Mengutip dari Coco Chanel Fashion fades, only style remains the same. Secara harfiah kutipan ini bermakna bahwa gaya setiap individu akan kekal abadi. Hal ini berbanding terbalik dengan konsep fast fashion yang berarti baju yang dipajang dandijual di toko berputar sangat cepat, bahkan bisa berganti dalam hitungan minggu. Baju tidak lagi dirancang untuk bertahan lama dan mungkin untuk diwariskan, tetapi hanya sebagai simbol konsumerisme dan keserakahan produk manusia modern. Merek fast fashion biasanya adalah brand yang sangat trendi, mudah dijangkau, dan berbasis ritel.

Fast fashion adalah makna yang sering digunakan oleh para retailer dan desainer untuk mendeskripsikan perusahaan dan merek yang mengimitasi gaya dan trend di fashion week atau di peragaan busana. Mereka memiliki prestisi tinggi dan memanufaktur semua baju dengan harga dan kualitas yang jauh lebih rendah dari barang barang high end yang mereka tiru. Mereka lalu menjualnya ke massa yang lebih luas dan rendah.

Produk dari fast fashion menghasilkan limbah yang luar biasa. Setiap potong pakaian yang kita miliki memenuhi limbah hampir sama besarnya dengan limbah migas ataupun batubara. Bahan yang digunakan industri fast fashion meliputi 80% bahan sintetis yang jauh lebih murah tetapi akan susah terurai dan didaur ulang.

Hal tersebut dilakukan oleh perusahaan untuk memotong harga dari manufaktur. Karena harga jual yang cenderung murah, maka harga bahan pokok pembuatan dan biaya tenaga kerja harus ditekan. Karena perusahaan melakukan produksi masa, maka limbah pakaian mencapai 92 ton dan menyumbangkan 4% dari total sampah dunia.

Berbeda dengan merek yang menerapkan manufaktur secara buatan tangan atau buatan lokal yang memberi upah para buruh dengan layak, fast fashion menekan harga dengan signifikan agar untung yang dihasilkan dapat lebih maksimal. Negara-negara seperti Bangladesh, Tiongkok, dan Vietnam adalah rumah bagi pabrik-pabrik fast fashion.

Para pekerja hanya dibayar sebesar 75 dollar Amerika setiap bulannya tanpa tunjangan, jaminan kesehatan, bahkan tempat kerja yang layak. Waktu kerja pun jauh melampaui standar dari negara masing-masing. Para pekerja bisa bekerja lebih dari 13 jam sehari. Anak di bawah umur juga menjadi pekerja bagi produk produk fesyen. Menurut Unicef, sekitar 260 juta anak di dunia, terutama di negara berkembang menjadi korban dari industri ini. Semua ini dilakukan demi memenuhi permintaan pasar yang besar.

Polemik-polemik yang terjadi sesungguhnya tidak berhenti sampai pada kekejaman di balik mesin jahit. Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual pun sering sudah menjadi makanan pokok sehari hari bagi pelaku industri fast fashion. Merek-merek fast fashion sering berhadapan dengan kasus pelanggaran hak cipta. Banyak dari merek-merek fast fashion yang menjiplak desain dari berbagai merek fashion ternama, terutama merek dengan daya jangkau yang rendah seperti couture dan high fashion. Tidak jarang merek fast fashion kalah dalam meja hijau karena terbukti mengambil dan melanggar properti intelektual dari perusahaan lain. Krisis orisinalitas sangat terlihat dari banyak perusahaan fast fashion.

Terlalu banyak kuantitas yang diproduksi. Semakin banyak desain yang dibuat. Terlalu banyak dan terlalu sempit ritme bagi para desainer untuk melahirkan karya-karya mereka semakin irrelevan desain yang mereka hasilkan. Banyak desain dari perusahaan fast fashion yang menjadi meme dan bahan candaan di negara maju tetapi menjadi pujaan di negara lainnya. Saking tidak relevannya sampai menyetuh area rasisme.

Salah satu perusahaan yang menyediakan baju untuk anak-anak mendesain kaus grafis yang bertuliskan the strongest monkey in the jungle. Mungkin kata-kata tersebut terdengar biasa saja. Tetapi bila dipadukan dengan foto anak kecil memakai baju tersebut dan anak kecil tersebut memiliki ras berkulit hitam, paduan tersebut menjadi paduan bencana publisitas terbesar di abad ke-21.

Hal ini membuat banyak orang di dunia, terutama di Amerika marah. Entah bagian kepala produksi mana yang menyetujui desain ini, tetapi desain ini dirilis di website perusahaan beberapa saat setelah hari peringatan Martin Luther King Jr. Pihak perusahaan langsung menurunkan foto tersebut dan meminta maaf kepada publik atas foto insensitif tersebut.

Permasalahan yang pelik ini tentu tidak dapat diputus secara instan dalam waktu sekejap. Hal-hal ini menunjukan bahwa ada banyak air mata, kesedihan, dan sampah yang memenuhi daratan di balik pakaian yang kita beli dan kita kenakan pada setiap hari. Menurut film dokumenter yang berjudul The True Cost, banyak keputusasaan serta kesengsaraan di setiap potong baju yang kita beli dari rak-rak yang berkilau dan memesona di setiap jendela toko.