Siapa yang tidak mengenal K.H Abdurahman Wahid yang kerap disapa Gus Dur. Ia dikenal publik sebagai sosok seorang kyai, intelektual, budayawan, guru bangsa, maupun mantan presiden ke-4 Republik Indonesia. Tak hanya sampai di situ, ia juga merupakan tokoh pemersatu yang selalu memperjuangkan nilai kemanusiaan. Sebab baginya suatu keadilan ataupun kesejahteraan tanpa adanya rasa kemanusiaan adalah suatu ilusi atau keniscayaan yang fana, karena mana mungkin keadilan bisa diraih jika hak fundamental kita sebagai manusia dirampas dan tidak mendapatkan jaminan yang kuat oleh Negara. Terlebih mengingat berdasarkan konstitusi Indonesia mendeklarasikan sebagai negara hukum yang seharusnya mampu mengakui dan berperan serta dalam penjaminan atas terpenuhinya rasa kemanusiaan bagi tiap warga negaranya.

Begitu halnya dengan Islam yang menurut ajarannya sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Gus Dur mencontohkan dengan surat Al-Hujarat ayat 13 yang pada dasarnya manusia diciptakan beragam sebagai rahmat Tuhan akan kebhinekaan yang tiada lain untuk saling mengenal satu sama lain dan tidak ada pembeda di antaranya. Perbedaan sebagai suatu yang diakui dalam Islam karena bagi Gus Dur yang dilarang bukanlah berbeda, melainkan perpecahan maupun tafarruq atau keterpisahan. Bahkan Gus Dur pernah menegaskan bahwa tidak masalah semisal popularitas dirinya hancur, difitnah, bahkan dicaci maki atau dituduh dengan sebutan apa pun. Tapi baginya yang terpenting bangsa ini harus diselamatkan dari berbagai macam perpecahan antar sesama.

Begitu pun dengan berbagai agama yang berkembang beragam di belahan dunia bahkan Indonesia. Walaupun Gus Dur memandang bahwa semua agama sama-sama mengajarkan suatu kebaikan, baginya hal tersebut tidak perlu dipersamakan secara total karena masing-masing memercayai akidah yang dianggap benar. Dan baginya cukup bertoleransi saja akan keberadaan agama yang lain karena kebenaran abadi hanya terdapat dalam masing-masing ajaran agama tersebut. Kendati demikian, terlepas dari berbagai persoalan tersebut Gus Dur menilai tidak penting apa yang menjadi agama maupun sukumu, kalau di antara kamu sekalian bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang itu tidak pernah menanyakan apa agamamu.

Gagasan Gus Dur perihal pribumisasi Islam pun tiada pernah habis ketertarikan untuk terus dikaji. Pribumisasi Islam bagi Gus Dur bukanlah proses "Jawanisasi ataupun sinkretisme" pada ajaran agama, karena di dalam fikih terdapat adagium "al adah muhakkamah" artinya suatu adat bisa saja menjadi hukum. Baginya Islam datang bukanlah mengubah budaya leluhur kita yang sudah ada menjadi budaya Arab yang baru datang tempo hari, bukan untuk mengganti istilah "aku" menjadi "ana", "sampean" menjadi "antum" ataupun kata "sedulur" berubah jadi "akhi". Bagi Gus Dur yang seharusnya dilakukan adalah mempertahankan budaya yang menjadi milik kita. Seharusnya yang perlu dilakukan adalah untuk senantiasa mengamalkan ajarannya, bukan malah justru budaya Arabnya.

Untuk itu Gus Dur menilai perlunya jalan tengah guna meluluhkan ketegangan perihal agama dengan kebudayaan. Hadirnya pesantren seharusnya mampu menjembatani antara keduanya, yaitu mengenai ajaran moral agama kebudayaan yang hidup di masyarakat. Hal ini menjadi tantangan pesantren dewasa ini, padahal lahirnya pesantren dengan mengadopsi nilai-nilai tradisi sebagai fundamen agama dan kini mulai serasa enggan untuk melestarikannya.

Gus Dur senantiasa mengingatkan agar senantiasa menjaga hubungan pesantren dengan budaya lokal. Menurut pemahamannya bahwasanya pondok pesantren juga memiliki tugas dalam rangka melestarikan budaya daerah. Hal itulah yang menjadi salah satu tantangan era kontemporer yang seharusnya perlu dipikirkan kembali bagi pesantren. Untuk itu pesantren seharusnya memiliki dua fungsi mulia, sebagai pusat kajian keislaman serta berperan aktif dalam hal merawat tradisi kebangsaan.