Apakah yang dapat menyatukan kita?

Salah satunya dengan musik

Dangdut is the music of my country, my country oh my country

Yang dilantunkan Project Pop itu memang benar. Dangdut adalah musik khas Indonesia. Indonesia adalah rumah bagi dangdut. Sayang, dangdut belum sepenuhnya mendapat tempat di rumahnya sendiri. Masih ada warga Indonesia yang mencap dangdut sebagai musik rendahan alias kampungan.

Alasan pertama dangdut dicap musik kampungan adalah karena sebagian besar penikmatnya berasal dari kalangan bawah. Mengutip pemberitaan Kompas, Minggu (22/4/2018), mendengarkan musik dangdut merupakan cara masyarakat kelas bawah untuk menemukan kegembiraan di tengah tekanan kemiskinan. Tidak mungkin mereka mengekspresikan diri dengan musik modern, seperti pop, jazz, atau blues. Terlalu jauh. Mereka tidak paham. Dangdut adalah satu-satunya musik yang dekat dengan mereka sebab dangdut lahir dari dalam masyarakat. Demikian yang dikatakan Butet Kartaredjasa, tim kreatif dalam lakon Princess Pantura, sebuah lakon yang menceritakan kisah pedangdut keliling dari pantura Jawa.

Presiden keempat Republik Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berpesan kepada Inayah Wahid, jika ingin mengetahui kehidupan masyarakat kelas bawah, dengarkanlah dangdut. Lirik lagu dangdut merefleksikan aspek-aspek kehidupan mereka, seperti kemiskinan, penderitaan, impian, dan tentunya percintaan.

Dominasi penikmat dangdut yang berasal dari kelas bawah tidak bisa dijadikan alasan untuk mencapnya sebagai musik kampungan. Jika kita mau berpikiran luas, kita bisa melihat dangdut sebagai musik yang berkualitas, tidak kalah dengan musik modern.

Ingat lagu Hampa Hatiku dari Ungu? Dalam lagu tersebut, Ungu yang merupakan band beraliran pop memasukkan unsur dangdut dengan menggandeng Iis Dahlia. Kalau ingin tarik mundur lagi, sembilan tahun lalu kita pernah dihibur Hikayat Cinta yang dinyanyikan Glenn Fredly, musisi pop dan Dewi Persik, musisi dangdut.

Zaman sekarang, ada lagu dangdut populer Sayang yang juga memasukkan unsur musik modern di dalamnya. Dalam lagu tersebut, Via Vallen nge-rap menggunakan bahasa Jawa. Dan, masih segar di ingatan kita ketika ia membawakan lagu tersebut sambil berduet dengan Boy William pada perayaan ulang tahun TV swasta nasional. Via asyik berdangdut, sedangkan Boy asyik nge-rap Flying Money. Duet yang apik. Penampilan Via dan Boy saat itu menjadi trending topic di Twitter serta YouTube.

Ini bukti dangdut (bukan) musik kampungan

Keempat contoh di atas adalah bukti bahwa tidak ada lagi sekat antara dangdut dan genre musik lain. Dangdut yang dianggap musik kampungan bisa dipadukan dengan musik modern dan terbukti menghasilkan musik berkualitas yang enak didengar. Perpaduan dangdut dan musik modern membuat orang dari berbagai kalangan bisa ikut menikmatinya, baik kalangan bawah sebagai penggemar dangdut maupun kalangan atas sebagai penggemar musik modern.

Bukti lain yang menunjukkan dangdut bisa menyatu dengan genre musik lain ialah pernah diselenggarakannya kompetisi menyanyi dangdut bagi penyanyi non-dangdut. Peserta dari kompetisi yang diselenggarakan salah satu stasiun TV swasta nasional itu beragam. Ada penyanyi pop, penyanyi rock, personel boy band, bahkan penyanyi seriosa. Mau tidak mau, para peserta tersebut harus belajar cara menyanyi dangdut.

Jika para penyanyi non-dangdut yang terkenal saja mau berkolaborasi dengan penyanyi dangdut, mau belajar cara menyanyi dangdut, apakah kita masih menyebut dangdut sebagai musik kampungan? Jika dangdut bisa diracik sedemikian rupa ketika dipadukan dengan musik modern dan menghasilkan musik berkualitas, masih layakkah dangdut disebut musik kampungan?

Berbicara tentang penikmat dangdut, bukan hanya masyarakat kelas bawah yang menikmatinya. Masyarakat internasional juga turut menikmati dangdut. Masih ingat, kan kompetisi menyanyi dangdut yang melibatkan peserta dari negara-negara di Asia, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam? Lewat kompetisi tersebut dangdut semakin terkenal dan bisa dinikmati secara luas. Kalau warga luar negeri saja mau menikmati dangdut, masakan warga Indonesia malah mencap dangdut musik kampungan?

Goyang

Alasan kedua dangdut dicap musik kampungan ialah karena dangdut identik dengan pakaian ketat dan goyangan sensual. Penyanyi dangdut yang demikian lebih mengutamakan keelokan tubuh dibanding vokal. Padahal, yang namanya penyanyi, tentu modal utamanya adalah vokal.

Mengutip buku Diary Dangdut Ikke Nurjanah yang ditulis Ikke Nurjanah sendiri, awal mula terbentuknya dangdut tidaklah dengan ciri khas pakaian ketat dan goyangan sensual. Dangdut berakar dari musik orkes Melayu. Pada tahun 19561960 banyak orkes Melayu yang berkembang di Jakarta. Orkes-orkes tersebut memainkan lagu Melayu Deli yang berasal dari Medan, Sumatera Utara. Dari situlah kemudian musik Melayu berkembang menjadi musik dangdut.

Pada tahun 2000, mulai bermunculan para penyanyi dangdut wanita yang memamerkan goyangan khas dan pakaian ketat. Saat itulah dangdut mulai identik dengan goyangan. Kalau tidak ada goyangan, bukan dangdut namanya. Ikke Nurjanah mengatakan, modal utama penyanyi adalah vokal yang berkualitas dan syukur-syukur berciri khas. Boleh saja goyang, akan tetapi jangan sampai melupakan vokal. Kalau terlalu sibuk bergoyang, yang ada malah ngos-ngosan.

Tidak bisa dipungkiri, penyanyi dangdut zaman sekarang identik dengan goyangan. Namun, jangan hanya karena melihat penyanyi dangdut yang demikian, kita lantas mencap dangdut sebagai musik kampungan. Coba lihat sisi positif dangdut, yakni para penyanyinya yang tetap oke meskipun tanpa goyangan.

Ikke Nurjanah, misalnya. Saat tampil di panggung, ia tidak pernah bergoyang heboh. Cukup dengan suaranya yang merdu ia mampu menghibur penikmat dangdut. Tanpa goyangan sensual dan pakaian ketat, Ikke menjadi salah satu penyanyi dangdut yang sukses di Indonesia.

Lebih membanggakan lagi, Ikke mampu membawa dangdut ke level internasional. Pada Januari 2018, Ikke tampil membawakan musik dangdut pada perhelatan Europalia Arts Festival di Den Haag, Belanda. Pada 2016, Ikke menjadi dosen tamu di Pittsburgh University, Amerika Serikat. Di sana ia mempresentasikan musik dangdut di hadapan mahasiswa departemen musik. Di saat bersamaan, ia ia tampil menyanyikan lagu dangdut untuk menghibur warga AS.

Ini bukti dangdut (bukan) musik kampungan

Contoh penyanyi dangdut lainnya ialah Rhoma Irama. Bersama band Soneta, Rhoma membawa dangdut ke level yang lebih tinggi, yakni dengan menjadikan lagu dangdut sebagai media untuk berdakwah. Tanpa harus bergoyang heboh, cukup dengan standing mic dan gitar, Rhoma mampu menghibur sekaligus mengedukasi penikmat dangdut.

Generasi terbaru pedangdut yang bisa dijadikan contoh ialah Via Vallen. Pernahkah kita melihat Via bergoyang heboh dan berpakaian ketat kala tampil? Tentu tidak. Cukup dengan suaranya dan lirik lagu bahasa Jawa yang easy listening itu, Via mampu membius penikmat dangdut. Yang terbaru, lagu Meraih Bintang yang dinyanyikannya berhasil menjadi official theme song untuk Asian Games XVIII. Dari sekian official song dari banyak penyanyi, lagu dari Via-lah yang terpilih menjadi official theme song. Dangdut akan semakin terkenal di mata dunia.

Ketiga penyanyi di atas adalah segelintir bukti bahwa dangdut tidak bisa dianggap kampungan hanya karena dangdut identik dengan goyangan. Ketiganya mampu membawakan musik dangdut secara berkelas. Bukan dengan goyangan, melainkan dengan kualitas vokal. Ingat, dangdut tidak bisa disamaratakan dengan melihat pada penyanyi-penyanyi yang mengandalkan goyang semata.

Tidak perlu menjadi penggemar dangdut. Tidak merendahkan dangdut atau tidak menganggap dangdut sebagai musik kampungan, itu sudah cukup.