangkat pembelajaran sampai dengan media pembelajaran yang sesuai untuk mendukung kualitas pembelajaran yang akan ditetapkan (Alaa, Qomariyah, Wirawan, Angraini, Syamsuddin, Sukrisna, 2019).

Oleh karena itu tugas pengajar sangat besar, yaitu untuk membalikkan keadaan yang membosankan itu menjadi suasana yang menyenangkan sehingga siswa memiliki minat belajar dan antusiasme di kelas. Untuk itu guru harus memiliki keterampilan yang diperlukan untuk memastikan proses belajar dan pentrasferan ilmu di kelas bukan saja berjalan lancar tetapi juga menyenangkan. Maka tentunya dibutuhkan cara atau metode mengajar yang menyenangkan, flexible, namun tidak keluar dari konteks pembelajaran.

Pertama, seorang guru harus mampu memahami murid sebelum memberikan perlakuan yang tepat untuk mereka. Ketahuilah lebih dahulu kemampuan atau kapasitas mereka dalam menyerap ilmu, ketahui apa yang mereka butuhkan. Sesuaikanlah cara mengajar dari apa yang dirasa cocok untuk mereka karena belum tentu metode yang biasa dilakukan akan berjalan efektif dan sesuai harapan.

Berikutnya, guru harus mampu menyeimbangkan waktu serius dan bercanda pada saat mengajar. Mengingat peserta didik atau siswa akan mengunci atensi pada guru apabila menggunakan humor sebagai penarik perhatian dalam pembelajaran namun tetap memastikan bahwa guyonan tetap sejalan dengan materi. Kemudian guru yang baik harus mampu menjelaskan langkah demi langkah hingga muridnya benar-benar paham. Tidak hanya menjelaskan langkah demi langkah dari sebuah prosedur untuk melakukan sebuah tugas atau sesederhana menghafalkan sebuah materi, namun juga menekankan step-step dengan kata kunci untuk tiap poinnya guna mempermudah siswa untuk mengingat.

Terakhir, pastikan guru melakukan aktivitas-aktivitas di luar rutin setiap minggu atau setiap pergantian materi yang berisi sebuah permainan, project, atau kunjungan ke lapangan dengan memberikan tugas untuk mereka kerjakan sembari pelaksanaan aktivitas tersebut. Bentuk aktivitas menjadi kebebasan guru, namun dibentuknya atau diadakannya sesuatu yang berbeda bertujuan agar siswa ikut mengalami langsung dalam proses pembelajaran sehingga tidak satu arah hanya dari guru. Selain itu, pengalaman tersebut tidak hanya akan menjadi sebuah pelajaran dan penambah wawasan baru, namun juga menjadi pengalaman menyenangkan dan menantang namun tetap menyenangkan yang tentunya akan meninggalkan kesan positif yang bebas dari kejenuhan dan monoton.

Cara-cara tersebut tidak membataskan guru dalam melakukan eksplorasi dalam memahami siswanya guna menentukan pendekatan mana yang dirasa tepat dan efektif, sehingga menguntungkan kedua belah pihak. Sebab meninggalkan kesan positif dan menghilangkan kejenuhan atau rasa bosan akibat aktivitas kelas yang monoton dan teacher-centered seperti yang masih menjadi budaya di Tanah Air bagi siswa dan juga menambah pengalaman mengajar yang membuahkan hasil, mampu menggapai tujuan pembelajaran, dan efektif bagi guru.